Mario memeluk toples dengan ukuran lumayan besar yang berisi popcorn untuk menemaninya menonton bola. Malam ini, tim favoritnya akan berlaga. Juventus, kebanggan Mario sejak duduk di bangku SMA. Apa lagi kalau soal Alvaro Morata, beuuuhh pokoknya udah kaya abege labil lagi fangirlingan.
Sofa yang Mario tempati tiba-tiba bergerak. Tanda ada seseorang yang baru saja duduk di sampingnya. Mario sudah hafal betul siapa yang jam segini belum tidur.
"Tidur kamu, Ga. Besok gak ke sekolah emang?" Ucap Mario pada Jingga dengan mata yang masih terfokus ke televisi.
Jingga meraih toples yang ada di dalam dekapan Mario. "Besok bebas. Masih ada mos." Mario menghela napas berat sambil memutar bola matanya.
"Itu popcorn yang Mama buat khusus buat Papa, lho." Mario melirik Jingga yang ternyata sedang membuka tutup toplesnya. "Biarin aja bisul kalo mendahului." Sambungnya.
"Kaco. Baru tau Gaga, ada orang tua yang doain anaknya bisul." Ia mengambil popcorn itu satu persatu dan di masukkan tepat di mulutnya.
"Ada, nih buktinya Papa." Mario mendengus sebal.
"Pa, kita ngomong serius ya. Bentar aja, ntar di lanjut lagi becandanya Gaga mau nanya serius nih." Jingga mengguncang bahu Mario.
"Hm... " Mario hanya berdeham. Jingga harap itu jawabannya 'iya'.
"Pa, cinta itu apa sih?" Hanya sederetan kata itu uang meluncur dari bibir Jingga. Mario menatapnya heran, ya sedikit tidak percaya. Tumben lagi mau bermellowria.
"Menurut Papa, cinta itu persahabatan." Ajib, entah dapat kata-kata darimana, Mario merasa itu benar adanya. Cintanya adalah sahabatnya sendiri.
"Kok bisa? Hm maksudnya secara kronologisnya gitu, Pa." Jingga membenarkan posisinya yang kini menghadap Mario.
"Kalo Mama bukan sahabat Papa, Papa gak mungkin bisa sebegitu cintanya sama Mama. Cinta bukan sekedar cinta, kadang kita butuh teman hidup yang bisa di ajak berbagi cerita, yang menemani kita mendaki, menemani saat proses sulit hingga mencapai suatu kesuksesan. Bukan seseorang yang menunggu hasil kita di puncak sana." Mario yang sekarang terlihat lebih matang, bukan? Bagaimana Mario from a boy to be a man? "Wanita mungkin luluh dengan yang berparas apik, namun dengan yang bertanggung jawab, dia bisa tergila-gila."
Jingga mengerjap berkali-kali setelah mendengarkan petuah Mario. "Pa, sehat Pa? Abis nenggak baygon tadi?"
Mario merajuk. "Tadi minta serius. Udah di seriusin ngajak becanda. Anak siapa sih kamu?"
"Kenapa, Pa? Gantengnya nurun ya? Hehehe." Jingga malah cengengesan bodoh seperti itu. "Eh tapi Gaga suka lho kata-kata Papa. Jangan-jangan tadi abis nonton Mario Teguh Golden Ways."
"Sembarang kamu."
"Pa, duh... gimana ya bilangnya." Jingga mengusap tengkuknya dengan kasar. "Jadi gini loh, Pa. Gaga suka sama seseorang nih, anggap saja dia si Mawar. tapi bingung gimana cara buat ngungkapin perasaan Gaga secara romantis kaya di film telenovela favorit Mama. Gimana ya, kalo di depan dia tuh Gaga kaya orang bego. Yang padahal sebenernya emang bego, tapi cuma liat dia senyum tuh rasanya badan Gaga lemes, Pa kaya abis minum pelemas otot."
"Kamu tuh cowok bukan sih? Malu sama 'anu'. Mending sunat lagi aja sana!" Sabar, Ga. Untung orang tua, kalo bukan udah gua keplak palanya. Batin Jingga.
Jingga berdecak sambil mengelus dada. Ia lebih memilih mengecek ponselnya yang sedari tadi tidak berhenti bergetar karena banyak notif dari grup LINE teman sintingnya.
Karel🐵 : besok hari terakhir mos.
Karel🐵 : gak ada yang mau nyemangatin dd gitu?Didi🐷 : jones kuker. ( Baca : Kurang kerjaan. )
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dan Jingga
Teen FictionSequel of "FRIENDSHIP IS NEVER ENOUGH" Apa hanya sekedar ilusi, sayang? Jika berharap kau akan segera pulang. Menuntun jiwa yang tersesat menunggu terang. Desahan ilalang memaksa lupakanmu, apa artinya rindu tanpa bertemu? Deburan ombak membisik je...