Kara menyentuh ujung-ujung buku dengan jarinya yang lentik, membaca deretan judul novel, mencari yang menarik perhatiannya diantara puluhan novel yang tersusun rapi di rak tersebut. Dylan berdiri di sampingnya, bersandar pada rak buku dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.
"Udah?" tanyanya. Ia melirik pada sebuah tas yang dipegang Kara, yang di dalamnya berisi empat –atau lima buku, Dylan nggak ingat– dan menoleh lagi pada gadis yang berdiri di hadapannya. Kara terlihat begitu bahagia berada di antara deretan buku.
"Hm.." Dia menggumam. "Udah deh, kayaknya."
"Ya udah, yuk, bayar." Dylan berdiri tegak, lalu merangkul bahu Kara menuju kasir.
"Yuk, eh –"
Kara terdiam sesaat, menatap kosong pada hpnya yang nggak sengaja menampilkan aplikasi path.
"Kenapa?" tanya Dylan.
"Hah? Eng.. nggak kok. Ya udah yuk, bayar." Kara tersenyum tipis, lalu berjalan mendahului Dylan menuju kasir. Cewek itu nggak banyak bicara lagi setelahnya, sibuk memikirkan kalau Keano sudah berhasil menembak Sacha. Kalau sahabat satu-satunya itu sudah dimiliki.
Kara takut. Kara takut apa yang dulu pernah terjadi, kembali terjadi lagi. Kara, sejujurnya, takut Keano menjauh.
Selama ini, Keano selalu menjadi tamengnya. Pelindungnya dari dunia. Lalu, apa yang terjadi jika Keano hilang?
Kara pernah merasakannya sekali, dan dia nggak mau ngerasain hal itu lagi.
Kara masih diam nggak bersuara sampai Dylan menghentikan mobilnya tepat di depan halaman rumah Kara.
"Ra, are you okay?" tanya cowok itu. Sebersit kekhawatiran tampak muncul di matanya.
Kara menoleh, lalu tersenyum. "Of course I am. Why would you ask something like that?" tanyanya. "Anyway, makasih ya, udah mau nemenin." Dia mengangkat kantung plastik berisi novel yang dibelinya barusan.
"Sama-sama."Kata Dylan. Cowok itu tersenyum miring, lalu mengacak-rambut Kara gemas dan nggak berhenti meskipun Kara protes. Persis kayak Keano. "Udah, turun gih. Udah sore." katanya.
"Oke."Katanya.
"Gue jemput besok pagi ya?"
"Mm.." Kara keliatan berpikir. "Nanti gue kabarin lagi, deh."
"Oke."
****
Kara terbangun paksa dari tidurnya karena suara ketukan di balkon kamarnya yang tidak kunjung berhenti, juga suara dering handphone dari nakasnya. Cewek itu menggeliat dengan malas, lalu melirik pada jam di dinding. Pukul 12 malam. Bagus, siapa lagi yang berani bangunin Kara jam segini kalo bukan si setan?
Keano lah, siapa lagi.
Kara melirik ke balkon, menangkap siluet tubuh Keano. Dengan ogah-ogahan Kara bangkit dan membuka pintu balkonnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinkerbell
Teen Fiction[Telah tersedia di toko buku] You're my Peterpan, but I'm not your Wendy.