Lembar 3

625 64 2
                                    

"Kau tidak pergi untuk membaca novel disana lagi?" tanya Yuki pada Stefan yang tengah berjalan di sebelahnya.

Stefan tak meresponnya dan masih tenggelem dalam novel yang ia baca.
Seperti yang terlihat, pagi ini Stefan tak lagi pergi ke taman kota untuk sekedar kembali membaca novel seperti yang biasa ia lakukan. Bosan. Itulah yang ia rasakan. Meskipun sangat tenang dan sejuk. Ia merasa bosan harus berdiam disana setiap harinya, apalagi ia harus mengurusi sesuatu sepulang dari taman kota yang membuatnya tidur larut. Ia memutuskan untuk berjalan santai di sepanjang trotoar dekat taman kota. Mengitarinya sembari membaca novelnya. ia memang sendirian semula, ia bahkan tak mengajak Yuki, gadis yang baru dikenalnya 2 hari itu, bersamanya. Seperti biasanya, ia hanya kebetulan bertemu dengan gadis itu.

"Kali ini apa yang kau baca?" tanya Yuki lagi begitu ia sudah gatal karena Stefan tak melirik dan mengajaknya bicara.

Stefan kali ini sedikit merespon. Menoleh sebentar dan memandangnya. Sebelum kembali pada novelnya. Menyerah. Yuki memilih kembali berceloteh sendiri atas novel yang ia baca semalam. Dengan antusias dan penuh semangat. Mungkin inilah ciri khas dari gadis belia itu.

'Mereka berjalan beriringan di sepanjang trotoar.'

Stefan mendongak dari novelnya untuk menatap ke depan. Baru menyadari bahwa mereka sudah berjalan jauh dari tempat mereka bertemu. Dan...ia juga baru menyadari ia berjalan sepanjang trotoar tanpa menghiraukan ocehan gadis disampinya. Menggeleng dan kembali membaca novelnya.

'Sang gadis terus berceloteh tentang hobinya dengan wajah berbinar dan senyum manis yang mengembang di parasnya. Pemuda yang berjalan di sebelahnya menoleh, terdiam begitu terhipnotis oleh senyumannya itu'

Lagi lagi entah apa yang mendorongnya, Stefan mendongak dari novel di tangannya dan menoleh pada Yuki. Memperhatikan bagaimana gadis itu masih berceloteh dengan riang dan tersenyum lebar. Sejenak ia terdiam. Matanya terfokus pada senyuman Yuki, sampai sesuatu membuatnya tersadar. Menggelengkan kepalanya dan memilih membaca novelnya.

'Pemuda itu mengalihkan pandangannya dari senyuman menyilaukan sang gadis. Menyembunyikan wajahnya yang mulai bersemu pada buku yang ia baca semenjak tadi'

Buk!

Setelah membaca kalimat tersebut, dengan cepat Stefan menutup bukunya. Menimbulkan bunyi agak keras yang membuatnya berjengit sendiri. Mengerjap ngerjapkan matanya sebelum menggeleng gelengkan kepalanya mencoba menyadarkan dirinya sendiri.

'Dasar buku aneh.' Rutuknya tak bersuara pada novel di genggamannya.

Entah kenapa ia merasa semua yang berada dalam kalimat itu sangat nyata dan terjadi pada dirinya. Namun apakah benar benar nyata? Ia sendiri tak yakin.

"Eh? Sudah selesai?" pertanyaan heran Yuki membuat Stefan menoleh.

"Apanya?" bukannya menjawab, Stefan balas bertanya dengan heran.

"Membaca. Biasanya kau kan membacanya tanpa peduli badai atau tsunami. Oke. Itu tadi agak keluar topik. Tapi, kau selesai di tengah?" ucapan Yuki yang penuh keheranan, pasalnya Stefan takkan pernah menghentikkan bacaannya di tengah sebelum ia berhasil membuka halaman terakhir. Setidaknya itulah kebiasaan yang diketahui Yuki setelah dua hari mengenal Stefan.

Stefan menatapnya dan mengangkat alisnya.
"Hah? Aku sudah bosan. Memangnya tak boleh." Jawab Stefan tak mengerti.
Memasukkan novel tersebut ke dalam ranselnya.Yuki hanya mengangguk mengerti dengan lugunya.

"Eh..tapi. Hey, Stefan. Apa kau benar benar menyukai romansa fiksi?" tanya Yuki menarik pelan lengan Stefan.

Membuat langkah mereka berdua terhenti dan saling berhadapan. Stefan tampak berfikir sebelum mengalihkan pandangannya.

"Tidak." Jawabnya singkat.

Yuki hampir saja membuka mulutnya untuk kembali bertanya saat Stefan kembali berbicara.

"Aku hanya suka membacanya, aku tak suka apa yang ada di dalamnya." Jelas Stefan dengan sedikit kesal.

"Kenapa?"

"Karena apa yang ada di dalamnya bukanlah sesuatu yang dapat terjadi di dunia nyata. Its impossible, y'know."

Stefan menghela nafas dan menghadap Yuki yang tampak kebingungan. Sebenarnya ia tak berniat menceritakan ini pada siapapun tapi sudah terlanjur. Kalau nasi sudah jadi bubur, apa yang bisa dilakukan selain memakannya dengan lauk?

"Menurutmu, mana yang nyata? Dunia nyata atau dunia fiksi yang sering kita baca?" tanya Stefan.

Yuki terkesiap begitu pertanyaannya tertuju hanya padanya. Terdiam ia mencoba berfikir. Kalaupun nyata memang seharusnya dunia nyatalah jawabannya. Namun jikalau , fiksi benar benar terjadi di dunia, manakah yang seharusnya disebut nyata?

"Kau kebingungan kan?" Stefan memotong pemikiran Yuki dengan sedikit sarkastis. Berbalik dan mulai melangkah, meninggalkan Yuki dengan pikirannya.
.
.
.
TBC

Romansa Fiksi - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang