Prolog (Levin)

75 6 0
                                    

Saat itu aku baru saja duduk di bangku SMA. Aku menikmati apa yang aku lakukan, tak ada bedanya dengan lelaki yang lain, hanya saja mungkin aku memiliki keunikan pada kesukaan dan hobiku.

Di sekolah pun aku tak luput oleh rasa 'menyukai'. Aku lelaki normal dan aku punya rasa akan hal itu. Aku menyimpan sesuatu tersendiri untuk satu wanita paling berbeda di antara yang lain.

Aku sering melihatnya dengan kawan sepermainannya bercanda sampai mereka tertawa terbahak-bahak di taman sekolah, wanita itu memancarkan aura yang membuatku nyaman menatapnya, hingga pernah suatu hari aku memantapkan diri untuk mendekatinya.

Kami memulai suatu hubungan sederhana setelah ia memperbolehkanku memasuki hatinya, tentu saja aku bahagia akan hal itu. Dia perempuan yang indah seperti namanya, dan dirinya mudah untuk dicintai

Aulia.

Cantik sekali.

Dia mempunyai kapasitas kesabaran yang tinggi, sekalipun aku tak sengaja membuat batinnya tergores. Dia memerhatikanku dengan telaten sampai aku mengira ia memiliki sifat persis seperti Ibuku. Begitu penyayang.

Tapi sesuatu yang selalu datang pada diriku membuat kekacauan, aku selalu menjadi penyebab cek-coknya hubungan kami.

Aku mengerti dia sakit hati, tapi aku juga tak bisa melawan apa yang hatiku mau. Selain mencintainya aku juga mencintai kesenanganku pada masyarakat. Rasanya menyenangkan sekali bisa membantu orang yang kesusahan tanpa meminta imbalan apapun padanya. Aku memang tahu ini tak lazim tapi aku menyukai hobiku.

Setelah Aulia menyadari hal itu, dia terlihat kecewa tiap kali aku meninggalkannya, aku juga merasa hal yang sama tapi diriku memang seperti ini, seharusnya ia bisa mengerti.

Semakin lama aku juga merasa tak nyaman dengan semua ini, dia memperlakukanku layaknya aku seorang anak kecil yang butuh sekali diurus. Aku bisa mengontrol tubuhku sendiri tanpa perlu dia harus turun tangan, kadang risih rasanya seperti ini. Tapi aku diam.

Dirinya juga pernah menghilang dariku beberapa hari, mungkin beberapa minggu. Aku tak tahu sebabnya apa karena awalnya kita baik-baik saja. Kupikir Aulia butuh waktu sendiri walaupun aku juga bingung, tapi aku membiarkannya. Hingga akhirnya dia muncul kembali sembari mengucapkan beberapa kalimat yang mengatasnamakan diriku sebagai lelaki yang tak bisa mengerti wanita. Tapi lagi-lagi aku diam saja.

Aulia juga pernah berkata ia ingin hubungan kami seperti orang lain. Jelas saja aku tak bisa terima itu, biar bagaimanapun ini antara aku dengan Aulia, kami harusnya menjalani sesuai dengan kepribadian dan cara kami sendiri, rasanya tak patut harus mengikuti orang lain yang bahkan kami tak kenal. Sungguh, aku tak mengerti tentang Aulia saat itu. Tapi bisa kubaca dari air mukanya, dia terlihat tidak suka. Tapi aku tetap tak acuh, bukan tak peduli. Aku cuma tidak tahu harus meresponnya seperti apa. Wanita memang sangat membingungkan.

Baru saja baik-baik beberapa saat, dia kembali berbicara tentang hubungan kami yang katanya berubah, aku tak mengerti letak perubahan itu di mana. Dan lagi-lagi Aulia menyalahkanku untuk kesekian kalinya.

Lama-kelamaan aku letih juga seperti ini, aku masih mempunyai masa remaja yang sangat aku hargai setiap detiknya dan aku ingin melakukan kebaikan pada dunia, tapi seolah-olah Aulia menghalangi itu semua. Jujur saja, aku merasa sesak karena ruang gerakku serasa terbatas. Bukan berarti aku tak lagi mencintai wanita itu, tapi sikapnya 'lah yang membuatku jenuh.

Perasaanku masih sama dari awal aku menyatakan cinta, mungkin aku juga salah karena merasa dirinya kurang dibutuhkan dalam hidupku. Tapi, seandainya dia tahu setiap ingin tidur hanya Aulia yang aku pikirkan, tapi dia tak mengerti itu.

Kurasa dirinya juga lelah dengan keadaan ini dan aku tak bisa membuatnya terus-terusan kecewa. Dia cantik dan berbakat, aku tak mau menjadi penghalang kebahagiannya.

ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang