"Mm... mungkin kami bisa menyebut hubungan ini sebagai pacaran, dia kelas X-A. Dan terakhir aku memperkenalkannya padamu sebagai teman, Oke !" bisiknya. Awalnya aku berpikir cowok charming ini tertarik padaku, kurasa aku terlalu pede dan dengan statusnya di X-A membuatku merasa minder.
"Oh, by the way kau hebat ! Dia kelihatan cerdas... " Aku melucu.
"Dah,Crish. Aku ada janji dengannya, bye !!" teriaknya.
Ia kembali ke arah Martin, tangannya merangkul tangan Martin.
"Sampai jumpa lagi,Crish," ucap Martin.
Ia lumayan tampan, rambut pirangnya lurus, kacamata kotaknya yang bening dan baju kemeja coklatnya membuat dirinya lebih akrab dengan gaya dokter daripada seorang pelajar. Martin dan Jennifer meninggalkanku, aku sedikit melihat mereka yang tengah kasmaran dan terlihat romantis dan mengamati raut wajah mereka yang gembira ketika bertatapan mata.Aku mendahulukan gerakan kakiku daripada kepalaku karena melihat Jennifer dan Martin, kulangkahkan kakiku tiga langkah, baru badanku dan kepalaku yang kegerakkan kesamping.
"Bruaak !" Untuk kedua kalinya aku menabrak seseorang, tapi kali ini berbeda bukan hanya kepalaku yang mengalami kesakitan, tapi kedua tanganku yang terantuk dinding keramik yang keras dan terentak ke bawah lantai. Buku yang tadinya ada digenggaman tanganku jatuh tercerai-berai ke bawah lantai.
"Aw..." kataku refleks setelah tubuhku terantuk ke lantai keras tepat di sendi-sendi yang vital.
"Kau baik-baik saja ?" Seorang laki-laki cungkring dengan kaca mata bulat besar bak belalang mengatakan kata itu disampingku.
Ku ciba untuk menjaga kesadaranku sendiri, tapi pandangan mataku terus kabur, samar-samar penglihatanku mulai kurang. Kulihat orang yang kutabrak, meski mataku tak bisa fokus aku mengenalnya, dia...
"Robert William," kataku dalam hati. Ia terlihat baik-baik saja, tak terlonjak sedikitpun akibat kecerobohanku. Pandangan matanya dingin dengan bibir yang dimiringkan ke kanan penuh misterius bahkan tak mengurangi ketampanannya sedikitpun, mata topaz-nya tetap cemerlang dilengkapi bulu mata legam layaknya rajutan timur tengah... tampaknya ia tak cemas sedikitpun, earphone tersambung di telinganya dan sepertinya ia asyik mendengarkan mp3 playernya.Melihat kerumunan orang yang mulai mengerumuniku, ia segera bertindak.
"Tolong teman." Ia menyodorkan tas hitamnya ke laki-laki cungkring tadi. Dan tiba-tiba... menarik lengan kiriku tanpa aba-aba dan bergerak merangkulku, dengan mudahnya ia mengangkat tubuhku yang membuatku bisa mencium aroma maskulin dari tubuhnya. Perasaanku sebenarnya tidak karuan antara berdebar-debar dan sakit yang bersamaan. Beberapa detik kemudian kami tiba di uks, tercium aroma obat-obatan dan cairan pel yang membuatku menyerngit.
Ia membaringkanku di sebuah ranjang di sudut ruangan, perasaan menyebalkan melandaku, sebelumnya aku tidak pernah ke UKS sekolah sekalipun, entah kenapa pindah ke Sierra Nevada membuatku terkena banyak masalah.Robert bersandar di dinding putih sambil memutar mp3 palyer-nya, ia menatapku tapi ekspresinya begitu-gitu saja, datar tanpa jiwa. NON EXPRESSION...
Aku tahu ia makhluk paling tampan yang pernah aku lihat di muka bumi, tapi sikapnya yang dingin itu bisa-bisa membuatku beku bukannya meleleh.
Seorang siswi yang menjaga UKS memperban kepalaku, lalu pergi setelah ponselnya yang keparat itu berdenting keras bak lonceng di mercusuar yang membuat tulangku nyilu semua. Aku sibuk mengumpat.
Robert menatapku dengan ekspresinya yang datar, ia sepertinya ingin berbicara tapi kergauannya lebih besar ketika hendak membuka mulutnya. Suasana yang beku dan hening melingkupi kami selama beberapa detik.
"Maaf," kataku. Suaraku samar-samar, aku ragu apakah ia mendengarnya.
Tiba-tiba matanya menatap lekat ke mataku, dengan alisnya yang tebal itu pasti orang banyak berfikir ia sedang bersikap sinis dan tajam.
"Untuk apa ?" jawabnya. Aku kagum dengan pendengarannya yang tajam, juga pada suara dalamnya yang tegas dengan bazz yang berat. Melepaskan earphone dari telinganya dan menaikkan sedikit alisnya.
"Aku kan menabrakmu tadi," gumamku.
Ia menghela napas, seraya berkata :
"Siapa yang terluka, apakah orang itu yang meminta maaf." Ia menyerngitkan wajahnya.
"Bukan yang terluka, tapi orang yang membuat kesalahan, bukankah manusiawi jika seseorang menyadari apa yang ia perbuat. Apa kau hanya minta maaf pada orang yang kau lukai?!" erangku dengan nada datar.
"Ya, kukira yang terluka harus mendapatkan permintaan maaf," ucapnya.
"Kalau yang terluka itu melakukan kesalahan apa ia akan pura-pura tidak tahu," kerasku.
Ia berjalan mendekatiku, menggengam siku-ku yang terluka dan menatapku dengan tatapan tajam seperti menusuk ke dalam bola mataku.
"Ya kau benar, tapi ini dunia nyata, berhentilah sok baik hati. Kau menabrakku, tapi tubuhmu terantuk ke lantai dengan sangat kuat, tapi tidak lucu kan jika kau yang meminta maaf. Pikirkan tentang dirimu sendiri." Ia mengerang dan berlalu untuk kembali menyandarkan diri ke dinding.
Dahi berkerut, mata terbelalak, mulut ternganga. Aku kehabisan kata-kataku dan pikiranku menjadi kosong, kalimat terakhirnya terngiang di kepalaku PIKIRKAN TENTANG DIRIMU SENDIRI
Ia sepertinya berusaha keras untuk tidak membicarakannya lagi, tampak karena wajahnya mendongak melihat jendela yang bergerak karena angin sepoi-sepoi.
Tiba-tiba Mrs. Jenny masuk ke ruangan pengap ini.
"Halo," sapanya, ia menatapku lekat-lekat kemudian beralih ke kepalaku.
"Aduuh, kenapa orang ini mengangguku... huh," ucapku dalam lubuk hati.
Aku baru tahu ternyata bola matanya bewarna kehijauan, mungkin di kelas tadi ia tidak terlalu terang untuk melihatnya, maksudku melihatnya lebih jelas.
"Miss.Howards, kau ada masalah lagi ?" tanyanya tiba-tiba.
"Oh, tak apa, hanya terbentur sedikit. Apa aku sudah boleh pulang sekarang ?"
"Memangnya ada yang melarangnya ?" tanyanya mengerutkan dahi.
"Tadi wanita yang menjaga UKS menyuruhku menunggunya," jawabku.
"Benarkah ? Apa ia memberimu obat ?" tanyanya lagi.
"Ng... kurasa tidak, tapi ia memperbanku." Kumiringkan kepalaku sambil tersenyum simpul.
"Astaga Helena." Ia terkejut. "Kalau begitu aku akan memberimu obat penahan rasa sakit," tukasnya.
"Oh, tak usah. Kurasa aku baikan sekarang, lagipula obatnya takkan berfungsi dengan baik karena aku tak akan meminumnya," sergahku. Ia mengerucutkan bibirnya, sedikit tersinggung akibat tolakanku.
"Hm... boleh bantu aku Mrs.Jenny ?" Aku mengulurkan tanganku, ia langsung meraihnya sambil tersenyum tanda mengalah.Aku bisa bernapas lega setelah keluar dari ruang pengap itu, tapi di sisi lainnya aku merasa sedih ketika tak dapat melihat wajah Robert lagi. Sambil berjalan melewati pintu depan aku menatapnya, ia juga tampaknya menyadari aku melihatnya, tapi ekspresinya datar sekali, sampai-sampai mataku yang berbinar ke arahnya berubah kelam.
Aku berjalan menuju halaman depan sekolah seorang diri karena Mrs.Jenny dijemput suaminya di depan kantor tadi, aku terpaksa berjalan terhuyung-huyung ke halaman sekolah.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ablish
Teen FictionCristhine Howards mengalami masa penuh kesakitan saat ia harus menemani ibunya yang terbaring lemah karena tumor otak . Tangisnya pecah saat orang-orang berbaju hitam mengantar ibunya keperistirahatan terakhir. Kini dari Washington DC ia harus pinda...