"Ra, kenapa sih?"
Aries yang baru saja datang dibuat pusing karena kelakuan teman sebangkunya yang nggak mau diem kayak setrikaan. Sebentar-sebentar ngacak-ngacak tas, sebentarnya lagi ngacak-ngacak rambut, udah kek orang patah hati ditinggal jodoh.
"Aries, buku fisika gue nggak ada. Gimana dong? Mana si bapak kan nggak nerima kertas selembar. Nanti kalo gue pake buku baru nilai sikap gue C, dikira nggak pernah nyatet. Haa gimana dong gue panik!!" katanya.
"Ya lagian terakhir kali lo taro dimana coba?" ujar Aries.
"Di perpus. Tadi gue udah nanya sama Bu Ros katanya nggak ada buku yang ketinggalan."
Aries kelihatan berpikir sejenak. "Waktu di perpus lo sama siapa? Atau ada siapa kekgitu yang masih ada di situ waktu lo balik?"
"Dylan. Kemarin gue duduk sama Dylan."
"Wait, what?" tanya Aries nggak percaya. "Dylan, Ra? the Dylan?" katanya penuh penekanan. Kara mengangguk.
"Iya, Dylan. Emang ada lagi yang namanya Dylan disini?"
Aries menoyor Kara gemas. "Lo tuh ya, hih." Katanya. "Lo tuh udah beruntung banget dikelilingin sama cogan. Abang lo tuh, bisa bikin dedek dedek mati lemas dalam sekali lirik. Terus si Keano, deuuh dispenser banget deh dia. Bisa dingin bisa panas, apa gue meriang aja ya Ra?"
"Anjir apaan deh –"
"Terus sekarang Dylan, Ra? Murid baru itu? Ya gusti, pahala apa yang lo buat sampe idup lo dikelilingin malaikat dunia kek gitu."
"Iya iya, mereka ganteng. Sekarang temenin gue ke kelasnya Dylan. Mau nggak? Gue nggak mau mati di gantung sama Pak Sony."
"With all my pleasure deh, sekalian ngeceng." Kata Aries.
Lalu, Kara menarik tangan Aries, memaksa gadis itu berjalan secepat mungkin ke luar kelas. Namun, pemandangan yang dilihat mereka berdua di depan kelas membuat mereka seolah terpaku.
Dylan berdiri di depan pintu, celingak-celinguk dan mukanya langsung keliatan seneng pas ngeliat Kara.
"Ra," panggilnya. "Ini buku lo kemarin ketinggalan di perpus." Katanya lagi.
"Oh, iya, makasih ya, Dyl." Katanya. Cewek itu berusaha menggapai bukunya, tapi Dylan meninggikan posisi tangannya sehingga Kara tidak mampu menggapainya.
"Tar siang ke kantin bareng gue ya?" tanya Dylan. Senyum miring yang diberikan cowok itu pada Kara justru berefek sangat dahsyat pada Aries, yang kalau nggak inget buat jaim udah mencak-mencak saking geregetnya. Ganteng cyinn.
"Hah?" Kara kelihatan nggak mengerti.
"Ke kantin sama gue." ulangnya.
Kara malah diem, sejujurnya nggak tau harus merespon apa. Akhirnya, karena nggak rela temennya ngelewatin kesempatan segede ini, Aries yang menyahut.
"Iya, Dyl, tar siang Kara bakalan ke kantin sama lo. Maaf ya, dia emang kadang-kadang suka rada bloon gitu eheheh." Katanya, yang dihadiahi pelototan Kara. Dylan emang ganteng, tapi bukan berarti dia mau gitu aja di ajak makan. Mana ini dikantin, dan berduaan sama mahluk serupa Dylan berpotensi bikin Kara jadi perhatian massa. No.
"Eh, apaan, ngg –"
Aries bales melotot, yang bikin Kara diem ditempat. Ia lalu melirik pada Dylan yang sedang tersenyum.
"Oke deh, gue tunggu jam istirahat ya." Katanya seraya menyodorkan buku fisika Kara kembali. "Dah." Katanya, kemudian berbalik pergi.
"That right there," ujar Aries sambil menunjuk punggung Dylan yang berjalan menjauh. "Adalah cowok yang paling dikejar-kejar sama cewek selama seminggu ini. Dedek-dedek gemesnya rela saling bunuh cuma buat di ajak makan sama dia kayak tadi. Yakali lo nolak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinkerbell
Teen Fiction[Telah tersedia di toko buku] You're my Peterpan, but I'm not your Wendy.