5. The Salesman

58.1K 8.1K 442
                                    

"Jadi, setelah makan siang itu, lo makan malem berdua sama dia? Naik Ducati?" Sepulang kantor, aku dan Fala janjian makan malam di salah satu Rumah Makan Jawa dekat kantor kami--sekalian mau introgasi sih, kalau kata Fala.

Sehari setelah makan malam bersama Aji, besoknya aku dapat selembar tiket dari Madam British yang mengutusku untuk menghadiri meeting dengan salah satu perusahaan tambang di Belitung selama seminggu. Otomatis, setelahnya aku tidak bertemu lagi dengan Aji dan hanya mengirim pesan yang itu juga nggak begitu gencar. Aku sibuk, dia sepertinya juga sibuk. Paling dua sampai tiga kali dia mengirim pesan dan aku membalasnya. Dan, selama seminggu itu pula Fala menerorku dengan setumpuk pesan tentang Aji. Dia baru diam, setelah aku janjikan makan malam bareng sepulangnya dari Belitung ditambah oleh-oleh. Walaupun dia sempet ngomel saat aku hanya membawakan Getas dan Kericu.

"Iya, makan seafood di warung tenda deket apartemen gue tuh!" Aku mencolek sambel terasi dengan timun segar dan melahapnya.

"Terus gimana? Ada kemajuan nggak?"

Aku mengedikkan bahu. "Cuma WA sih, terhitung kemajuan nggak?"

"Intensitasnya?"

"Normal, lah. Nggak kayak anak ABG yang tiap menit ngirim pesan 'lagi apa?'."

Fala manggut-manggut dan menyantap Garang Asem pesanannya. Aku sendiri menikmati Sayur Asem dilengkapi lauk tempe dan ikan asin (jangan lupakan lalapan dan sambal terasi). "How's Belitung? Lo bilang kapan itu makan malam sama orang tambang, kan?"

Aku mengangguk. Saat di Belitung kemarin, Manager Pemasaran perusahaan tambang tersebut, mengajakku makan malam. Single, usianya 32 tahun. Namanya Ahmad. Dua tahun lebih tua dari Aji. Perawakannya khas Melayu dengan kulit kecoklatan.Well, aku tahu, aku sedang dekat dengan Aji, tapi kan, tidak bisa menjanjikan kedepannya bagaimana. Jadi, aku memilih mencari back up, kalau-kalau Aji memilih mundur atau aku lama-lama nggak cocok dengan Aji.

Malam itu, aku membuat janji dengannya makan malam di salah satu restoran dekat hotel tempat aku menginap. Aku menolak, saat dia bilang akan menjemputku. Jadi, dia datang duluan di restoran tersebut dan aku menyusul. Saat aku sampai di restoran, dia sibuk dengan ponselnya. Entah, melakukan apa. Dia hanya menyapaku sekilas dan menyuruhku untuk memesan makan malam. Oke, minus 1 untuk kelakuan Ahmad yang ini.

Perlahan aku mulai jengah, Ahmad nggak habis-habisnya dengan ponsel dan mengabaikanku. Dimana manner pria ini? Setelah seharian tadi gencar mengajakku makan malam, dan sekarang malah dianggurin?

Aku yang akhirnya kesal, ikut mengeluarkan ponselku dan memilih mengirim pesan kepada Aji--walaupun tidak dibalas olehnya. Dari sudut mataku, aku bisa melihat dia meletakkan ponselnya di meja. Aku ikut berhenti memainkan ponselku.

"Kerjaan lagi banyak, jadi saya harus handle. Perusahaan tambang tempat saya bekerja, yang paling besar di Indonesia. Kita sudah export ke beberapa negara." Aku mendesah dalam hati, aku tahu. "Kerjaannya memang banyak, tapi cocok lah, kalau sama gaji saya ini. Udah bisa beli rumah dua, mobil, dan sekolahin adik-adik saya di luar negeri." Ahmad terus bercerita tentang dirinya sendiri, sampai makanan kami datang, ceritanya masih berlanjut. Tidak ada dia bertanya tentang diriku. Mungkin pekerjaanku atau apa pun itu, yang mengindikasikan dia tertarik dan mau tahu tentang perempuan yang ada di hadapannya.

Lama-kelamaan aku semakin jengah. Makananku masih setengah, dan napsu makanku hilang! Well done, Ahmad! Baru kali ini ada cowok yang bisa bikin napsu makanku hilang. Aku meletakkan sendok dan garpu lalu menghirup udara sebanyak yang aku mau. "I'm done, saya kembali ke hotel. Selamat malam!" Aku menarik dua lembar uang lima puluh ribuan dan meletakkannya di meja.

TINDEROLOGYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang