Prolog

119 14 5
                                    







Suara confetti mengubah kesunyian di ruangan gelap berbentuk segi empat tersebut. Bersamaan dengan dinyalakan lampu, sekitar sepuluh orang menyanyikan lagu Happy Birthday dengan kompak.

"Happy Birthday, Aska, Happy Birthday, Aska, Happy Birthday Happy Birthday Happy Birthday to you!"

Yang dinyanyikan hanya bisa tersenyum lebar. Di sebelahnya, seorang perempuan yang kira-kira berkepala empat, memegang kue bundar dengan lilin angka 17 tahun yang menyala. "Ayo, Aska, ditiup. Jangan lupa bikin permohonan."

Aska langsung menutup mata dan berdoa. Setelah selesai, ia membuka matanya dan meniup lilinnya. Lagi-lagi, ruangan ribut, kali ini ribut oleh suara tepuk tangan.

Perempuan tadi menaruh kue bundar itu, lalu memeluk anaknya. "Selamat ya, Aska, udah umur 17 tahun. Udah dewasa." Mila melepas pelukannya dan menepuk bahu Aska.

"Iya, kamu udah dewasa. Tapi, jangan buat yang aneh-aneh ya, mentang-mentang udah legal," Ayah Aska, Adi, muncul di sebelah kirinya.

Aska mengangguk. Ia tahu apa yang ayahnya maksud "aneh-aneh", mabuk, nyetir ugal-ugalan, merokok, dan menonton film yang bertuliskan "untuk 17 tahun ke atas".

"Iya, Pa. Aska tahu, kok" ia masih tersenyum. Kali ini ia menatap teman-temannya yang hadir di sini.

"Makasih, sob. Udah bantuin kasih surprise. Gue kaget," ia menepuk-nepuk bahu 5 teman sekolah merangkup teman futsalnya.

Putu menjabat tangan Aska. "Sama-sama, man. Tapi inget, ini Bali. Gak ada Gue-Lo. Kita pakai aku-kamu," Putu tersenyum lebar.

"Sori, sori. Kebiasaan lama susah hilang," Matanya melirik Bisma yang daritadi tidak melepaskan pandangan dari kue tiramisu Aska.

"Potong kue dulu, yuk. Kayaknya udah ada yang gak bisa nahan napsu, tuh." yang disindir hanya bisa cengengesan.

Aska memotong kuenya. Potongan pertama tentu saja diberikan kepada mamanya. Yang selanjutnya untuk papanya, teman-temannya (untuk Bisma bonus 1 potongan lagi), dan sepupunya yang kebetulan lagi di Bali.

Saat semua orang sedang asik makan kue, Aska berjalan ke sudut ruangan. Di sana terdapat tumpukan kado. Ia tersenyum dan mengambil kado yang berada di tumpukkan paling atas. Kado yang dibungkus dengan kertas kado berwarna merah itu dibukanya perlahan.

Tawanya berderai saat ia memegang setumpuk komik Sailor Moon. Ia ingat pernah iseng berkata pada Ivan, bahwa ia ingin komik Sailor Moon. Aska tertawa sendiri mengingat anehnya dirinya dulu. Walau harus diakui, Sailor Moon sangatlah kawaii.

Aska menoleh saat bahunya ditepuk. "Eh, Papa. Kenapa, Pa?"

"Gak pa-pa. Omong-omong, sejak kapan kamu koleksi Sailor Moon?" mata ayahnya melirik tumpukan komik di tangan kanan Aska.

Aska terdiam sejenak, lalu buru-buru menyembunyikan komiknya di balik punggung. "Gak kok, Pa. Ivan emang rada aneh kasih Aska komik ginian."

Adi tertawa melihat gelagat salah tingkah Aska. Ia menyodorkan kado berupa kotak besar kepada Aska. "Ini, kado dari papa."

Aska menaruh komiknya, lalu mengambil kado dari ayahnya. "Aska buka ya, Pa."

Aska membukanya secara perlahan. Setelah kesusahan sejenak karena banyaknya selotip yang ditempel, akhirnya Aska berhasil membukanya.

Matanya melebar melihat kado yang ayahnya berikan. Barang yang dari dulu ia impikan tetapi belum ia dapatkan. Barang yang selalu ia minta di setiap doa yang ia panjatkan. Kamera.

"WHOA!! INI BENERAN BUAT ASKA, PA? MAKASIH PA, MAKASIH!" Aska langsung memeluk erat ayahnya. Dengan penuh kasih sayang,  Adi membalas pelukan Aska dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Iya, sama-sama. Papa lihat dari dulu kamu memang ingin kamera. Sudah lama kamu pakai kamera papa yang jadul. Papa rasa kamu sudah dewasa untuk bertanggung jawab dengan barangmu sendiri."

Aska mengamati kamera di tangannya dengan takjub. Eos 100D. Ia terlalu senang hingga tidak bisa berkata-kata.

"Tapi kamu gak mau kamera mirrorless saja? 'Kan lebih baru."

Aska menggeleng, tanpa mengalihkan tatapannya dari kamera barunya. "Gak, Pa. Aska pake yang ini aja."

Adi menepuk bahunya lagi. "Ya sudah, Papa tinggal dulu. Pakai untuk hal yang baik, ya."

Aska mengangguk, mengamati ayahnya perlahan berjalan menjauh. Baru saja 5 langkah berjalan, ayahnya menoleh. "Omong-omong," kata ayahnya.

"Iya, Pa?"

"Papa suka Sailor Jupiter, paling cantik."

Sontak, tawa keduanya berderai.

[A/N]

Hai!

Jadi, ini ceritaku yang kedua. Idenya udah ada dari dulu, cuma baru ditulis sekarang aja heheh. Untuk cerita City Scape masih lanjut, kok.

Semoga kalian suka, ya! Mohon vote and commentnya. kritik dan saran diterima, mohon maaf kalau ada typo.

Makasih!

Nisnis

KLIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang