Loh, tangan siapa?

119 4 0
                                    


KIKI POV•°•°

Hari ini aku kembali bersekolah setelah beristirahat total kemarin. Memasuki kelas, suasana kelas sama seperti biasa -ketika belum bel - ribut. Aku meletakan tas di kursiku. Disampingku, Mitha tengah berkutat dengan catatan fisika-nya, hari ini ada remedial fisika di jam ketiga. "Tumben rajin?" sindirku melihat keseriusannya, sampai tak sadar kalau aku sudah duduk di kursi sebelahnya sejak lima menit yang lalu.

"Astaga, Ki! Lo ngagetin aja tahu enggak." dia mengelus dada.

Aku tertawa kecil melihat tampangnya, Mitha itu kagetan orangnya, kalau udah fokus sama satu hal, dia akan benar-benar menekuninya, hingga melupakan hal lain. Sering melamun dan enggak cepet bosan, makanya dia betah-betah saja diam di tempat, maksudnya diam mengagumi Abdi tanpa berani memulai pendekatan.

Dia begitu bukan tanpa alasan, gengsinya tinggi. Katanya, 'enggak ada sejarahnya, sel telur ngejar-ngejar sperma.' Pengibaratan yang terdengar terlalu dewasa kalau di bahas antara dua orang gadis baru puber. Padahal nih ya, pemikiran kayak gitu kuno, tentu saja karena emansipasi sudah di elu-elukan RA Kartini.

"Woy," aku mengerjap beberapa kali sebelum mataku fokus melihat wajah Mitha yang terlalu dekat. "Waaah, ngapain lo dekat-dekat!" aku menjerit seraya mendorong tubuh Mitha menjauh.

Dia tertawa. Sialan. Aku memandangnya tajam. Dia melirikku sebentar sebelum kembali tertawa. Lebih keras dari sebelumnya. "Tenang," dia berusaha meredakan tawanya, aku hanya memberengut sebal, "gue enggak se-desperate itu sampai-sampai harus jadi lesbi dan ngencanin teman sendiri."

Ucapan yang menyakitkan. Lengkap dengan tawa menjengkelkan dari Mitha yang selalu membuatku ingin menendangnya. "Ketawa aja lo terus, gue enggak papa kok, asal lo senang aja gue bahagia." sindirku.

Dia mengibaskan tangan. "Apa banget deh ..." dia tersenyum, "toilet yuk,"

Ahelah. "Ngambil absen?" Mita ngangguk sambil nyengir dan aku memutar bola mata. Tiba-tiba saja aku menyesal datang pagi.

****

Yang di maksud ngambil absen adalah Mitha ke bilik toilet dan menumpahkan isi perutnya di sana. Bab maksudnya. Dia rutin melakukan ini, karena katanya dia nyaman sama toilet sekolah yang bersih. Bukan berarti toilet di rumah Mitha kotor, justru toilet rumahnya lah toilet paling bersih dari yang pernah kutemui. Hanya saja, ya itu tadi, dia nyaman.

Aku tak tahu mengapa harus membahas ini. Apa terdengar menjijikan? Ah ya, pasti. Maaf, aku hanya bosan. Mitha hoby kali membuatku menunggu. Dia selalu melakukan ini di pagi hari,makanya jika aku berangkat bersamanya, aku harus menunggu bel agar bisa ke kelas. Karena toilet lebih dekat dari parkiran, Mitha pasti menarikku singgah dulu, singgah yang lama.

"Mith, udah belum?" teriakku dari luar pintu. Mitha memang tak perlu menjaga imej lagi padaku, dia memang tak tahu malu. Maksudku di awal aku mengenalnya kukira dia benar-benar anggun dan rapi, namun nyata itu hanya cover semata. Dia bahkan tak ragu untuk kentut di depanku, tapi tak apa setidaknya dia menjadi dirinya sendiri.

Bunyi bel terdengar nyaring. "Miiith, udah bel tuh!" pelajaran pertama adalah pelajaran buk Farida si guru killer nomor wahid se-SMA Tunas Bangsa. Aku tidak mau ambil resiko dengan terlambat masuk di pelajarannya, tapi sahabat only one-ku ini sedang bertarung melawan mulas di dalam sana.

Cekrek. Akhirnya!

Aku segera menarik tangannya dan membawanya terseret mengikutiku. Mitha berusaha melepas tarikanku, aku menoleh dan melepaskan tangannya. "Gue bisa jalan sendiri kali!" ucapnya kesal sembari memegangi tangannya yang tadi kutarik.

"Hehehe ... Maaf." aku nyengir lima jari. "Yaudah, yuk buruan!" aku melangkah cepat, begitupun Mitha. Aku sedang menaiki tangga saat sadar Mitha tertinggal cukup jauh. Aku menunggunya, bagaimanapun se-terburu-burunya aku, solidaritas itu penting. Aku tidak mungkin duduk tenang saat tahu Mitha di hukum.

"Mith ... Buruan!"

"Ah elah, sabar napa?!" Mitha sudah berdiri di sampingku. Kami kembali meneruskan langkah.

Aku menoleh ketika menyadari Mitha kembali tertinggal. Saat kembali menghadap depan dada seseorang sudah di depan mataku. Dan, bruk!

"Awh..." aku memegangi dahi, itu dada apa tembok, sih? Keramat --keras amat.

"Sorry ..." si tuan punya dada memegangi dahiku yang membentur dada keramatnya.

Aku mendongak dan, tampar aku! Tidak-tidak, aku hanya terlalu kaget. Pemandangan penyejuk mata di pagi yang indah ini. Twin perfect!!! Mereka ada dihadapanku. Kedua-duanya. Aku memperhatikan mata si tuan dada keramat ini, oh tidak! Dia Abdi. Aku segera menjauh darinya.

"Lo nggak papa?" Ah ini baru! Abrabrabra --itu panggilan sayang yang baru saja kubuat--

Aku nyengir. "Nggak! Dahi gue mah udah di sertifikati sabuk hitam. Dada keramatnya dia nggak ada apa-apanya di banding tembok yang dulu di hancurin dahiku!" tukasku sambil mengusap sayang dahiku.

"Keramat?" itu suara si sinpadas. Dan jujur-sejujur-jujurnya, aku jadi ngerasa aneh terhadapnya semenjak beberapa hari yang lalu. Terutama semenjak dia melihatku dalam keadaan habis terbully dua hari kemarin. Itu benar-benar sial! Lihat saja, kubalas kau genk barbie!

"Keras amat." bersamaan dengan aku menjawab, Mitha sudah sampai di hadapanku. Dia terlihat berbinar melihat dua cowok ini.

"Keramat singkatannya keras amat, gitu?" Abra terlihat tak kuasa menahan raut geli dari wajahnya.

"Yap. Kereatif, kan?" aku mencoba bergurau meski duh, nih kakiku udah kayak jeli. Apalagi saat tangan Abra hinggap di kepalaku. Duh, nggak kuat hayati bang. Kalau begini jadinya, aku nggak peduli walau harus di hukum bu Farida karena terlambat memasuki kelasnya.

What? Barusan apa?

Buk Farida?

Nggak peduli? Sinting!

"Buk Farida udah di kelas?'' tanyaku cemas.

"Udah. Nih kita lagi disuruh ngambil buku di perpus."

Jawaban Abrabrabra-ku membuatku membelalak. Aku kalap, kutarik tangan Mitha yang bisa kugapai. Dan menyeretnya mengikutiku. Duh, aku kapok datang pagi. Mitha sih!

"Lo sih Mith," aku mengoceh panjang lebar selama perjalanan. Sebagian isinya adalah menyalahkannya.

Saat di ambang pintu kelas, aku mendapat tatapan ...hmm, terperangah, kah?

Dan kukira keanehan itu datang dari balik punggungku. Aku meraba tangan Mitha, kok rada besaran sih? Bukannya Mitha lebih mini dariku ya? Lah, nggak mungkin'kan ada krim pembesar tangan?

Semakin ke atas, kurasakan tangan itu agak berbulu. Mitha tak mungkin memanjangkan bulu romanya, yah harus kuakui sahabatku itu berbanding terbalik dariku. Dia sangat peduli penampilan, kutek dan kukunya punya jadwal perawatan dua kali sebulan. Sementara aku? Aku lebih memilih menghabiskan waktu berkeringat dengan latihan ketimbang perawatan ke salon.

Oke, fix, acha, Ne, yang di belakangku positif bukan Mitha. Lalu siapa? Abrabrabra-ku'kah? Atau Abdibdibdi-Mitha'kah?

Kurasa tak adil hanya memberi panggilan istimewa pada Abra saja. Mereka kan kembar. Keduanya harus di perlakukan adil.

Aku menengok. Dan .....

Bagaikan petir menggelegar di pagi yang mendadak mendung ini. Btw, petir-nya beneran loh. Dia Abdi!!!

Ya salam!

Aku melepaskan tangannya dari genggamanku dan melangkah masuk lalu mencium punggung tangan buk Farida yang asyik dengan buku catatannya.

Guru itu melirikku tajam. ''Dari mana kamu?"

"Toilet, buk." aku nyengir garing mendapati putaran mata guruku itu.

''Ngambil absen?" guru itu meskipun agak galak --bukan agak lagi, sih tapi sudah maestro-- dia cukup akrab denganku dan Mitha yang selalu jadi alasanku telat masuk kelas.

Aku nyengir lagi lalu segera duduk di kursiku tanpa mempedulikan Abdi. Kulirik sekilas wajah mengeram Reska.

Hahaha. Tunggu aku barbie-barbie kw!

*****

13042017

Mau uas, update dulu. Semoga masih ada yang baca.

LOVE MINIONsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang