Hadirnya Kamu . . .

8 0 1
                                    

Malam itu sekitar jam delapan malam Ikbal duduk diberanda rumah. Ia terlihat begitu gundah dan terbayang akan gadis berkerudung merah muda yang ia tabrak tadi siang. Anisa, ia memikirkan gadis buta itu. Hatinya terasa sakit, dadanya begitu sesak setiap kali ia mengingat mata indah Anisa. Mata yang selalu ia pandang, mata yang selalu memberikan keteduhan baginya. Mata yang selalu menyimpulkan sebuah kejujuran dan mata yang membuatnya jatuh cinta saat pertama kali ia melihatnya. Mata itu kini tidak bisa lagi melihatnya.

Malam itu ia memutuskan untuk datang kerumah Anisa, ia hanya sekedar ingin melihat keadaan Anisa. Pelan-pelan ia menyambangi rumah Anisa secara diam-diam. Bersembunyi dibalik pohon mangga yang berada tepat didepan kamar Anisa. Melihat bayangan Anisa dari jauh yang sedang duduk berdua bersama abangnya. Ada sesuatu yang akan disampaikan oleh Arif, namun ia tidak tega ingin menyampaikan kabar ini kepada adiknya. Ditatapnya dalam-dalam mata adiknya, dielusnya dengan lembut dan di kecupnya kedua bola mata adiknya dengan rasa kekecewaan dan kepedihan yang mendalam.

"Dek, ada yang ingin abang bicarakan sama kamu" Tutur Arif untuk memberanikan diri.

Anisa menyimak nada bicara Arif yang kedengarannya sedang kecewa. Sepertinya bukan sesuatu kabar yang baik bagi Anisa. Ia menelan ludah dan siap mendengarkan apapun yang terjadi. "Aku yakin pasti pendonor mata itu tidak jadi mendonorkan matanya. Seperti info yang sudah-sudah" Batinnya kecewa. Ia menghela napas yang panjang. Arif memeluk adiknya "Dek, jika mataku ini bisa membuat kamu tersenyum. Aku rela mendonorkan mata ini untukmu dek dan menukar semua kesedihanmu menjadi sebuah keceriaan. Aku ingin melihatmu tersenyum ceria seperti dahulu kala. Biarlah aku yang menggantikan posisimu sekarang ini dek. Menjalani hidup dalam kegelapan" Tutur Arif menangis sambil memeluk erat tubuh adiknya. Ia tak kuasa menyembunyikan kesedihannya. Anisa meraba wajah abangnya dan menyeka air mata Arif sambil tersenyum.

" Biarlah bang, biarlah aku hidup seperti ini. Biarlah aku hidup dalam kegelapan. Aku sudah nyaman hidup dalam kegelapan bang. Aku sudah terbiasa menjalani ini semua! Aku iklas dengan semua ini. Setidaknya aku masih punya abang yang baik yang mau merawatku dengan penuh kasih sayang layaknya seperti ayah dan bunda." Jawab Anisa lembut sambil tersenyum tipis "Jika Allah mengijinkan aku untuk melihat kembali, aku pasti akan mendapatkan pendonor mata itu bang! Percayalah." Timbalnya lagi tersenyum manis meyakinkan Arif.

Arif semakin erat memeluk adiknya, ia berusaha tegar setegar adiknya. Ikbal yang menguping dari balik pohon terduduk lemas saat mendengar celoteh Anisa dengan Arif. Ia begitu terpukul mendengar pembicaraan mereka.

" Apa yang harus aku lakukan untuk membuat kamu selalu tersenyum, Anisa?" Batinnya terpukul.

Setelah Arif keluar dari kamar Anisa, Ikbal berjalan semakin mendekat menuju kamar Anisa. Ia bersembunyi disamping jendela kamar Anisa. Memperhatikan Anisa dari balik jendela. Melihat tatapan Anisa yang kosong, melihat raut wajahnya yang begitu menawan. Perasaannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia kembali bersembunyi saat Anisa mendekati jendela, ia meraba jendela dan membuka jendela lebar-lebar.

" Aduh..." Teriak Ikbal kepentok jendela kamar Anisa.

" Siapa itu??" Sahut Anisa celingukan ketika mendengar suara lelaki dibalik jendela. Bukan suara lelaki yang sering ia dengar.

" Siapa disana??" Panggilnya lagi.

Ikbal tetap diam tak menjawab panggilan Anisa.

"Jangan-jangan maling?" Batinnya gemetar. Anisa berteriak " Maling.. Ma.."

" Eh.. tunggu.. tunggu..!! Aku bukan maling!!" Seketika Ikbal memotong teriakan Anisa.

" Siapa kamu?" Tanya Anisa ketus.

Ikbal kembali diam. Anisa memiringkan telinganya mendekatkan ke luar jendela. Tidak ada jawaban dari orang tersebut.

" Kamu mau maling ya?" Anisa kembali menuding.

" Aku Ikbal, Nisa! Cowok yang nabrak kamu tadi siang!" Ucap Ikbal menarik napas yang dalam.

Anisa menjadi kikuk mendengar ucapan Ikbal. sejenak ia terdiam " Mau apa kamu kemari?" Ucapnya sedikit ketus

" Gak ada nisa! Aku cuma gak sengaja lewat sini Nis! Eh ternyata rumah kamu disini toh?" Jawab Ikbal pecicilan menepokin nyamuk yang menggigit lengan dan kakinya.

" Ya udah aku pulang dulu ya! Assalamualaikum" Timbal Ikbal pamit melangkah pergi sebelum Anisa berkomentar lagi.

" Wa'alaikumsalam!" Jawab Anisa pelan.

Senyum Anisa yang khas membuat ingatan Ikbal tidak bisa lepas dari Anisa. Pagi ini ia melihat Anisa kembali di pasar dan dengan gesit ia menyapa Anisa " Selamat pagi Anisa" Sapa Ikbal dengan ramah.

" Mau apa kamu?" Tanya Anisa merasa terganggu.

Ikbal tak menjawab, ia terus mengikuti langkah Anisa dan berjalan di sampingnya sambil tersenyum pada Anisa karena akhir-akhir ini Ikbal selalu mengikuti Anisa. Ia selalu membuntuti dan melihat aktifitas Anisa setiap hari. Ia semakin tertegun tak kala Anisa selalu membaca Alqur'an dan melantunkan ayat-ayat suci setiap harinya. Anisa, gadis yang muslimah. Hari-harinya selalu diisi dengan berbuat kebajikan. Ia juga guru sekaligus motivator bagi tuna netra yang telah kehilangan semangat, kepercayaan dan harapan. Ia mengajarkan semuanya agar mereka tetap semangat menjalani kehidupan yang gelap ini.

" Anisa, bolehkan aku menjadi temanmu?" Ucap Ikbal lirih.

Anisa tak memperdulikan ucapannya dan tetap berjalan gontai meninggalkan Ikbal.

" Apakah seorang pendosa seperti aku tidak layak menjadi temanmu?" Teriak Ikbal.

Anisa menghentikan langkahnya, terdiam dan terpaku mendengar kata-kata Ikbal. Sangat tidak fair bagi Ikbal kalau ia terus mengkait-kaitkan seseorang dari masa lalunya untuk menjauhi Ikbal. "Mungkin saja orang itu udah mati Nisa! atau mungkin sudah menikah? Lagi pula sudah delapan tahun yang lalu kalian tidak pernah bertemu lagi! Kenapa nama yang sama membuat kamu membenci orang yang baru yang hendak ingin berteman dengan kamu?" Batinnya lirih. Matanya mulai gembung, mulai mengeluarkan air mata.

" Anisa.." Panggil Ikbal pelan. Ia menatap bola mata Anisa yang hendak mengeluarkan air mata.

Anisa menundukkan kepala, ia memegang erat tongkatnya. Menimbang-nimbang tawaran yang ada di kepala dan perasaannya. Ikbal terus memandangi wajah Anisa yang begitu bimbang.

" Baiklah..!! Kamu boleh jadi temanku!" Jawab Anisa lembut. Ikbal langung kegirangan mendapatkan jawaban dari Anisa.

T E R T I N G G A LTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang