Ch. 1

117K 5K 67
                                    

Lucas Maki

"Siang, Maya. Pak Ale ada?" Suara itu. Terakhir kali gue denger suara itu waktu gue ketemu Sintha di airport. Waktu kejadian bodoh ulah wartawan sompret yang tiba-tiba menarik Sintha hingga terjatuh. Syukur dia dan bayinya nggak apa-apa.

"Pak Lucas? Sudah lama nggak keliatan." Sapanya. Gue membalik arah menatap ke arahnya. Matanya bulat coklat dengan bulu mata lentik, rambut hitam bergelombang. Tinggi badannya cukup mengimbangi gue, tapi masih tinggian gue. Badannya juga pas terisi di tempat yang tepat, kalo lo nggak ngerti gue terjemahin. Pas di boobs and ass. Bohong kalo gue bilang dia nggak cantik.

"Iya. Baru datang dari Singapore." Jawab gue sekenanya. Dia hanya membulatkan bibirnya bersuara oh kecil.

"Jadi cari Pak Ale?" Tanya Maya. Gue langsung berbalik arah memunggungi Aline.

"Jadi." Suara lembut itu lagi.

"Pak Ale masih sama Bu Sintha di dalam. Antre ya, habis ini Pak Lucas dulu." Kata Maya lagi.

"Eh, nanti aja deh kalau gitu. Pak Aga agak bawel kalo gue kelamaan." Kata Aline sambil meninggalkan Maya dan tersenyum pamit ke arah gue.

Tepat saat dia berjalan keluar, Sintha berteriak memanggilnya. Sedang hamil 8 bulan nggak bikin Sintha keliatan jelek. Malah makin keluar seksinya. Damn, kalo nggak duluan Ale yang lihat, udah gue embat dia.

"Ibu, saya kangen. Gimana kabar? Sehat? Ih, Pak Aga agak-agak kalau ngajak lembur. Nggak pernah di bayar over time saya." Ujar Aline sembari memeluk Sintha. Gue yang nggak paham hanya menepuk bahu Sintha sambil masuk keruangan Ale.

"Mau apa?" Tanya Ale begitu melihat gue masuk. Seberapapun besarnya rasa kesal gue sama Ale karena memperlakukan adik tiri gue, dia masih teman terdekat dan teman bisnis gue

"Mejakayu, head chef-nya out. Gue nggak tau harus mau gimana lagi. Semua yang gue interview pada nggak qualified." Ale mendengus. Ia duduk di sofa ruangannya.

"Kenapa sampai out? Nggak kuat kerja sama lo?" Tanya Ale.

Gue langsung menolak tuduhannya. "Geez, no. Gue kerja memang keras dan suka marah-marah, tapi bukan berarti gue kaya gitu bukan buat restoran." Bisa-bisanya Ale mikir kalau sifat gue yang keras dan suka marah di dapur bikin semua cooks gue kabur.

"Transfer aja yang dari Moon Lite bawa ke Mejakayu. Beberapa orang Moon Lite kan udah tau cara kerja lo." Ale menanggapi. Gue makin bingung.

"Nggak segampang itu, Salendra. Moon Lite udah gede, jangan bawa orang-orang yang udah gede ke Mejakayu. Lo tau Mejakayu nggak satu level sama Moon Lite."

"Ya udah gue bantu. Nanti gue bicara sama orang-orang sini siapa yang mau jadi head chef disana. But, the second I get those people, jangan sampai lo buang lagi. Susah nyari orang yang satu sifat sama lo." Ale berkata.

Gue mendengus. Berjalan menuju arah mini bar di dekat mejanya. Mengambil gelas kristal menuang sedikit whiskey favorit Ale, Black Label.

"Heh, masih pagi. Lo nyetir kan?" Tegur Ale. Sedingin-dinginnya dia sama gue, nggak pernah sedikitpun dia berhenti peduli. Begitupun dengan gue. Lebih dari 12 tahun gue keliling dunia sama dia nyari kerja dari restoran ke restoran, gue udah anggep dia saudara sendiri.

Restaurateur [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang