Aline Ramada
Lembur lagi. Hari sudah malam dan Pak Aga, HRM-ku memintaku untuk lembur, tapi nggak ada bayaran untuk over time. Kadang aku merindukan Bu Sintha, Asst-Man HR-ku 4 bulan yang lalu sebelum ia diminta resign oleh suaminya yang tidak lain tidak bukan adalah executive chef Whindama.
Dulu, saat Bu Sintha acting-manager, setiap ia mengajakku lembur pasti akan dimasukkan over time alias lembur dibayar. Nah Pak Aga, boro-boro di bayar, diajak ngomong aja syukur.
"Aline!" Pak Aga setengah berteriak dari ruangannya. Ruangan Bu Sintha sudah sepenuhnya berubah menjadi lebih maskulin. Karena saat ini, Whindama tidak memerlukan asisten manajer, maka dari itu ruangan Bu Sintha dirubah menjadi milik Pak Aga. Dan ruangan Pak Aga kemaren dirubah menjadi ruangan Bu Lina, director of human resource Whindama.
"Ya Pak?" Aku setengah menengok ke dalam ruangan yang cukup berhamburan dengan kertas.
"Ini kontrak sudah hampir mati 1 bulan lagi, kenapa appraisal-nya belum di kirim?" Tanya Pak Aga.
"Sudah saya ingetin terus, Pak. Lisan dan tulisan. Jawabannya sama, besok terus." Jawabku. Awas Aja si Aro gara-gara dia aku harus lembur urusin appraisal.
Waktu menunjukan pukul 19.24 saat aku keluar dari gua keramat dan menuju loker mengganti pakaianku.
"Gue kan udah bilang, lepas aja apa susahnya sih. Kasi lah dia happy, itu temen lo waktu dia susah juga kan?" Aro berjalan beriringan bersama Lucas Maki. Chef kenamaan yang saat ini sedang berkunjung ke Indonesia untuk urusan, entahlah, karena ia pernah bertemu dengan Pak Salendra dan kemudian bertemu dengan Pak Aga dalam satu waktu sekaligus.
"Malam, Pak Aro." Sapaku berusaha sopan. Kami masih di jam kantor. Panggilan embel-embel Pak dan Bu wajib di pakai.
"Malam, kok belum pulang, Line?" Tanya Aro. Temannya, Lucas menatapku dari atas sampai ke bawah.
"Diajak lembur sama Pak Aga. Oh iya jangan lupa appraisal-nya besok ya pak. Biar saya nggak kena amukan lagi. Mari." Aro menggaruk tengkuknya menandakan ia masih lupa dengan permintaanku.
Aku bergegas berjalan menuju uniform room, menyerahkan seragamku untuk di laundry dan segera berjalan menuju pintu keluar. Aku lupa memesan Uber. Biasanya kalau pulang tepat waktu aku selalu pakai gojek, lebih murah. Daripada bawa mobil sendiri. Tapi karena sudah malam, aku lebih memilih menggunakan Uber. Salah satu saran dari Bu Sintha.
"Kok di sini?" Tanya suara bariton yang sangat seksi itu.
"Saya lupa book Uber. Jadinya diem dulu sambil mesen, pak... Eh, Lucas." Jawabku agak sedikit menggantung.
"Panggil Luke aja kalo Lucas kepanjangan." Katanya. Astaga suaranya bisa bikin aku orgasme cuma dengerin aja. Kaya kata Bu Sintha dulu waktu masih musuh-musahan sama Pak Ale.
"Tinggal dimana?" Lucas bertanya.
"Daerah Teuku Umar, pak.. Eh, Luke. Astaga."
"Kebiasaan manggil semua orang pak bu ya?" Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil menggaruk rambutku yang tidak gatal.
Hening cukup lama hingga akhirnya ia berdehem.
"Aku antar, naik Uber malam-malam juga bahaya."
"Nggak usah, Luke. Aku udah terlanjur booking Uber." Jawabku.
"Ya cancel. Keburu malam, besok masih hari kerja kan?" Ajak Lucas. Aku mengiyakan. Kalo boleh dibilang, lumayan hemat biaya transportasi.
Aku berjalan menuju parkiran hotel. Bukan parkiran karyawan. Tentu saja, ia bukan karyawan disini. Mobil Land Cruiser hijaunya terparkir rapi di depan pintu keluar. Aku memasuki tempat duduk penumpang ketika lampu tanda pintu sudah tidak terkunci berbunyi. Ia masuk di balik kemudi. Segera memasang seat belt-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Restaurateur [Sudah Terbit]
Romance[18+] - Sudah Terbit dan bisa di dapatkan di toko buku online atau ebook Gue benci komitmen, nikah, punya anak, kompromi dan lain-lain. Semua berubah sampai gue kenal dia. - Lucas Maki Aku rela hidup dengannya, tanpa status jelas, tanpa komitmen...