0 : PROLOG

391 37 17
                                    

Dedicated to sredblossom karna udah tetap jadi temen selama dua tahun terakhir, ngasih motivasi, dan jadi tempat berkata kotor. Walaupun lo always latereply, gue tetep bahagia kok punya temen kayak lo :(  p.s. hope we'll meet someday!

***

Prolog.

Gabriella—atau akrab disapa Gabby—melangkah lebar untuk meloncati jendelanya agar ia bisa masuk ke area atap rumahnya. Dengan kaos kaki biru yang menyelimuti kaki dinginnya, ia dengan perlahan tapi pasti melangkah kemudian mencari sebuah posisi yang nyaman untuk duduk.

Sekarang pukul dua dini hari dan angin dingin menyapu dedaduan yang sudah mengering di atap rumahnya. Gabby menarik napas sambil tersenyum kecil. Ia jatuh cinta pada indahnya pukul dua malam. Benar-benar menakjubkan. Pada jam segini, tak ada yang berbohong—semua orang menunjukkan diri yang sebenarnya.

Mungkin pemabuk yang sedang mati-matian menghilangkan pikiran yang telah memenuhi kepalanya selama dua minggu; atau seorang gadis remaja yang tengah menangis tersedu di lantai kamarnya; atau bahkan dirinya sendiri—Gabriella Aradinata—yang sedang menatap kosong ke arah langit, mencoba menghilangkan segala pemikiran yang dibentuknya agar ia merasa baik-baik saja— dan kesimpulannya, dari semua orang yang disebutkan tadi, tak ada yang sedang berbohong.

Semuanya sedang menceritakan kejujuran pada udara kosong. Tak ada yang perlu disembunyikan lagi pada pukul dua malam. Hanya hati yang rapuh, yang sudah lelah memalsukan dinding kuat pada siang harinya. Tak ada lagi yang perlu ditakutkan—hanya diri dan angin saling bercerita.

Kepindahannya ke kota ini benar-benar menghancurkannya. Ia harus melepaskan kenangan masa kecilnya dan meninggalkannya di kota lama, ia harus meninggalkan sahabat-sahabatnya yang sedari kemarin sibuk mengirimkan pesan, dan terakhir, ia harus meninggalkan Ayahnya ketika Ibunya akhirnya menandatangani surat perceraian yang telah mereka diskusikan selama tiga bulan terakhir.

Tanpa ia sadari, air mata mengalir di pipinya. Semuanya terasa begitu cepat, dan dalam empat hari ia harus masuk ke sekolah barunya dan Ibunya harus mulai bekerja di sebuah cabang perusahaan tempat ia bekerja dulu. Semua ini juga memberatkan Ibunya. Dengan ia tinggal hanya berdua dengan Gabby dan beradaptasi di lingkungan baru, ia harus jadi wanita yang lebih tangguh.

"Tenang, you are going to be okay."

Gabby terdiam dan menghapus air matanya dengan cepat. Suara itu tanpa basa-basi masuk ke dalam otaknya. Suara asing, bukan suara kepalanya seperti biasanya.

"Anggap aja gue pemandu."

Gabby tercekat. Suara itu memang benar-benar ada atau itu cuma halusinasinya di malam hari?...

Gabby menggeleng keras. Mungkin benar itu hanya halusinasinya, toh sekarang sudah tengah malam dan seharusnya dia tidur. Mungkin dia sedang bermimpi.

"Gabby, suara aneh di kepala lo emang bener-bener ada."

Mata Gabby membulat. Ia bersusah payah menelan ludahnya yang kini menggumpal di tenggorokannya. Gak mungkin. Ia membatin sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Gabs—" suara itu berhenti sejenak, kemudian melanjutkan. "—these voices are real."

"Wow, okay." Gumam Gabby pada diri sendiri. "Jadi, siapapun lo yang ada di kepala gue, bener-bener nyata gitu?" Tanyanya, kemudian tertawa sinis karna menganggap dirinya sendiri gila.

"Ya, bener, seratus! Dan Gabby, lo gak gila kok."

Gabby kembali diam. Berarti dia bisa membaca semua pikiran Gabby dan juga bisa bersuara di pikirannya? Gila.

"Udah, ya, Gabs. Intinya gue nyata dan lo gak perlu ragu."

Suara itu berujar, kemudian tiba-tiba menghilang. Gabby memandang sekeliling, memikirkan kemungkinan bahwa suara yang memasuki kepalanya ada di sekitar sini. Gabby melemparkan pandangan ke seluruh penjuru arah, kemudian matanya terpaku pada sepasang mata yang sedang berdiri di depan rumah kosong di hadapan rumahnya. Dan dua bola mata itu menatapnya lekat-lekat.

Gabby diam. Bukan, itu bukan hantu. Jelas sekali sosok yang menatapnya itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi. Tapi figurnya gelap akibat tubuhnya membelakangi cahaya, alhasil Gabby tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Beberapa detik kemudian, laki-laki itu berbalik badan kemudian pergi. Gabby tercengang. Ia seratus persen yakin kalau laki-laki itulah yang memasuki kepalanya, ia benar-benar yakin.

Dan dengan masih bertanya-tanya, ia beranjak dari tempatnya duduk lalu masuk kembali ke kamarnya tanpa menyadari bahwa mulai detik itu juga hidupnya akan berubah seratus delapan puluh derajat.

ABILITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang