Petualangan Rumah Kosong

563 4 1
                                    



WAKTU itu musim semi tahun 1894. Seluruh penduduk kota London gempar atas terbunuhnya seorang bangsawan, the Honourable Ronald Adair, secara amat unik, sehIngga sulit untuk dijelaskan. Hasil penyelidikan polisi tentang seluk beluk pembunuhan ini telah banyak diketahui masyarakat, namun masih banyak bal yang terselubung. Kasus itu dianggap sudah cukup kuat untuk diajukan ke pengadilan sehingga tidaklah perlu untuk mengungkapkan semua fakta. Baru sekaranglah, yaitu setelah hampir sepuluh tahun berlalu, aku diizinkan untuk melengkapi mata-mata rantai yang hilang supaya kisahnya dapat terangkai secara utuh dan menarik. Kejahatan itu sendiri memang amat menarik, tetapi kelanjutannya jauh lebih menarik, bahkan mampu mengguncangkan hidupku yang penuh petualangan ini. Sampai sekarang pun, setelah berlalu sekian lama, aku masih gemetar kalau memikirkan dan merasakan kembali kegembiraan, keheranan, dan juga rasa tidak percaya yang waktu itu memenuhi diriku. Aku ingin menyampaikan kepada para pembaca yang menyukai tulisan-tulisanku mengenai pemikiran-permikiran dan tindakan-tindakan sahabatku Holmes yang sangat terkenal itu, bahwa bukan salahku kalau aku berhenti menulis artikel tentangnya. Masalahnya ialah karena dia telah melarangku untuk melakukan hal itu, padahal sebenarnya aku merasa itulah tugasku yang terutama. Pada tanggal tiga bulan lalu, barulah dia mengizinkanku untuk kembali menulis tentang dirinya.

Bisa dibayangkan bahwa hubunganku yang sangat akrab dengan orang bernama Sherlock Holmes ini telah membuatku amat menaruh perhatian pada dunia kejahatan, dan setelah kepergiannya pun aku selalu membaca bermacam-macam masalah kejahatan yang muncul di masyarakat. Di samping itu, lebih dan satu kali aku bahkan tergoda untuk mencoba menangani kasus-kasus dengan menirukan metode-metodenya—untuk memuaskan rasa penasaran dalam diriku sendiri saja—walau tak begitu berhasil. Tapi, kasus Ronald Adair ini sangat menggelitik minatku. Dari hasil penyelidikan, didapatkan bukti-bukti yang mendukung adanya dugaan bahwa pembunuhan itu telah dilakukan dengan sengaja oleh beberapa orang yang sampai kini tak diketahui identitasnya. Aku langsung menyadari betapa masyarakat merasa sangat kehilangan atas meninggalnya Sherlock Holmes. Aku yakin kasus yang unik ini perlu ditangani oleh seorang detektif sekaliber Sherlock Holmes agar dapat mengantisipasi dan melengkapi usaha-usaha pihak kepolisian. Dialah detektif pertama di Eropa yang memiliki kemampuan observasi yang sangat terlatih dan daya pikir yang jeli. Sepanjang hari itu, sambil melakukan praktek keliling, pikiranku dipenuhi oleh kasus yang satu ini, namun aku tak berhasil memformulasikan penjelasan-penjelasan yang memadai. Walaupun sifatnya mengulang, biarlah aku mencoba menuliskan ringkasan fakta-fakta kasus itu sebagaimana yang sudah diketahui masyarakat dari laporan kesimpulan hasil penyelidikan.

The Honourable Ronald Adair adalah putra kedua Earl of Maynooth, yang pada waktu itu menjabat sebagai gubernur salah satu koloni di Australia. Ibunya baru saja kembali dari Australia setelah menjalani operasi katarak pada matanya. Bersama putranya, Ronald, dan putrinya, Hilda, dia tinggal di Park Lane 427. Pemuda itu banyak bergaul dengan teman-teman dari golongan atas, dan dari apa yang diketahui umum, sejauh ini dia tak mempunyai musuh atau berperilaku buruk. Dia pernah bertunangan dengan Miss Edith Woodley dari Carstairs, tetapi pertunangan itu putus atas kesepakatan kedua belah pihak beberapa bulan yang lalu, dan nampaknya hal ini tak terlalu mengganggunya. Lingkungan pergaulannya memang hanya terbatas dan konvensional saja, sebab dia menyukai ketenangan dan bukan seseorang yang emosional. Namun, sayang sekali, bangsawan muda yang menyenangkan ini telah dibunuh secara aneh dan tak terduga tepatnya pada tanggal 30 Maret 1894, antara jam 22.00 dan 23.20 malam.

Ronald Adair senang sekali bermain kartu, tetapi dengan taruhan kecil-kecilan saja. Ia menjadi anggota klub pemain kartu Baldwin, Cavendish, dan juga Bagatelle. Dan hasil penyelidikan diketahui bahwa pada hari naasnya itu, dia pergi bermain kartu di Klub Bagatele setelah makan malam. Permainan kali itu berjalan alot dan memakan waktu lama. Sebelum itu, pada siang harinya, dia juga bermain kartu di sana. Menurut mereka yang bermain dengannya—Mr. Murray, Sir John Hardy, dan Kolonel Moran—mereka bermain whist (sejenis bridge) dan banyak pemain yang mengalami kekalahan. Adair mungkin hanya kalah lima pound; tak lebih dari itu. Dia cukup kaya, sehingga kekalahan sejumlah itu pasti tak berarti apa-apa baginya. Hampir setiap hari dia bermain kartu di klub-klub itu secara bergantian, tapi dia selalu bermain dengan hati-hati dan biasanya menang. Terungkap juga dalam penyelidikan bahwa beberapa minggu sebelum ajalnya dia memenangkan 420 pound dalam sekali permainan. Waktu itu dia berpasangan dengan Kolonel Moran dan lawan mereka adalah Godfrey Milner yang berpasangan dengan Lord Balmoral. Demikianlah laporan yang didapatkan dari hasil penyelidikan.

Pada malam terjadinya pembunuhan itu, Ronald Adair pulang dari klub pada jam 22.00 tepat. Sementara ibu dan saudara perempuannya sedang pergi mengunjungi salah seorang famili mereka. Pelayan rumahnya menjelaskan bahwa malam itu ia mendengar ketika Ronald Adair memasuki ruang duduknya di bagian depan lantai dua. Sebelum itu, sang pelayan telah menyalakan perapian di ruangan itu dan membuka jendelanya supaya asap dari perapian bisa mengalir ke luar. Tak terdengar suara apa pun dari ruangan itu sampai jam 23.20. Saat itulah Lady Maynooth dan putrinya pulang. Sang ibu lalu bermaksud masuk ke kamar putranya untuk mengucapkan selamat malam, tapi pintunya dikunci dari dalam. Dia memanggil-manggil nama putranya sambil mengetuk pintu itu, tapi tak ada jawaban dari dalam. Dia lalu meminta bantuan untuk mendobrak pintu itu. Kemudian mereka menemukan pemuda yang malang itu tergeletak dekat meja. Kepalanya terkoyak secara amat mengerikan oleh peluru dari senapan jenis lebar, namun tak ditemukan senjata apa pun di ruangan itu. Di atas mejanya terdapat dua lembar uang kertas sepuluh pound dan beberapa koin emas dan perak senilai 17,10 pound yang ditumpuk-tumpuk dalam nilai yang berbeda-beda. Di samping itu, ada beberapa tulisan angka pada selembar kertas dengan coretan nama-nama beberapa teman seklubnya di bagian baliknya; dari situ diperkirakan bahwa sebelum kematiannya, dia sedang mencatat kekalahan-kekalahan dan kemenangan-kemenangannya dalam permainan-permainan kartu yang pernah diikutinya.

Pemeriksaan saksama terhadap keadaan di tempat kejadian itu malah membuat kasus ini lebih rumit. Pertama, tidak ada alasan yang dapat dijelaskan mengapa pemuda itu mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ada kemungkinan si pembunuhlah yang melakukan hal itu sebelum dia melarikan diri lewat jendela. Namun mungkinkah demikian, karena jendela itu tingginya paling sedikit enam meter, dan di bawahnya, di bagian luar, terdapat tanaman krokot yang sedang berbunga. Dan ternyata, tak ditemukan bekas injakan kaki manusia pada bunga-bunga dan tanah di bawah jendela itu. Tak pula didapati jejak apa pun pada rerumputan di jalan setapak antara rumah itu dan jalanan. Jadi, nampaknya pemuda itu sendirilah yang telah mengunci pintu kamarnya. Tetapi bagaimana dia menemui ajalnya? Tak seorang pun dapat memanjat ke jendela itu dari luar tanpa meninggalkan jejak. Andaikan seseorang telah menembaknya melalui jendela itu, pastilah dia seorang penembak yang luar biasa, karena mampu menembak dari jarak jauh hingga mengenai korbannya dan menewaskannya. Perlu diingat bahwa Park Lane adalah jalan raya yang cukup ramai dan ada pangkalan kereta sekitar seratus meter dari rumah itu. Tak seorang pun di sekitar jalan raya itu yang merasa telah mendengar suara tembakan. Nah! Padahal ada seseorang yang telah ditembak kepalanya sampai mati seketika karena luka-lukanya yang begitu fatal. Demikianlah keadaan kasus Misteri di Park Lane yang sangat membingungkan, karena belum terungkapnya motivasi pembunuhan itu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, Ronald Adair dikenal sebagai seseorang yang tidak mempunyai musuh. Selain itu, tidak nampak adanya upaya untuk mengambil uang atau barang-barang berharga dalam ruangan itu.

Sepanjang hari, aku memikirkan fakta-fakta ini dalam upaya untuk mendapatkan beberapa teori yang dapat dipakai untuk menghubung-hubungkan semua fakta yang ada, serta mencari suatu keanehan kecil yang oleh almarhum sobatku Holmes yang malang, biasanya bisa dijadikan titik awal dari suatu penyelidikan. Harus kuakui bahwa sedikit sekali kemajuan yang kucapai. Sore harinya, sekitar pukul enam, aku berjalan-jalan sepanjang Park Lane. Beberapa orang gelandangan bergerombol di trotoar, dan mereka semuanya menatap ke arah sebuah jendela, yaitu jendela dari rumah yang memang akan kukunjungi. Tak jauh dari rumah itu, seorang laki-laki tinggi-kurus yang mengenakan kacamata gelap, mungkin seorang detektif preman sedang memaparkan teori-teorinya, sementar orang orang berjejal mengelilinginya sambil mendengarkan apa yang dia katakan. Aku berusaha mendekatinya, dan menurutku, apa yang disampaikannya agak kurang masuk akal, jadi dengan rasa muak aku pun bermaksud menyingkir dari situ. Tanpa sengaja, aku menabrak seorang laki-laki tua penyandang cacat yang berdiri di belakangku, sehingga beberapa buku yang dibawanya berjatuhan. Aku ingat bahwa salah satu judul dari buku-buku yang kupungut itu adalah The Origin of Tree Worship. Wah, walaupun orang itu miskin, rupa nya dia adalah kolektor bacaan-bacaan hebat, mungkin untuk dijual lagi atau sekadar hobi. Aku bermaksud untuk minta maaf atas kejadian itu, tetapi dari pandangannya yang penuh kemarahan, aku menyadari betapa buku-buku yang berserakan tadi sangat berharga baginya. Dengan geram dia meninggalkan kerumunan itu dan akhirnya, punggungnya yang agak bungkuk dan janggutnya yang putih itu menghilang dari pandanganku.

Apa yang kuamati di Jalan Park Lane No. 427 itu tidak banyak berfaedah untuk menjelaskan kasus yang selama ini telah menarik perhatianku. Rumah itu dipagari tembok yang rendah dengan pagar besi yang tinggi, namun keseluruhan tingginya tidak lebih dari 1,5 meter. Jadi sangat mudah bagi siapa saja untuk masuk ke halaman, namun sungguh-sungguh tak mungkin seseorang, segesit apa pun dia itu, dapat memanjat jendelanya.

Akhirnya dalam keadaan semakin bingung, aku kembali ke Kensington. Belum ada lima menit aku berada di ruang kerjaku, ketika pelayan rumah menyampaikan kepadaku bahwa seseorang ingin sekali menemuiku. Betapa terkejutnya aku karena tamuku itu tidak lain adalah sang kolektor buku yang aneh tadi. Dia masuk ke kamarku sambil menenteng buku-bukunya—paling tidak ada dua belas buah—di tangan kanannya. Wajahnya tirus, penuh keriput, dan rambutnya putih.

"Anda terkejut melihat saya, sir," katanya dengan suara parau yang sangat aneh.

Kuakui, aku memang terkejut.

"Begini, sir, saya merasa bersalah, dan ketika secara kebetulan saya melihat Anda memasuki rumah ini, saya pikir saya sebaiknya masuk ke sini untuk berterima kasih kepada Anda yang telah berbaik hati memungutkan buku-buku saya yang berserakan di tanah, sekaligus memohon maaf atas perlakuan saya tadi yang tidak ramah dan agak kasar."

"Anda terlalu membesar-besarkan hal yang sepele," kataku "Bolehkah saya bertanya bagaimana Anda tahu tentang saya?"

"Baiklah, sir, semoga saya tak terlalu lancang, saya adalah tetangga Anda. Saya punya toko buku kecil di ujung Church Street. Saya sangat senang dapat bertemu dengan Anda. Siapa tahu Anda juga suka mengumpulkan buku-buku, sir. Ini, ada British Birds, Catullus, dan The Holy War—masing-masing harganya murah sekali. Dengan menambahkan lima buku saja, rak kedua Anda itu akan penuh. Kalau melompong begitu jadinya kurang rapi, kan?"

Kupalingkan kepalaku ke arah rak di belakangku, dan ketika kepalaku berbalik lagi, Sherlock Holmes sedang berdiri di depan meja tulisku sambil tersenyum kepadaku. Aku sangat terkejut hingga terlompat berdiri dan menatap sosok di hadapanku itu dengan mata melotot selama beberapa detik. Kemudian aku tak sadarkan diri—untuk pertama kali dan mungkin hanya sekali itu dalam hidupku. Apa yang kurasakan selanjutnya adalah adanya secercah kabut abu-abu yang melayang berputar-putar di depan kedua mataku. Dan ketika penglihatanku menjadi semakin jelas, kudapati kerah bajuku telah dilonggarkan dan rasa brendi pada bibirku. Holmes sedang membungkukkan badannya dekat kursi tempat aku terjatuh sambil menggenggam sebuah botol di tangannya.

"Sobatku, Watson," terdengar suaranya yang tidak asing lagi di telingaku, "aku mohon beribu-ribu maaf kepadamu. Aku sungguh tak menduga bahwa aku akan mengejutkanmu sedemikian rupa "

Aku menggapai lengannya.

"Holmes!" teriakku. "Benar-benar kaukah ini? Bagaimana mungkin kau masih hidup? Apakah kau berhasil memanjat keluar dari jurang yang amat mengerikan itu?"

"Tunggu sebentar," ucapnya. "Apakah kau yakin kau sudah cukup kuat untuk membicarakan hal ini? Aku telah membuatmu sangat terpukul dengan kemunculanku kembali, yang seharusnya jangan secara dramatis begitu."

"Aku sudah tidak apa-apa, kok. Tapi memang, Holmes, aku hampir-hampir tak percaya pada penglihatanku. Ya, Tuhan! Membayangkan bahwa kau—ya, engkau—bisa-bisanya ada di ruang kerjaku." Sekali lagi kugenggam kedua lengannya dan kurasakan tangannya yang kurus dan urat-uratnya yang menonjol. "Bagus, paling tidak bukan rohmu yang gentayangan kemari," kataku. "Sobatku, aku sangat gembira melihatmu kembali. Mari, silakan duduk, dan ceritakan kepadaku bagaimana kau bisa keluar dalam keadaan hidup dari jurang maut itu."

Ia mengambil tempat duduk di hadapanku, lalu menyalakan rokok dengan caranya yang acuh sebagaimana biasanya. Dia mengenakan jas model panjang dengan motif seperti kulit katak, sebagaimana layaknya seorang pedagang buku, namun selebihnya, ciri-ciri khasnya yang lain segera nampak dari sobatku yang satu ini. Misalnya, rambutnya yang putih dan tumpukan buku lamanya di atas meja. Holmes nampak lebih kurus walau lebih bersemangat dibanding dengan terakhir kali aku melihatnya, namun wajahnya bersemu pucat, dan aku segera tahu bahwa kesehatannya tak begitu baik akhir-akhir ini.

"Aku pun merasa senang karena kini badanku dapat kuluruskan kembali, Watson," katanya. "Tidak lucu, kan, kalau seseorang yang tubuhnya jangkung harus berpura-pura jadi bungkuk selama beberapa jam dalam sehari. Nah, sobat, berdasarkan informasi-informasi yang kudapatkan, kita—tentu saja kalau kau tak keberatan untuk bekerja sama denganku—dihadapkan pada tugas berat dan berbahaya yang harus dikerjakan malam ini. Mungkin lebih baik kalau kutunda dulu menjelaskan pengalamanku sampai tugas ini selesai."

"Aku benar-benar ingin tahu. Sebaiknya kau sampaikan saja sekarang."

"Kau mau ikut bersamaku malam ini?"

"Ya, kapan saja dan di mana saja kau suka."

"Wah, benar-benar seperti waktu-waktu dulu, ya? Kita masih punya waktu untuk makan malam sebelum pergi. Baiklah, mengenai jurang yang dalam itu, tak terlalu sulit bagiku untuk keluar dari sana karena alasan yang sepele saja, yaitu karena aku sebenarnya tidak terlempar ke dalamnya."

"Kau tak terlempar ke dalam jurang itu?"

"Tidak, Watson, aku tidak terlempar ke dalamnya Tapi surat pendek yang kutulis untukmu itu benar-benar tulisan tanganku Waktu itu aku sempat merasa ragu-ragu, jangan-jangan karierku akan segera berakhir sampai di situ, karena kulihat almarhum Profesor Moriarty, bajingan yang sangat jahat itu, menghadangku di jalan setapak yang sempit itu, yang biasa dipakai orang untuk berjalan menuju tempat yang lebih aman. Aku langsung tahu maksud jahat apa yang terkandung dalam matanya yang kelabu. Tapi aku berhasil mengajaknya bicara dan memperoleh izinnya untuk sejenak menulis surat singkat untukmu. Aku tinggalkan surat itu bersama kotak rokok dan tongkatku, lalu aku melanjutkan langkahku pada jalan setapak itu sementara Moriarty berada di bagian bawahnya. Ketika sampai pada ujung jalan itu, aku berdiri pada bagian tanah yang menjorok ke sungai di bawah. Dia tak menarik senjatanya, tetapi malah menyeruduk dan menyergapku dengan kedua tangannya. Ia tahu bahwa permainannya sendiri telah hampir berakhir, dan dia begitu bernafsu untuk membalas dendam padaku. Begitulah, kami bergulat mempertahankan nyawa kami di atas tebing air terjun yang curam itu. Untunglah aku memiliki sedikit kemampuan baritsu, seni bela diri ala Jepang yang ternyata sangat berguna bagiku dalam keadaan kritis begitu. Aku akhirnya dapat lolos dari cengkeramannya dan kemudian dia berteriak-teriak, menendang-nendangkan kakinya, dan meninju-ninjukan tangannya ke udara dengan penuh kegeraman. Akibatnya dia kehilangan keseimbangan tubuh dan terpelanting ke bawah. Dari tepi air terjun itu, aku menyaksikan dia terjatuh jauh ke bawah, menghantam batu, terpental, dan akhirnya tercebur ke dalam pusaran air yang deras."

Dengan tercengang-cengang aku mendengarkan penjelasan kisah Holmes yang disampaikannya sambil tak henti-hentinya mengepulkan asap rokoknya.

"Namun jejak-jejak itu!" teriakku. "Aku melihat sendiri bahwa kedua-duanya menuruni jalan setapak dan tidak kulihat jejak seseorang yang melangkah ke arah balik."

"Kejadiannya begini. Pada saat Profesor Moriarty tidak muncul lagi, aku sadar betapa beruntungnya nasibku. Namun aku tahu bahwa bukan hanya Moriarty seorang yang menginginkan kematianku. Paling tidak ada tiga anggota komplotannya yang menaruh dendam kepadaku, lebih-lebih setelah mereka nanti tahu akan kematian pemimpin mereka. Mereka semua termasuk bandit-bandit yang sangat berbahaya. Cepat atau lambat, salah satu dari mereka pasti akan menemukan diriku. Sebaliknya, jika seluruh dunia yakin bahwa aku ikut tewas di situ, mereka—para bandit itu—akan merasa bebas berkeliaran sehingga aku dapat menghabisi operasi mereka. Kemudian akan tiba saatnya aku dapat mengumumkan bahwa aku sebenarnya masih hidup di dunia ini. Begitu cepatnya otakku bereaksi saat itu, sehingga aku yakin bahwa aku telah merasa yakin akan semua itu bahkan sebelum tubuh Profesor Moriarty menghantam bagian dasar Air Terjun Reichenbach.

"Kemudian aku bangkit berdiri dan memperhatikan dinding bebatuan di belakangku. Dinding itu memang licin sekali, seperti yang kaugambarkan di dalam tulisanmu mengenai kejadian itu, yang sempat kubaca dengan penuh minat beberapa bulan sesudahnya. Namun ternyata ada juga batu-batuan pipih yang menonjol, sehingga bisa dipakai untuk tempat berpijak, dan ada pula beberapa bagian datar. Tebing itu begitu tinggi sehingga jelas tidak mungkin bagiku untuk menaikinya sampai ke atas. Aku tak pula berminat untuk melewati jalanan yang becek itu, karena pasti akan meninggalkan jejak. Alternatif lain yang ada saat itu adalah apakah aku sebaiknya berjalan mundur, seperti yang dulu pernah kulakukan dalam situasi serupa. Namun jika nanti orang-orang melihat ada tiga jejak kaki ke satu arah, mereka tentu akan tahu bahwa yang satu pastilah hanya untuk mengelabui. Akhirnya aku memutuskan bahwa yang terbaik adalah mendaki tebing itu walau penuh risiko. Benar-benar susah, Watson. Air terjun itu menderu tepat di bawahku. Aku bukan orang yang suka berkhayal, tetapi saat itu sepertinya aku mendengar suara Moriarty berteriak-teriak kepadaku dari arah jurang yang dalam itu. Satu kekhilafan kecil saja dapat berakibat fatal. Beberapa kali, ketika rerumputan yang kupegang terlepas atau kakiku tergelincir pada lekuk-lekuk batu yang basah, kupikir aku pasti tak akan berhasil menyelamatkan diri.

Namun demikian, aku terus bersusah payah memanjat ke atas dan akhirnya sampailah aku di suatu tempat yang cukup datar dan luas serta tertutup oleh lumut hijau yang lembut, tempat aku dapat berbaring dengan nyaman sekali tanpa kemungkinan terlihat oleh seorang jua pun. Di sanalah aku meregangkan otot-otot tubuhku, ketika kau, Watson, dan semua orang yang mengikutimu dengan penuh rasa simpati sedang sibuk mengadakan pemeriksaan atas lokasi yang kalian duga sebagai tempat kematianku, tanpa hasil apa-apa.

"Pada akhirnya, setelah kau dan yang lainnya membuat kesimpulan-kesimpulan yang ternyata salah semuanya, kau kembali ke hotel, sementara aku tertinggal di sana sendirian. Waktu itu aku sempat berpikir bahwa sampai di situlah petualanganku berakhir. Namun kemudian terjadi sesuatu yang sangat tak kuharapkan, sehingga sadarlah aku bahwa masih ada kejutan-kejutan yang menantiku. Sebuah batu besar tiba-tiba jatuh dari atas, berdentum melewati tempatku berada, menghantam jalan setapak itu, lalu terpental masuk ke dalam jurang. Sesaat, kukira itu hanya kecelakaan saja, tetapi ketika aku menengadah ke atas tak lama kemudian, aku melihat kepala seseorang dalam keremangan langit yang mulai gelap. Kemudian sebuah batu lain menghantam tepat pada tempatku berbaring, nyaris mengenai kepalaku. Jelas sekali maksud kejadian itu. Ternyata benar bahwa Moriarty tidak sendirian. Seorang komplotannya—yang tak kalah berbahayanya sebagaimana tampak olehku tadi, walau hanya sekilas—sedang berjaga-jaga semenjak profesor itu menyerangku. Dari jarak jauh, dia pasti menyaksikan bagaimana pemimpinnya menemui ajalnya dan bagaimana aku berusaha menyelamatkan diri, tanpa aku menyadarinya. Dia lalu menunggu, kemudian memutar jalannya menuju puncak tebing itu dan berusaha menebus kekalahan rekannya dengan berusaha membunuhku.

"Aku tak punya waktu lama untuk memikirkan hal itu, Watson, karena aku kembali melihat wajahnya yang geram di atas tebing sana, dan aku tahu pasti akan ada batu yang dijatuhkannya lagi. Sebab itu aku lalu merangkak dengan susah payah menuruni tebing itu menuju jalan setapak yang sempit itu kembali; aku tak yakin akan mampu melakukannya. Darahku terasa membeku. Benar-benar seratus kali lebih sukar dibandingkan dengan ketika mendaki tadi. Tetapi saat itu aku tak sempat memikirkan bahayanya, karena sebuah batu lain menggelinding di dekatku ketika aku mulai menggelantung pada tepi bagian yang datar. Dalam upayaku menuruni tebing itu aku sempat tergelincir. Tetapi berkat penyertaan Tuhan, aku berhasil mendarat pada jalan yang sempit itu, sekalipun terluka dan berdarah. Kemudian aku lari terbirit-birit kurang lebih enam betas kilometer ke atas gunung dalam kegelapan malam, dan seminggu kemudian tibalah aku di Florence, dengan satu keyakinan bahwa tak ada seorang pun di dunia ini yang mengetahui apa yang telah terjadi pada diriku.

"Hanya ada satu orang yang kuberitahu soal diriku, yaitu Mycroft kakakku. Aku mohon maaf yang sebesar-besarnya kepadamu Watson, sobatku yang baik, karena aku tidak mengabarkan hal ini kepadamu. Tetapi melihat situasi pada waktu itu, adalah sangat penting kalau kau pun mengira bahwa aku telah tewas di tempat itu. Karena dengan demikian, kau pun lalu menuliskan tentang malapetaka yang telah menimpa diriku itu di surat-surat kabar dengan amat meyakinkan. Selama tiga tahun terakhir ini, beberapa kali aku berniat menulis surat kepadamu, tetapi niatku itu selalu kuurungkan, takut kalau-kalau karena rasa hormat dan kasihmu kepadaku, kau akan bertindak secara kurang hati-hati sehingga tanpa sengaja akan membuka rahasiaku. Karena alasan itu pulalah, aku tadi menghindari dirimu ketika kau menjatuhkan buku-buku yang kubawa. Tadi itu aku sempat merasa berada dalam bahaya, karena kalau sampai dalam keterkejutanmu kau mengenaliku, identitasku akan diketahui orang. Dan ini bisa berakibat fatal. Mengenai Mycroft, aku memang harus mempercayainya, karena melalui dialah aku bisa mendapatkan dana yang kuperlukan selama persembunyianku itu. Temyata telah terjadi beberapa tindak kejahatan lagi di London, karena dua orang anggota kelompok Moriarty yang paling berbahaya masih bebas berkeharan; yang juga merupakan musuh-musuh yang sangat dendam kepada diriku. Oleh karena itu, aku melarikan diri ke Tibet dan bersembunyi di sana selama dua tahun. Aku mengunjungi Lhassa dan tinggal beberapa hari di rumah seorang biksu kepala. Kau mungkin membaca laporan penjelajahan yang dilakukan oleh seorang Norwegia bernama Sigerson, tetapi aku yakin kau pasti tak pernah menduga bahwa aku, sobatmu inilah, penulisnya. Setelah itu, aku melintasi Persia, mampir sebentar di Mekah dan juga di Khalifa, Khartoum. Walaupun cuma sebentar, kunjungan itu menyenangkan. Aku bahkan sempat melaporkan hasil kunjungan itu ke Departemen Luar Negeri. Akhirnya aku kembali ke Francis, dan selama berbulan-bulan aku menyibukkan diriku dengan melakukan penelitian terhadap asal-usul ter batu bara di sebuah laboratorium kimia di Montpellier, yang terletak di bagian selatan negara itu. Setelah puas dengan hasil penelitian itu, aku mengetahui bahwa hanya tinggal satu orang musuhku yang masih berada di London saat itu. Aku lalu merencanakan untuk pulang ke London, dan aku malah mempercepat niatku ini setelah membaca berita-berita tentang Misteri Park Lane yang luar biasa itu. Bagiku secara pribadi, bukan hanya kualitas kasus ini yang menarik perhatianku, melainkan juga karena menawarkan kesempatan emas. Aku lalu bergegas pulang kembali ke London, langsung menuju tempat tinggalku yang dulu di Baker Street. Kedatanganku telah menyebabkan Mrs. Hudson menjadi sangat histeris, dan aku mendapati bahwa Mycroft telah merawat kamar-kamar dan kertas-kertas dokumenku, sehingga semuanya dalam keadaan persis seperti ketika kutinggalkan. Demikianlah kisahnya, sobatku Watson, bagaimana pada hari ini, tepatnya pada jam dua tadi, aku kembali bisa duduk di kursi tuaku di dalam kamar itu sambil mengharapkan akan menemuimu sedang duduk di kursi satunya yang sejak dulu menjadi kesayanganmu itu."

Sungguh, kisah yang kudengarkan pada suatu sore di bulan April itu amat luar biasa. Aku hampir-hampir tak dapat mempercayai apa yang kudengar, kalau saja aku tak melihat dengan mata kepalaku sendiri sosok sahabatku yang tinggi kurus, serta wajah tirusnya yang penuh semangat. Sungguh, aku tak pernah membayangkan akan berjumpa dengannya lagi. Ternyata dia bisa merasakan kesedihanku atas kehilangan dirinya selama ini. Dia memang tak mengungkapkannya dalam kata-kata, tapi tindak-tanduknya menunjukkan simpatinya terhadapku.

"Bekerja adalah obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan kesedihan seseorang, sobatku Watson yang kukasihi," ucapnya, "dan malam ini ada tugas untuk kita berdua yang, kalau kita berhasil mengatasinya, akan membawa keadilan bagi kehidupan seseorang di bumi ini."

Aku berusaha mengorek lebih banyak informasi mengenai tugas ini darinya namun sia-sia. Dia hanya menjawab, "Kau akan mendengar dan melihat lebih banyak dari yang kauinginkan besok pagi. Lebih baik kita membicarakan banyak hal yang telah terjadi selama tiga tahun terakhir ini sampai jam 21.30, lalu kita akan mulai berpetualang di sebuah rumah kosong "

Benar-benar seperti masa-masa yang lalu, ketika pada jam tersebut, aku duduk menemaninya di dalam kereta dengan mengantongi pistol, dan hatiku dipenuhi rasa penasaran akan petualangan yang akan kualami. Holmes duduk tak bergeming, tegang, dan diam seribu bahasa. Ketika sinar lampu jalan menerangi wajahnya yang kaku, kulihat alisnya tertarik ke bawah dan bibirnya terkatup rapat. Dia sedang berpikir keras. Aku sama sekali tak tahu menahu tentang penjahat buas yang sedang kami buru di belantara kriminal kota London ini, tapi dilihat dari sikap pemburu ulung di hadapanku, aku merasa yakin bahwa petualangan kami kali ini sungguh-sungguh berat. Sementara itu, sesekali senyum sinis menyembul dari sosok yang bagaikan pertapa murung ini, dan ini pertanda adanya harapan untuk mencapai sasaran perburuan kami.

Aku mengira kereta kami akan membelok menuju Baker Street, tetapi ternyata Holmes minta agar kereta itu berhenti di ujung daerah Cavendish Square. Kuperhatikan, dia lalu menengok ke kanan dan ke kiri begitu keluar dari kereta, dan melakukan hal yang sama pada setiap ujung jalan berikutnya untuk memastikan bahwa tak ada orang yang sedang menguntitnya. Rute perjalanan kami sungguh-sungguh lain dari biasanya. Pengetahuan Holmes tentang jalan jalan pintas di London sangat hebat dan pada waktu itu dia berjalan dengan cepat dan pasti melewati lorong-lorong belakang rumah-rumah dan juga kandang-kandang kuda yang belum pernah kulewati. Akhirnya, kami sampai pada sebuah jalan kecil di mana terdapat sederet rumah-rumah tua yang gelap. Dengan memotong jalan itu kami tiba di Manchester Street, dan kemudian Blandford Street. Di sini dia bergegas membelok menuruni sebuah lorong sempit, lalu masuk melewati pintu gerbang kayu menuju halaman yang terpencil dan akhirnya, dia membuka pintu belakang rumah kosong yang tadi disebutkannya itu dengan sebuah kunci. Setelah kami masuk, pintu itu pun ditutupnya kembali.

Tempat itu amat gelap, dan jelas bahwa rumah itu tak berpenghuni. Lantai papannya berderit-derit ketika terinjak oleh langkah-langkah kaki kami dan ketika tanganku menggapai-gapai, akhirnya menyentuh kertas pelapis dinding yang sudah robek-robek. Jari-jari Holmes yang kurus dan dingin menggenggam pergelangan tanganku dan membimbingku ke sebuah ruangan yang besar dan panjang. Secara samar-samar aku kemudian melihat cahaya remang-remang dari lubang-lubang angin di atas pintu ruangan itu. Tiba-tiba Holmes membelok ke sebuah ruangan di sebelah kanan. Ruangan itu pun luas dan kosong, dan sudut-sudutnya gelap sekali; hanya terbias sedikit sinar di bagian tengah yang berasal dari lampu lampu jalanan di sebelah sana. Tak terdapat lampu sama sekali di dalam ruangan itu, sedangkan jendelanya tertutup oleh debu tebal, sehingga hanya bayangan tubuh kamilah yang terlihat satu sama lain. Sahabatku menarik pundakku dan membisikkan sesuatu di telingaku.

"Apakah kau tahu di mana kita berada sekarang?"

"Pasti di Baker Street," jawabku sambil memandang ke luar melalui jendela yang buram itu.

"Tepat sekali. Kita ada di Canden House yang berseberangan dengan kamar kuno yang kita sewa itu."

"Tapi, untuk apa kita ke sini?"

"Dari sini kita dapat melihat dengan sempuma ke arah kamar kita di lantai dua di seberang sana. Tolong, Watson, kau maju lebih mendekat ke jendela itu. Hati-hati, ya, agar tak sampai kelihatan dari luar, lalu amatilah kamar kita dulu—tempat dimulainya berbagai pertualangan kita. Kita akan lihat apakah kepergianku selama tiga tahun ini telah menghilangkan kemampuanku untuk membuat kejutan bagimu."

Aku merangkak maju dan memandang ke arah jendela yang tak asing lagi di seberang sana. Tak lama setelah mataku tertuju ke jendela itu, jantungku berdetak dengan amat cepat dan nyaris aku menjerit karena takjub. Kerai jendela kamar kami itu tertutup, sedangkan lampunya menyala terang sehingga melalui kerai yang tembus pandang itu tampak dengan jelas sekali bayangan seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi di dalam kamar itu. Dari sikap kepala bayangan itu, tak salah lagi bahwa bayangan itu berasal dari patung diri Holmes yang sempurna. Wajahnya agak menengok ke samping sehingga menghasilkan profil bayangan yang begitu mengesankan dalam pantulan sinar lampu. Aku begitu terpukau sampai-sampai secara reflek tanganku menggapai Holmes untuk memastikan bahwa dia benar-benar berada di sampingku. Dia tertawa pelan.

"Bagus?" katanya.

"Oh, Tuhan!" teriakku. "Sungguh hebat!"

"Aku yakin bahwa patung diriku itu tidak bisa menjadi tua atau rusak," katanya dengan nada bangga dan gembira atas hasil kreasinya. "Benar-benar mirip diriku, ya?"

"Aku bahkan berani bersumpah bahwa yang ku lihat di sana itu benar-benar dirimu."

"Aku yakin hasil karya itu pasti akan hebat, karena yang membuat proses pencetakannya adalah Monsieur Oscar Meunier dari Grenoble yang termasyhur. Dia mengerjakan patung yang terbuat dari lilin itu selama berhari-hari. Sedangkan lain-lainnya, aku sendirilah yang mengerjakannya siang tadi begitu aku tiba di Baker Street."

"Untuk apa gerangan semua itu kaulakukan?"

"Begini, Watson, aku ingin ada orang-orang tertentu yang mendapat kesan bahwa aku berada di kamar itu, pada saat aku kenyataannya berada di tempat lain."

"Jadi menurutmu, ada orang yang sedang meng-amati kamarmu itu?"

"Aku tahu bahwa kamarku memang sedang di awasi."

"Oleh siapa?"

"Oleh musuh-musuh bebuyutanku, Watson, yang tergabung dalam organisasi yang ketuanya tergolek di dasar Air Terjun Reichenbach. Kau tentu ingat bahwa mereka tahu, dan hanya mereka yang tahu, bahwa aku sebenarnya masih hidup. Mereka yakin, cepat atau lambat, aku akan kembali ke kamarku. Mereka mengawasi kamarku itu secara terus-menerus, dan pagi tadi mereka melihat aku kembali ke tempat itu."

"Bagaimana kau tahu?"

"Karena aku mengenali prajurit jaga mereka, ketika aku menengok ke luar jendela. Dia itu seorang algojo, namanya Parker, dan dia dikenal sebagai pemain kecapi yang hebat. Tapi dia sama sekali tak masuk hitunganku. Yang sangat mengganggu pikiranku adalah orang yang ada di belakangnya, yaitu seorang gembong yang sangat mengerikan, teman baik Profesor Moriarty. Dialah yang menjatuhkan batu ke tempatku terbaring di bawah jurang waktu itu. Dia adalah penjahat paling licik dan paling berbahaya di London, yang saat ini sedang membuntuti jejakku, Watson. Namun orang ini tidak menyadari bahwa sekarang kitalah yang sedang mengawasi dia."

Sedikit demi sedikit, rencana rencana sahabatku itu menjadi semakin nyata bagiku. Dari tempat persembunyian kami yang tepat ini, kami bisa mengamati pengamat-pengamat rumah kami sambil sekaligus memerangkap perangkap-perangkap yang dipasang untuk kami. Bayangan di atas sana adalah umpan yang kami pasang dan kami adalah pihak pemburunya. Di dalam kegelapan kami berdiri diam sambil memperhatikan orang-orang yang hilir-mudik dengan sibuknya di bawah kami. Holmes diam tak bergerak, tetapi aku yakin dia dalam keadaan siap siaga, dengan matanya tertuju pada arus orang-orang yang berlalu-lalang. Cuaca malam itu agak mendung, dan suara angin yang bertiup di jalanan yang hiruk pikuk terdengar nyaring di telinga. Kebanyakan orang yang lewat mengenakan mantel dan jas panjang. Beberapa kali rasanya aku melihat sosok-sosok yang sama hilir-mudik di bawah sana. Perhatianku khususnya tertuju pada dua pria yang seolah-olah sedang berteduh dari terpaan angin di depan pintu sebuah rumah agak di sebelah sana. Kucoba menyampaikan hal ini kepada sahabatku, tapi dia malah jadi jengkel, dan segera mengalihkan perhatiannya ke jalanan di depan kami. Beberapa kali dia menggerak-gerakkan kakinya dengan gelisah dan mengetuk-ngetukkan jemarinya pada dinding dengan cepat. Jelas bagiku bahwa dia mulai merasa cemas jangan-jangan semua rencananya tidak akan berjalan sesuai dengan harapannya. Akhirnya, sementara malam semakin larut dan jalanan semakin sepi, dia mulai mondar-mandir di ruangan itu dengan kecemasan yang menjadi-jadi. Hampir saja aku menegurnya, namun aku terlebih dulu dikejutkan oleh apa yang kulihat pada jendela kamar kami yang terang benderang di seberang sana. Aku lalu menarik tangan Holmes sambil menunjuk ke arah jendela itu.

"Bayangan itu telah berubah posisi!" teriakku.

Memang yang nampak bukan lagi profil wajah dan kepalanya, melainkan punggungnya yang kini menghadap ke arah kami.

Waktu tiga tahun ternyata tak memperhalus kekakuan ataupun kekurangsabaran sikapnya. Bahkan kemampuan berpikirnya pun masih tetap seaktif semula.

"Tentu saja berubah posisi," katanya. "Kaupikir aku ini begitu bodoh, Watson, sehingga patung itu cuma mampu berdiri begitu saja? Kalau patung itu begitu saja, kan orang-orang yang pandai di Eropa ini tak akan terkecoh olehnya? Kita telah dua jam di sini dan Mrs. Hudson sudah mengubah posisi patung itu sebanyak delapan kali, tepatnya tiap seperempat jam sekali. Dia melakukannya dari depan sehingga bayangannya tidak kelihatan. Ah!" Holmes menarik napas panjang dengan penuh kegirangan. Dalam keremangan cahaya, kuperhatikan sahabatku melongokkan kepalanya ke depan dengan penuh perhatian. Saat itu, jalanan di luar sudah benar-benar sepi. Dua laki-laki di teras rumah sana itu mungkin saja masih meringkuk kedinginan, tapi kini tak terlihat lagi olehku. Sunyi senyap dan gelap gulita, kecuali tirai kuning yang terang benderang dengan bayangan hitam di tengahnya, di seberang kami itu. Sekali lagi, dalam keheningan malam, aku mendengar siulan lemah yang menunjukkan kegembiraan besar yang ditahan-tahan oleh sahabatku. Sekejap kemudian, dia menarikku mundur ke sudut paling gelap dari ruangan itu sambil tangannya mengatup bibirku agar aku tak bersuara. Jari-jarinya terasa agak gemetar. Tak pernah sebelumnya aku melihatnya begitu grogi, padahal, sementara itu, jalanan gelap itu masih tetap saja sepi dan lengang.

Tetapi tiba-tiba saja aku sadar bahwa telah terjadi sesuatu yang diketahuinya melalui pancainderanya yang sangat tajam. Telingaku menangkap suara perlahan seperti layaknya suara seseorang yang mengendap-endap, tidak dari arah Baker Street, tetapi dari arah belakang rumah tempat kami bersembunyi. Lalu terdengar pintu dibuka dan ditutup kembali. Tak lama kemudian, terdengar langkah-langkah seseorang menyusuri lorong yang sebelumnya juga kami lewati—langkah-langkah itu sebenarnya pelan saja, tetapi pantulan suaranya terdengar keras sekali di dalam rumah kosong itu. Holmes membungkukkan badannya dan menyandar pada dinding. Aku pun menirukan gerak-geriknya sambil tanganku siap pada tangkai revolverku. Sementara terus mengawasi dalam kegelapan, aku lalu menangkap bayangan sesosok pria yang tak begitu jelas. Dia berdiri sebentar kemudian merangkak ke bagian depan ruangan itu. Sosok jahat itu hanya kira-kira tiga meter jaraknya dari tempat kami bersembunyi, dan aku siap menghadapinya kalau-kalau dia mau menyerang kami. Tetapi kemudian aku sadar bahwa ternyata dia tidak menyadari keberadaan kami. Dia melewati kami, menyelinap ke arah jendela, dan membuka sebagian daun jendela ke atas dengan hati-hati sekali hingga tak bersuara.

Dan ketika dia menengok ke luar jendela, lampu jalanan menyorot tepat ke wajahnya. Pria itu nampak senang dan puas. Kedua matanya bersinar bagaikan bintang, dan mimik wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang berpikir keras. Dia seorang pria setengah baya dengan hidung kurus, mancung, dahi tinggi, kepala botak, dan kumis lebat berwama putih. Topinya terdorong agak ke belakang kepalanya dan dia mengenakan pakaian malam resmi berupa jas panjang yang tak dikancingkannya. Mukanya kurus, kehitam-hitaman, dengan goresan-goresan dalam yang mengerikan. Tangannya menggenggam sesuatu seperti tongkat, tetapi ketika dia menaruh benda itu di lantai timbul suara berdenting seperti logam. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah benda besar dari saku jas panjangnya, dan mulailah dia sibuk dengan benda itu. Akhirnya terdengar bunyi "klik" yang keras sepertinya sebuah per atau palang terjatuh dari tempatnya. Masih sambil berlutut di lantai, dia membungkuk di dekat jendela sambil kedua tangannya bertumpu pada kerangka jendela bagian bawah. Sejenak kemudian, terdengar bunyi benda bergesek dan bergulung panjang yang kembali diikuti dengan bunyi "klik" yang amat keras. Dia kemudian berdiri, sehingga kini kelihatanlah apa yang sedang dipegangnya, yaitu sejenis senapan angin dengan laras yang bentuknya bengkok dan aneh. Setelah dia membuka bagian belakang laras itu, dia memasukkan sesuatu, dan cepat-cepat mengokang tempat pelurunya. Kemudian dia membungkuk lagi, menyandarkan laras itu pada kerangka bawah jendela yang terbuka, dan tampaklah kumis panjangnya menjuntai pada benda itu dan matanya yang nanar ketika mengintai sepanjang bangunan rumah sewa kami. Di samping itu, terdengar desah napas kepuasan, ketika dia memanggul larasnya di pundak sambil mengawasi sasarannya, yaitu sosok hitam di balik kerai kuning yang kini berdiri dengan jelas di depan matanya. Sejenak dia berdiam diri dengan kaku, tak bergerak sedikit pun. Kemudian jari telunjuknya menekan pelatuk senapannya, lalu terdengarlah bunyi "whuuus" yang keras dan aneh, disusul dengan suara gemerencing dari pecahan kaca yang berjatuhan di seberang sana. Pada saat itulah Holmes melompat bagaikan seekor macan, menerkam punggung penembak ulung itu sehingga yang bersangkutan pun jatuh tersungkur. Sebentar kemudian dia berhasil berdiri lagi, dan dengan kekuatan besar dia mencengkeram leher Holmes, namun aku langsung memukul kepala orang itu dengan tangkai revolverku hingga dia jatuh ke lantai. Dan ketika aku sedang menindih dan memeganginya dengan kuat, sahabatku meniup peluitnya dengan kuat sekali. Lalu terdengarlah derap kaki orang-orang yang berlarian di trotoar, dan tak lama kemudian muncullah dua polisi berseragam dan seorang detektif preman yang menyerbu masuk melalui ruang depan menuju ruangan tempat kami berada.

"Kaukah itu, Lestrade?" tanya Holmes.

"Ya, Mr. Holmes. Kali ini saya turun tangan sendiri. Sungguh senang, dapat bertemu dengan Anda kembali di London."

"Kukira kau pastilah membutuhkan sedikit bantuan tak resmi. Tiga kasus pembunuhan dalam satu tahun yang belum terungkap pastilah cukup berat bagimu, Lestrade. Namun kau telah menangani Misteri Molesey secara luar biasa dibanding dengan biasanya, maksudku... cukup baiklah."

Kami semua sudah bangun berdiri, sementara tawanan kami menarik napas dengan berat sementara kedua tangannya dicekal oleh dua polisi yang kekar. Sudah ada beberapa orang berkumpul di jalanan. Holmes melangkah ke jendela, mengunci jendela, dan menutup tirai-tirainya. Lestrade menyalakan dua batang lilin dan polisi-polisi itu menyalakan lentera mereka. Dengan demikian, akhirnya aku dapat melihat tawanan kami dengan jelas.

Wajahnya yang sangat keras dan seram menatap kami dengan tajam. Keningnya bagaikan kening seorang ahli filsafat, sedangkan rahangnya amat sensual. Orang itu sebenarnya memiliki potensi yang sama besarnya untuk menjadi orang baik-baik. Namun nyatanya, penampilannya saat ini benar-benar menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang penjahat yang sangat berbahaya. Matanya yang biru memancarkan kekejaman, kelopak matanya merunduk sinis, hidungnya mancung, dan keningnya penuh dengan garis-garis tajam yang mengerikan. Dia tidak menghiraukan kami. Dia hanya memandangi Holmes dengan penuh kebencian, sekaligus keheranan.

"Kau, setan!" begitu terus gerutunya. "Kau, setan. Setan yang cerdik!"

"Ah, Kolonel!" kata Holmes sambil membetulkan kerahnya yang kusut. "'Kisah berakhir dengan pertemuan antara dua kekasih,' begitu, kan, biasanya yang terjadi pada sandiwara-sandiwara kuno? Namun, aku kok tak sedikit pun merasa gembira bertemu denganmu. Habis, perhatian yang kau curahkan kepadaku ketika aku terbaring di tebing curam Air Terjun Reichenbach waktu itu cuma berupa batu-batuan!"

Yang disebut Kolonel oleh Holmes itu masih terus menatap pada sahabatku bagai orang kerasukan setan. "Kau licik, setan licik!" itu saja yang terus dilontarkannya.

"Oh, aku belum memperkenalkan dia padamu, Watson," kata Holmes. "Dia ini Kolonel Sebastian Moran, pernah menjadi tentara kerajaan yang bertugas di India, dan penembak kelas berat terbaik yang pernah dihasilkan oleh batalion kerajaan bagian timur. Kurasa, aku tak salah, Kolonel, kalau mengatakan bahwa koleksi macan-macanmu masih tidak ada tandingannya?"

Pria yang sedang dipenuhi amarah itu tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya terus melotot ke arah sahabatku. Dengan matanya yang jalang dan kumisnya yang kaku, ia sungguh-sungguh menyerupai seekor macan.

"Aku heran, kok bisa-bisanya muslihatku yang amat sederhana mengelabui seorang shikari kawakan," kata Holmes. "Bukankah cara yang kutempuh ini tak asing lagi bagimu? Bukankah kau sendiri pernah mengikat seorang anak muda di bawah pohon, sementara kau berbaring di atas siap dengan senapanmu sambil menunggui umpan itu yang akan menarik perhatian macan-macan? Rumah kosong ini adalah pohon yang kumanfaatkan dan kau macan yang kuintai. Kau sendiri mungkin juga memiliki senjata-senjata lain untuk persediaan, kalau-kalau ada banyak macan yang datang, atau terperangkap dalam situasi di mana perkiraanmu meleset. Mereka inilah," tangan Holmes menunjuk pada kami semua, "senjata-senjata cadanganku. Benar-benar serupa dengan strategimu, kan?"

Kolonel Moran melompat ke depan dengan kegeraman yang memuncak, tetapi polisi-polisi yang mencekalnya menariknya kembali. Amarah yang terpancar di wajahnya amat mengerikan.

"Aku harus mengakui bahwa kau cukup mengejutkanku juga," kata Holmes. "Aku tak mengira kau juga akan memanfaatkan rumah kosong dan jendela depan itu. Aku membayangkan kau akan beroperasi dari jalanan di bawah sana, tempat temanku Lestrade dan pembantu-pembantunya siap menantikanmu. Walau dugaanku sedikit meleset, semuanya berakhir seperti yang kuharapkan."

Kolonel Moran menoleh kepada detektif rekan Holmes itu.

"Kau mungkin punya alasan untuk menahanku, tapi mungkin juga tidak," katanya. "Tetapi yang jelas, aku tak punya alasan untuk mempercayai omong kosong orang ini. Karena aku berada di tangan yang berwajib biarlah hukum nanti yang akan menentukan segalanya."

"Baik, bisa diterima," kata Lestrade. "Apakah ada hal lain yang ingin Anda sampaikan sebelum kami pergi, Mr. Holmes?"

Holmes mengambil senapan yang berkekuatan besar itu dari lantai dan memeriksa mekanismenya.

"Senjata ini sungguh unik dan mengagumkan," katanya. "Tak menimbulkan suara, padahal tenaganya besar sekali. Aku kenal seorang Jerman pakar pembuat senjata yang buta, bernama Von Herder, dialah yang menciptakan senapan ini atas pesanan almarhum Profesor Moriarty. Sudah sejak bertahun-tahun yang lalu aku mengetahui adanya senjata ini, namun baru sekarang aku berkesempatan memegangnya. Sebaiknya kuserahkan senjata ini secara khusus kepadamu, Lestrade, untuk diamankan dan diselidiki. Demikian pula jenis peluru yang cocok untuk senapan ini."

"Anda dapat mempercayakan senjata ini pada kami agar diamankan, Mr. Holmes," kata Lestrade ketika kami semua berjalan menuju pintu. "Masih ada lagikah yang ingin Anda katakan?"

"Hanya ingin bertanya, tuduhan apa yang akan kaumasukkan untuknya?"

"Tuduhan apa, sir? Apa maksud Anda? Tentu saja, tuduhannya adalah upaya pembunuhan terhadap Mr. Sherlock Holmes."

"Salah, Lestrade. Aku sama sekali tak berniat untuk ditampilkan dalam perkara ini. Kau, ya, kau sendirilah yang telah dipercaya melakukan penangkapan yang luar biasa ini. Ya, aku mengucapkan selamat padamu, Lestrade! Sebagaimana biasanya, berkat kecerdikan dan keberanianmu kau telah berhasil menangkapnya."

"Menangkapnya! Menangkap siapa, Mr. Holmes?"

"Ya dia ini! Yang selama ini telah dicari-cari—tanpa hasil—oleh seluruh kekuatan yang ada di London. Ya, Kolonel Sebastian Moran inilah yang menembak mati the Honourable Ronald Adair dengan peluru jenis lebar dari sebuah senapan khusus melalui jendela yang terbuka di bagian depan lantai dua sebuah rumah di Park Lane 427, pada tanggal tiga puluh bulan lalu. Itu tuduhannya, Lestrade. Dan sekarang, Watson, semoga kau tahan keanginan berada di kamar seberang yang jendelanya remuk kacanya itu, sementara aku menuturkan seluruh kisahnya selama kira-kira setengah jam."

Kamar kami tak berubah keadaannya walau telah kami tinggalkan cukup lama. Ini berkat pengawasan yang dilakukan oleh Mycroft Holmes—kakak Sherlock Holmes—dan perawatan langsung oleh Mrs. Hudson. Ketika aku memasuki ruangan kami itu, aku sungguh terkesan melihat betapa rapinya kamar itu, dengan semua barang lama masih tetap berada di tempatnya. Rak-rak berisi zat-zat kimia dan meja yang ternoda zat asam masih berada di tempatnya. Demikian juga rak yang penuh jajaran buku, kumpulan berita surat kabar dan gambar-gambar foto yang oleh orang lain pasti akan sudah dibakar habis. Ketika aku melongok longok ke sekeliling ruangan itu, pandanganku menangkap beberapa diagram, tas penyimpan biola, dan rak untuk menaruh pipa rokok, bahkan juga sandal Persia yang masih bertaburkan tembakau. Ada dua sosok orang yang berada di kamar itu ketika kami masuk—Mrs. Hudson yang menyambut kami dengan gembira, dan yang satu lagi adalah orang-orangan yang telah memegang peranan penting dalam petualangan kami malam ini. Patung diri Holmes yang terbuat dari lilin itu benar-benar mengagumkan, karena sungguh-sungguh mirip dengan aslinya. Patung itu berdiri pada semacam sandaran kecil mengenakan baju kimono milik Holmes sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang kalau dilihat dari jalanan akan nampak benar-benar seperti dia.

"Tentunya Anda tadi memperhatikan semua tindakan pencegahan yang saya sarankan, Mrs. Hudson," kata Holmes.

"Saya menghampiri patung itu dengan merangkak, sir, seperti yang Anda katakan."

"Bagus sekali! Anda benar-benar telah melakukan tugas ini dengan sangat memuaskan. Apakah Anda tahu ke mana nyasarnya peluru itu?"

"Ya, sir. Jangan-jangan, peluru itu telah menembus dan merusakkan bagian kepala patung Anda itu, sir. Lalu pelurunya menjadi pipih ketika mengenai dinding dan jatuh di atas karpet. Ini, saya pungut tadi dari sana."

Holmes kemudian menunjukkan peluru itu kepadaku. "Peluru jenis lunak, sebagaimana kaulibat, Watson. Benar-benar ide yang hebat, karena siapa yang akan menduga bahwa peluru semacam ini telah ditembakkan dari sebuah senapan angin? Baiklah, Mrs. Hudson, saya ucapkan beribu-ribu terima kasih atas bantuan Anda. Sekarang, Watson, silakan duduk kembali di kursi tua kesayanganmu, sebab ada beberapa hal yang ingin ku bicarakan denganmu."

Dia telah melepas jaket usangnya dan kini tampil sebagaimana Holmes yang dulu kukenal, dalam baju kimono abu-abu yang tadi dikenakan pada patung dirinya.

"Keberanian dan ketajaman mata shikari tua itu masih belum berubah dan masih bisa diandalkan," katanya sambil tertawa, ketika sedang memeriksa kening patungnya yang telah hancur berkeping-keping.

"Tepat mengenai bagian tengah belakang kepala dan langsung menembus otak. Dia memang penembak paling jitu di India, dan sejauh pengetahuanku, tak banyak yang lebih baik darinya di London sini. Pernahkah kau mendengar namanya?"

"Tidak."

"Wah wah, sungguh keterlaluan kau ini, padahal dia sangat terkenal! Tapi aku maklum, sebab yang namanya Profesor James Moriarty—salah seorang jenius terbesar abad ini—saja, kau juga tak tahu apa apa tentangnya. Coba tolong ambilkan buku indeks biografi di rak itu."

Dia membalik-balik lembaran demi lembaran dalam buku itu dengan santai sambil duduk menyandar di kursinya dan mengepul-ngepulkan asap cerutunya.

"Aku punya koleksi nama-nama berawal huruf M yang amat menarik," katanya. "Moriarty saja cukup untuk membuat berita besar, dan ini, Morgan, tukang meracun orang, sedangkan yang ini, Merridew, reputasinya buruk sekali, dan Mathews, yang menjotos gigi kiriku sampai patah di sebuah ruang tunggu di Charing Cross, dan akhirnya, ini nih, teman kita malam ini."

Dia menyodorkan buku itu kepadaku dan aku lalu membaca:
Moran Sebastian, Kolonel. Tidak bekerja. Perintis Bangalore yang pertama. Lahir di London tahun 1840. Putra Sir Augustus Moran, C.B., mantan duta Inggris untuk Persia Lulusan Eton dan Oxford. Ditugaskan dalam operasi militer Jowaki, Afghanistan, Charasiab, Sherpur, dan Kabul. Penulis buku Pertempuran Berat di Bagian Barat Himalaya (1881) dan Tiga Bulan di Belantara (1884). Alamat: Conduit Street. Perkumpulan: Anglo-India, Tankerville, Klub Kartu Bagatelle. Pada tepi kertas ada tambahan catatan dalam bentuk tulisan tangan Holmes yang berbunyi:

Orang paling berbahaya nomor dua di London.

"Benar-benar mengagumkan," kataku sambil mengembalikan buku itu padanya. "Jadi laki-laki itu adalah mantan anggota tentara angkatan darat yang terhormat,"

"Ya, betul," Holmes mengiyakan. "Sampai pada masa tertentu, dia telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia terkenal sebagai tentara yang berotot besi dan kisahnya masih sering dibicarakan sampai sekarang oleh penduduk India, tentang bagaimana dia pernah merangkak sepanjang pipa pembuangan air ketika membuntuti seekor macan pemakan manusia, sedangkan macan itu dalam keadaan terluka, Watson. Memang ada beberapa pohon yang tumbuh normal sampai ketinggian tertentu, lalu tiba-tiba pertumbuhannya menjadi aneh tanpa kita sadari. Ternyata hal ini sering kali terjadi juga dalam hidup manusia. Menurutku, dalam proses pertumbuhannya, seseorang pasti akan mewarisi sifat-sifat turunan tertentu dari nenek moyangnya, sehingga secara tiba-tiba saja dapat berubah menjadi pribadi yang baik atau jahat semata-mata karena pengaruh kuat yang terdapat dalam garis keturunannya. Orang itu lalu menjadi penerus kualitas sejarah keluarga besarnya."

"Sungguh, agak sulit dibayangkan."

"Yah, aku sendiri tak terlalu yakin akan teori itu. Namun apa pun penyebabnya, Kolonel Moran telah mengikuti jalan yang salah. Kalaupun dia tak melakukan skandal terbuka seperti ini, namanya masih ditakuti oleh orang-orang India. Setelah pensiun, dia pulang ke London, namun reputasinya tetap saja buruk. Saat itulah Profesor Moriarty, yang pernah menduduki jabatan sebagai pimpinan angkatan darat, mulai mengincarnya. Moriarty menanggung ongkos hidupnya, dan memanfaatkannya hanya dalam beberapa tugas penting yang tak akan mampu dilakukan oleh penjahat kaliber biasa. Mungkin kau masih ingat tentang kematian Mrs. Stewart dari Lauder, tahun 1887. Tidak ingat? Baiklah, aku yakin Moran-lah yang menjadi otak pembunuhan itu tapi hal itu tak berhasil dibuktikan. Kolonel itu memang cerdik, sehingga ketika komplotan Moriarty diringkuspun, keterlibatannya tak dapat dibuktikan. Kau tentu masih ingat, ketika waktu itu aku masuk ke kamarmu lalu segera mengunci semua pintu dan jendela, kalau-kalau ada serangan senapan angin. Tak heran kalau waktu itu kau sempat berpikir bahwa aku cuma berkhayal. Padahal, aku begitu yakin akan apa yang kulakukan, sebab aku tahu betul bahwa ada senjata yang sangat hebat yang berada di tangan seorang penembak terhebat di dunia. Ketika kita berada di Swiss, dia dan Moriarty mengikuti kita dan tak diragukan lagi, dialah yang berusaha mencelakakanku pada saat aku berada di tepi Air Terjun Reichenbach.

"Benar sekali kalau kau mengira bahwa aku selalu mengamati surat surat kabar selama tinggal di Prancis, agar waspada terhadap segala kemungkinan untuk menggulingkan dia. Selama dia masih bebas berkeliaran di London, hidupku benar-benar tidak aman sama sekali. Siang-malam bayangannya menghantuiku dan cepat atau lambat dia pasti akan mendapatkan kesempatan untuk membalas dendam terbadapku. Apa yang harus kulakukan? Aku kan tak mungkin begitu saja menembaknya, sebab bisa-bisa malah aku sendirilah yang masuk penjara. Di samping itu, kalau aku menghubungi seorang hakim pun tak akan ada gunanya. Orang tentu tak akan mau mencampuri urusanku ini karena bagi mereka itu tuduhan yang terlalu sembrono. Jadi aku tak bisa berbuat apa apa. Namun demikian aku terus mengikuti perkembangan berita kriminal, karena aku tahu, cepat atau lambat, aku harus menangkapnya. Kemudian terjadilah kasus kematian Ronald Adair itu. Akhirnya, tiba juga kesempatanku. Berdasarkan pengalamanku sebelumnya, bukankah tak aneh kalau aku merasa yakin bahwa Kolonel Moran-lah pelaku pembunuhan itu? Dia pergi bermain kartu dengan pemuda itu di Klub Bagatelle, menguntitnya sampai di rumahnya, lalu menembaknya melalui jendela yang waktu itu dalam keadaan terbuka. Jelas sekali. Jenis peluru yang diketemukan di tempat kejadian itu saja sudah cukup dijadikan tuduhan untuk menangkapnya. Itulah sebabnya aku lalu secepatnya kembali ke London. Akan tetapi, perwira jaganya sempat melihat kedatanganku. Maka aku yakin dia pasti akan melaporkan kedatanganku. Moran pasti sudah merasa bahwa kedatanganku adalah sehubungan dengan tindakan kriminalnya, sehingga dia pun menjadi sangat ketakutan. Yakin pulalah aku, bahwa dia akan segera berusaha menumpasku, dan akan membawa senjatanya yang mematikan itu untuk mencapai tujuannya. Oleh karena itulah, aku lalu membuat patung yang persis mirip diriku itu, dan kutaruh di dekat jendela kamarku. Aku lalu menghubungi polisi kalau-kalau bantuan mereka diperlukan—ngomong-ngomong, Watson, kau tadi sempat melihat mereka di teras sebuah rumah dan dari situlah, pikirku, Kolonel Moran akan mengamati sasarannya. Tak pernah terbayangkan sedikit pun kalau dia akan memilih tempat yang sama dengan kita untuk melancarkan serangannya. Nah, Watson, masih adakah yang perlu kujelaskan kepadamu?"

"Ya, ada," jawabku. "Kau belum menjelaskan apa sebenarnya motivasi Kolonel Moran membunuh the Honourable Ronald Adair?"

"Ah, Watson, mengenai ini kita hanya bisa menduga-duga saja. Buah pemikiran yang paling logis pun bisa saja melenceng. Setiap orang bisa saja mengemukakan hipotesisnya sendiri berdasarkan bukti-bukti yang ada, dan mungkin saja hipotesismu akan sangat mirip denganku."

"Jadi, kau telah membuat satu hipotesis?"

"Kurasa tak sulit untuk menjelaskan fakta-faktanya. Dari penyelidikan ternyata bahwa mereka berdua, yaitu the Honourable Ronald Adair dan Kolonel Moran, telah memenangkan sejumlah besar uang dari permainan kartu. Itu pasti berkat Moran yang memang lihai bermain licik—hal ini sebenarnya sudah lama kusadari. Aku yakin bahwa pada hari terjadinya pembunuhan itu, Adair mengetahui bahwa Moran telah bermain secara tidak jujur.

Kemudian, besar kemungkinannya dia lalu menegurnya secara pribadi dan mengancam akan membeberkan kelicikannya, kecuali Moran secara suka-rela keluar dari keanggotaan klub itu, dan berjanji tidak akan bermain kartu lagi. Sebab, rasanya tidak mungkin seorang pemuda seperti Adair akan berani secara langsung membeberkan skandal penipuan yang melibatkan orang terkenal yang jauh lebih tua daripadanya. Mcnurutku, dia pasti telah bertindak seperti yang kuduga itu. Bagi Moran sendiri, kalau dia harus keluar dari klub itu, itu berarti kehancuran bagi hidupnya, karena dari hasil permainan kartu itulah dia membiayai kehidupannya. Karena itulah dia lalu membunuh Adair, yang waktu itu sedang menghitung berapa banyaknya uang yang harus dikembalikannya kepada lawan mainnya, sebab dia tidak mau mengambil keuntungan dari permainan kotor pasangannya. Dia mengunci pintu kamarnya karena takut ibu atau saudara perempuannya tiba-tiba masuk dan ngotot ingin tahu sedang apa dia dengan nama-nama dan uang-uang itu. Apakah hipotesisku ini bisa di terima?"

"Tak diragukan lagi, tentunya begitulah yang sebenarnya telah terjadi."

"Benar atau tidaknya akan terbukti di pengadilan nanti. Sementara itu, bagaimanapun hasilnya nanti, yang jelas Kolonel Moran tak akan merepotkan kita lagi. Senapan angin hebat buatan Von Herder itu akan menghias museum Scotland Yard, dan Mr. Sherlock Holmes bisa kembali mengabdikan hidupnya dengan bebas menyelidiki kasus-kasus kriminal aneh-aneh yang tak pernah habis-habisnya di kota London ini."


kembalinya sherlock holmesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang