1

289 30 25
                                    

Didedikasikan untuk Lovaren8_ a.k.a Kiki. Seorang teman dan seorang reviewer yang dengan senang hati ngebantu edit prolog dan part 1 ini. Makasih banyak ya, Ki, benar-benar ngebantu^^ Kalo aku minta bantu lagi gapapakan ya HAHA

Dan btw, enjoy  ya, kritik dan saran ditunggu!xx

***

Satu.

"Ini minumnya, Mbak."

Pedagang yang memiliki tubuh kurus itu menyodorkan minumannya kepada gadis bermata abu-abu yang sedang berdiri di depannya. Gadis itu—Gabby—mengambil minuman sodanya lalu memberikan uang kepada pedagang yang menatapnya penuh rasa penasaran.

Kasian ya, jadi anak baru. Di tatap aneh mulu, batinnya seraya memandang sekitar.

Ia menangkap tatapan aneh dari beberapa orang. Mereka bahkan tetap tak mengalihkan pandangannya walaupun sudah bertemu tatap dengan Gabby. Gabby menelan ludah dengan susah payah saat melihat seorang kakak kelas laki-laki –dilihat dari postur badannya—yang menatap Gabby tanpa berkedip.

Ia bergidik ngeri lalu memutuskan untuk berjalan kembali ke kelasnya. Susah memang ketika menjadi anak baru di sebuah sekolah yang memiliki perbedaan kasta dan punya kelompok masing-masing. Gabby harus menahan diri untuk tidak berteriak histeris di depan wajah Ibunya, mengatakan bahwa dua hari di sekolah barunya terasa seperti neraka.

Hari ini hari ketiga. Dimana seharusnya mata semua orang sudah terbiasa dengan keberadaannya dan tidak menganggap Gabby seperti alien dari planet lain. Hari dimana ia seharusnya sudah punya teman –walaupun hanya satu--, tapi nyatanya, semua hal yang berjalan di sekolah ini sama sekali bersebrangan dengan khayalannya.

Ia tersentak lalu berhenti saat menyadari bahwa sebuah lengan sudah menghalangi jalannya. Telapak tangan pemilik lengan itu menempel pada dinding yang ada di sebelah kanan Gabby. Ia menahan napas saat menyadari siapa yang menghalangi jalannya.

Kakak kelas cowok tadi, yang menatapnya tanpa berkedip seolah Gabby adalah makhluk langka.

"Hai." Ucap laki-laki itu simple. Gabby hanya menjawab dengan mengangguk canggung. "Anak baru?" lanjutnya, menarik lengannya dari dinding lalu berdiri tepat di depan Gabby.

Gabby menahan agar tatapan jijik tidak ia lemparkan kepada laki-laki sok-asik di depannya. "Iya, Kak." Jawabnya datar.

Laki-laki berwajah hampir sempurna –jika saja ia tak menjijikkan—itupun memberikan Gabby senyuman termanisnya. "Lo kelas sebelas?" Tanyanya lagi, makin membuat Gabby ingin muntah. Gabby hanya mengangguk, tak mempercayai mulutnya yang bisa kapan saja melontarkan kata-kata yang menyengat hati.

"Gue bo—" Ucapan laki-laki itu terpotong oleh suara seorang perempuan yang menggema di belakangnya.

"Zio?" Tanya perempuan itu, menatap Zio –kakak kelas menjijikkan tadi--dengan mata bulat membesar tak percaya. "Kamu ngapain?" Ucapnya, kemudian tatapannya beralih ke Gabby.

Zio mengangkat tangannya ke udara, memasang wajah tak bersalah dan melangkahkan kaki ke sisi perempuan tadi. Gabby hanya terdiam dan berharap bahwa kehidupan di sekolahnya tak menjadi semakin buruk. "Ge, aku gak ngapa-ngapain." Ujar Zio segera.

"Tadi itu apa?"

Zio tampak bimbang sejenak, lalu menjawab. "Gak tau. Dia yang kayak gitu—" ia menunjuk Gabby tanpa menatap wajahnya, "—bukan aku."

Rahang Gabby jatuh ke lantai. Ia menatap Zio dengan wajah tak percaya, lalu mengalihkan pandangannya ke perempuan yang bisa di tebak, adalah pacar Zio. "Enggak, Kak. Gue gak ngapa-ngapain. Dia aja yang tiba-tiba dateng—"

ABILITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang