II. Bukan Awal yang Baik

110K 8.4K 212
                                    

[EDITED]

Anindita duduk sendiri di depan halte bus. Sudah sekitar 15 menit dia di sini tapi belum ada bus kosong yang melintas. Mungkin Anindita terlalu lelah untuk berdiri dan terlalu bahagia untuk ia simpan sendiri. Adila sudah pergi 5 menit yang lalu setelah dijemput papanya. Sejenak Anindita iri tapi mau bagaimana lagi? Takdir tidak bisa diubah.

Hari ini, Anindita duduk di samping Jingga.

Hari ini, Anindita satu buku dengan Jingga.

Hari ini, Jingga menulis di bukunya.

Hari ini, Jingga berbicara padanya.

Anindita tidak akan melupakan itu. Walau hanya kalimat penjelasan fisika formal ditambah dengan kata-kata pedasnya tapi itu sangat berarti baginya. Ada satu hal baru yang Anindita ketahui tentang Jingga. Dia bukan hanya dingin, dia juga tidak banyak bicara tapi sekali berbicara, kata-kata pedasnya langsung keluar begitu saja. Walaupun begitu, Anindita tetap menyukai Jingga. Dia senang walau hanya duduk di sampingnya bukan duduk di hatinya. Mana bisa Anindita menyaingi pamor Raya?

Anindita menatap lurus ke depan. Perlahan namun pasti, tetesan air hujan mulai jatuh ke bumi. Dia terjebak di tempat ini sendirian. Anindita bangkit dan menebarkan pandangannya ke arah jalanan yang sepi itu. Sial, tidak ada satupun angkutan ataupun taksi yang lewat. Mungkin ini karma bagi Anindita yang memilih-milih angkutan, pikirnya. Hujan semakin deras dan suhu di sini semakin dingin. Anindita kembali duduk memeluk tubuhnya sendiri. Dia benci hujan.

Beberapa saat kemudian, akhirnya ada orang lain yang menemani Anindita di halte ini. Tubuhnya basah kuyub hingga air menetes dari ujung rambutnya. Dia berdiri di samping Anindita sambil sesekali mengusap rambut basahnya. Dia kelihatannya tidak menganggap atau menyadari keberadaan Anindita. Anindita menatapnya selama beberapa saat. Dia adalah siswa yang duduk di samping Adila saat tambahan pelajaran tadi.

"Sial! Gak ada angkot lagi! Taksi juga sepi!" umpat laki-laki itu seraya berkacak pinggang. Anindita masih diam menatapnya.

Dia kemudian duduk di samping Anindita. Mungkin dia lelah terlalu lama berdiri. Wajahnya beralih menatap Anindita. Membuat gadis itu segera memalingkan wajah. Mungkin dia merasa Anindita memperhatikannya sedari tadi. "Lo gak balik?" Dia akhirnya membuka suara dan menganggap Anindita ada.

"Lagi nunggu angkot kalau gak taksi," jawab Anindita tanpa menatapnya.

"Lo Anindita 'kan?" tanya laki-laki itu, Lingga. Anindita mengangguk. Lingga kemudian mengulurkan tangannya. "Gua Lingga." Anindita menjabat tangannya yang basah dan dingin itu. "Darimana lo tahu kalau gua Anindita?"

Lingga menyandarkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. "Cewek yang suka dateng pagi-pagi buat alasan yang gak jelas."

"Lo mata-matain gua ya?" Anindita curiga. Bagaimana dia bisa tahu? Selama ini hanya anak kelas Anindita yang tahu sementara yang lain tidak ada yang peduli dengan itu.

Lingga membuka mata kirinya dan melirik ke arah Anindita dengan wajah jahilnya. "Apa sih yang Kalingga Tanjaya gak tahu?" Lingga menyeringai. Anindita hanya mendengus sebal. Dari seringaiannya, ia bukan tipe orang pendiam. Dia pasti orang Sanguinis.

Lingga memejamkan matanya lagi. "Rumah lo dimana sih?" tanyanya. Anindita kira dia tidur tadi.

"Jalan Aryamurti nomor 23," jawab Anindita secukupnya. Anindita malas meladeni orang seperti dia.

"Searah dong. Mau bareng?" tawar Lingga. Anindita menatap Lingga. Dia masih memejamkan matanya. "Gak makasih." Anindita menolaknya. Terlalu berbahaya pulang dengan orang seperti Lingga.

Sebenarnya Anindita tahu siapa yang sedang duduk di sampingnya kini tapi dia berpura-pura tidak kenal. Nama Lingga sudah sering terdengar di speaker pengumuman. 'Panggilan untuk Kalingga Tanjaya, siswa kelas X.2. Harap setelah pulang sekolah menemui Pak Baron di ruang BK'. Anindita sampai hafal dengan itu. Hampir setiap hari pengumuman itu terdengar. Hampir setiap hari pula Lingga terlibat tawuran dengan sekolah sebelah.

PelukableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang