4. Nostalgia

21 0 0
                                    

Kopernya digeret dengan satu tangan kirinya. Sedangkan yang kanan memegang ponsel, menghubungi salah satu rekannya. Di sinilah Levin, berpijak pada tanah yang bau harumnya masih ia kenal sejak dulu, yang postur bangunannya tak berubah maupun miring seinci pun. Semua sama.

Ia sedang berdiri tepat di depan pagar rumahnya yang dulu, sekarang tak ditempati lagi, bukan tak mau, tapi dia tidak bisa. Selain pekerjaan yang mengharuskannya pindah kota, masalah hati pun menuntutnya untuk pindah juga. Lagipula, masih ada orang terdekatnya yang ia percayai mengisi kekosongan rumah ini.

Nomor 12 digit itu tak mendapat respon dari empunya, membuat Levin sedikit kesal. Ia berjinjit agar dapat melihat ke dalam rumah lebih jauh, tapi pagar yang menjulang menghalangi aksinya membuat Levin mengumpat pelan berkali-kali.

"Ayo angkat setan!" Geramnya dalam hati.

Tiga kali panggilan juga tak diangkat, Levin memutuskan menaiki pagar itu, persetan dengan besi yang lancip di bagian atas pagar yang bisa saja menusuk adiknya.

"Bajingan! Maling!" teriak dari dalam rumah bergemuruh

"Diam kau! Hey!" gaduhnya lagi

Levin kebingungan, ia juga ikut panik ketika melihat sosok lelaki mulai keluar halaman membawa parang.

Karena tak bisa berkutik maupun menjelaskan alasannya menaiki pagar itu, ia turun dengan melompat tanpa berpikir bahwa kecerobohannya mendatangkan petaka, kakinya terluka tergores ujung lancip pagar tersebut.

"Anjing! Agrhh!"

Lelaki itu tergeletak tengkurap dengan tangan kanannya memeluk bagian tulang kering di kaki, lelaki pemilik rumah menatap Levin terkejut sekaligus prihatin

"Levin? Kamu kok? Bego, ngapain manjat pagar!"

Levin ternganga, "kamu gila? Aku sudah telpon kamu berkali-kali! Kenapa gak angkat?!"

"Ya, hp-ku sedang silent. Gak denger"

"Bego parah" kata Levin mengumpat sahabatnya itu

Lelaki itu menjatuhkan parangnya dan membantu Levin berdiri.

"Ayo masuk."

•••

"Kirain kamu ke sini mau nengokin aku, ternyata cuma alasan pekerjaan. Gak berubah kamu ya?"

Levin mendengus, masih dengan cangkir hangat yang digenggam tangannya, kaki Levin sudah diperban dan hanya butuh waktu beberapa hari saja agar luka itu mengering.

"Sekalian"

"Sekalian apa? Tengokin Aulia?"

"Bangsat!"

Sahabat sejak masa SMAnya itu tertawa menggema membuat levin geram, hampir saja ia ingin melemparkan cangkir panas itu ke kepala sahabatnya jika saja ia tak ingat orang itu banyak membantunya dulu.

"Punya pacar tapi kok masih ngarepin mantan, sih?"

"Bodo ah"

Temannya yang bernama Jirga tersebut menggeleng pelan dan tersenyum penuh arti. Selalu beginilah Levin dari dulu.

"Istrimu mana?"

Jirga tak langsung menjawab, ia bangun dari duduknya dan mengambil toples kue kering di dapur. Setelah itu ia balik lagi

"Arisan"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang