Senin dan segala kesialannya

119 6 1
                                    

AUTHOR POV•°•°

Kiki berlari menuju sekolahnya demi menghemat waktu. Tentu saja agar ia tak terlambat dan tak harus berurusan dengan pak 'kumis' serta buku 'neraka'-nya. Pagi ini, tak seperti biasanya Mitha tak menjemputnya. Kiki sudah menunggu Mitha sekitar 15 menit, namun sahabatnya itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Kiki pun menyimpulkan bahwa Mitha tak datang menjemputnya. Lagi pula Kiki sudah mengirimi lima sms, lima 'ping-an' bbm, dan lima line, namun tak satu pun di balas mitha. Jangankan di balas, dibaca saja tidak. Sadar Arga sedang tak di rumah, Kiki memutuskan untuk berjalan keluar komplek dan menyetop taksi. Tentunya setelah berpamitan hanya kepada bi 'Inah', karena ayah dan ibunya sedang pergi keluar kota.

Setelah di luar komplek, Kiki baru menyadari dompet dan hp-nya tidak berada di dalam tas-nya. Memeriksa saku celana dan bajunya, hanya uang dua puluh ribu yang di temuinya. Alhasil Kiki pun memutuskan untuk naik angkot. Entah karena apa kesialan tak juga mau enyah darinya, setelah ia rela berdesak-desakkan di dalam angkot. Dengan tak tahu dirinya, 'tong' , ya, ban belakang sebelah kanan angkot itu meledak. Kiki dan penumpang lainnya terpaksa turun disana. Karena saking pelitnya supir angkot, ia tetap menagih bayaran walau penumpangnya belum sampai di tujuan mereka. Kiki dimintai tiga ribu dan harus menunggu kembaliannya. Dengan hati merutuk, Kiki harus ikhlas menerima kembalian cuma sebesar lima belas ribu, itu dikarenakan;

''Hari masih pagi dek, bapak belum punya cukup kembalian. Makanya kalo naik angkot itu usahin bawa uang pas buat bayar, jangan bawa yang besar-besar toh dek!", dengan logat ndeso-nya, supir angkot pelit itu menceramahinya.

Ingin sekali Kiki mengumpat di depan wajah bapak tua, lagi pelit itu. Namun ia urungkan, selain mengingat bapak itu lebih tua darinya, ia pasti akan terlambat jika berlama-lama disana. Kerena jarak tempat ban angkot meledak dengan sekolah tidak terlalu jauh, namun tak bisa di bilang dekat juga, Kiki akhirnya memutuskan untuk berlari menuju sekolah.

Walhasil disini lah Kiki, dengan nafas terengah-engah, kringatan, haus, dan kaki yang mulai kram.
Berhenti sejenak, Kiki memeriksa tasnya, biasanya, Rani--ibunya-- menyelipkan botol air disana. Tapi sekarang, saat ia benar-benar butuh air, botol air itu tidak ada. Huh! Terang saja, ibunya kan sedang pergi ke luar kota.

"Uh! Capek gila!", umpat Kiki pelan. Ia berjongkok di trotoar, sekadar untuk beristirahat sejenak. Ia menoleh ke belakang, berniat mencari tumpangan.

Mata Kiki berbinar begitu ia melihat sebuah sedan hitam mengkilap melaju dengan kecepatan sedang kearahnya atau ke sekolahnya. Kiki tahu mobil siapa itu. Itu mobil Abdi, ia pernah sesekali melihat Abdi mengendarai mobil itu ke sekolah. Tanpa pikir panjang, Kiki beringsut ke tengah jalan, lalu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Sedan hitam itu semakin mendekat, kemudian berhenti tepat satu meter di depan Kiki.

Si pengemudi keluar, namun Kiki sudah mendahuluinya. Kiki berlari kecil menuju pintu penumpang depan yang kebetulan tak dikunci. Dan duduk dengan damai. Diluar, Abdi mengeram sebal, ia segera memasuki mobil. Setelah duduk di belakang kemudi, ia memutar kepala dan memiringkan sedikit badannya kearah Kiki. Memberi tatapan intimidasi andalannya. Namun Kiki tampak acuh, cewek minions itu dengan santainya mengambil botol aqua yang kebetulan berada di atas dasbor mobil. Lalu meneguknya, dan mengacuhkan Abdi yang sedari tadi melemparkan tatapan intimidasi kearahnya. Atau kepadanya?

Rasa hausnya hilang bersamaan dengan air yang di teguknya mencapai kerongkongan. Setelah air di botol aqua itu tersisa setengah, Kiki meletakkan botol aqua itu ketempat semula. Kemudian matanya beralih menatap Abdi yang masih melemparkan tatapan intimidasi kearahnya.

"Kenapa?", pertanyaan bodoh itu berhasil menyulut api amarah Abdi. Seharusnya ia yang bertanya 'kenapa?'. Kenapa pula cewek minions itu yang bertanya 'kenapa?' kepadanya.

LOVE MINIONsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang