"Jadi pacar saya, mau?" Bisik Jingga dengan lembut. Seolah bunyi gemericik hujan menjadi irama biola yang mengalun indah, seolah dingin yang membekukan menjadi hangat mentari yang menyelimuti pagi, seolah waktu terhenti dengan sendirinya menyisakan mereka berdua yang berada dalam lingkaran cinta yang mereka ciptakan sendiri. Detak jantung Senja yang tadinya menggebu, seperti terhenti begitu saja hingga ia tidak bisa merasakannya lagi.
Senja menatap manik Jingga, di tatapnya manik hazel itu seperti meminta sebuah jawaban. Senja memejamkan mata, lalu menghembuskan napas panjang. Detik berikutnya, Senja membuka metanya dan mengangguk malu.
"Mau... " sudut bibir Senja naik beberapa senti. Ia tersenyum malu-malu.
"Ini serius, 'kan? Beneran kan kamu mau? Jadi kita pacaran, 'kan? Saya--" Jingga berhenti mengoceh saat telunjuk Senja berada di bibirnya.
"Ka Jingga banyak omong." Umpatnya seraya terkekeh pelan.
Jingga menegakkan tubuhnya, membenarkan kerah bajunya dan bersikap cool kembali. Ia mengacungkan kelingkingnya, "Senja dan Jingga."
Senja mengambut uluran kelingking Jingga dengan mengaitkan kelingkingnya di kelingking Jingga. "Senja dan Jingga."
"Karena Jingga adalah bagian dari Senja." Ucap Jingga dengan tersenyum puas menatap pacarnya itu. Uhuk, pacar.
"Dan Senja bukan apa-apa tanpa Jingga." Balas Senja yang menatap Jingga. Bahkan Senja harus mendongak untuk menatap Jingga.
Senyum itu tidak pudar dari wajah mereka.
***
Motor Jingga memasuki sebuah pekarangan rumah, rumah itu sederhana bernuansa abu-abu dan hitam, suasananya pun sepi. Rumah itu adalah rumah milik orangtua Karel yang terabaikan, dan Juna mempunyai ide untuk memperbaiki rumah itu dan dijadikannya rumah kedua setelah rumah mereka. Dari luar saja terlihat tidak ada nuansa feminim, jelas karena semua penghuninya cowok.
Jingga membuka pintu tersebut tanpa mengetuknya, dilihatnya Didi dan Fero yang sedang bermain playstation, Karel yang sedang tertidur pulas, Juna yang sedang free call dengan 'mangsa' barunya, dan... eh, dimana Julian?
Jingga bingung harus bertanya dengan siapa, semua sama-sama punya kesibukan.
"Julian mana, Di?" Tanya Jingga seraya duduk di dekat Karel.
"Lagi di suruh Papi Vino ke supermarket." Jawab Didi sekenanya, Jingga hanya mendengus.
Jingga melirik Karel yang sedang tertidur pulas sambil memeluk guling milik Fero. "Ini bocah kampret tidur nyenyak banget, kaya nggak ada beban." Jingga berdecak.
"Lo nggak tau aja, Ga. Dia lagi banyak pikiran." Sungut Fero yang masih sibuk dengan permainannya bersama Didi. "Anggun tadi ke sini. Tiba-tiba. Ini kiamat sugro buat si Karel." Lanjutnya.
Jingga meringis. Pasalnya, ia tau bahwa wanita yang di bilang Fero adalah sahabat baik Karel sejak kecil. Karel menyukainya. Ralat, bahkan mencintainya. Jika besok ia dihadangkan Ujian Nasional, lalu mendapat kabar Anggun baru tiba di bandara, ia lebih memilih mengerjakan soal di bandara. Lho?
Intinya, Anggun adalah prioritas Karel. Anggun selalu menjadi yang pertama dalam hidupnya. Bahkan waktu Anggun pergi ke Moscow untuk pengobatan, di situlah Karel ibarat raga yang tak bernyawa. Gila memang, ya namanya juga cinta. Anggun sadar bahwa Karel mencintainya, namun ia seolah mempermainkan hati Karel. Seakan-akan dia menjadi besar kepala, tetapi bodohnya Karel tetap suka. Sulit memang kalau sudah cinta.
Nasibnya dan Karel tidak jauh berbeda. Sama-sama di tinggal seseorang yang mereka cinta. Bedanya, Jingga sudah menemukan penggantinya dan Karel belum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dan Jingga
Teen FictionSequel of "FRIENDSHIP IS NEVER ENOUGH" Apa hanya sekedar ilusi, sayang? Jika berharap kau akan segera pulang. Menuntun jiwa yang tersesat menunggu terang. Desahan ilalang memaksa lupakanmu, apa artinya rindu tanpa bertemu? Deburan ombak membisik je...