Puzzled Feeling

27 3 0
                                    


"If the photographer is interested in the people in front of his lens, and if he is compassionate, it's already a lot. The instrument is not the camera but the photographer."
- Eve Arnold

Keiko berjalan dengan kepala tertunduk, yang bukan hanya bertujuan untuk melindungi matanya dari sinar matahari, juga untuk menyembunyikan air matanya yang sudah menggenang di kedua pelupuk matanya. Ia terus berjalan di atas hamparan pasir putih hingga telapak kakinya dikejutkan dengan air laut. Dengan pandangan yang tidak jelas karena kabur oleh air mata dan otak yang kacau, ia baru bisa menyadari dirinya sudah berada dekat sekali dengan laut sepuluh detik kemudian.

Alih-alih berjalan kembali ke vila, Keiko memilih duduk. Tidak peduli celananya akan basah. Ia menekuk lututnya dan membenamkan wajahnya di sana, sementara kedua lengannya menutupi kepalanya. Ia mencoba mematikan semua indranya, memilih untuk tidak merasakan apa-apa untuk sementara waktu. Maka dengan itu, ia sempurna menarik dirinya dari dunia ini untuk sesaat.

Ia tidak tahu sudah berapa lama seseorang menepuk pundaknya, namun saat ia sudah sadar ada yang menepuknya, tepukan yang tadinya pelan berubah menjadi guncangan.

"Hello? Are you okay?" tanya sebuah suara berat di sampingnya.

Hati Keiko sedikit melompat, mengira suara itu milik Aska. Namun ia sadar, Aska tidak mungkin menggunakan bahasa Inggris kepadanya. Maka saat ia menoleh dan melihat laki-laki itu bukanlah Aska, ia tidak lagi kaget.

"Yeah, I'm okay," Keiko mengusap kedua matanya menggunakan ibu jarinya, memastikan tidak ada lagi jejak air mata di sana.

"You're Keiko, right? Mind if i sit here?"

Kening Keiko seketika berkerut. Bagaimana bisa laki-laki di sampingnya mengetahui namanya? Keiko cepat-cepat menggeleng dan sedikit menggeser duduknya, isyarat bahwa ia memperbolehkan laki-laki asing ini duduk di sampingnya.

"Thank you. Can you speak Indonesian?"

"Bisa sedikit," jawabnya sengaja menggunakan bahasa Indonesia.

Senyum laki-laki itu mengembang, lalu ia menjulurkan tangan kanannya. "Namaku Ivan, teman sekolahnya Aska dan tinggal tidak jauh di sini. Aku pernah beberapa kali melihatmu."

Mulut Keiko membulat, akhirnya mengerti bagaimana laki-laki ini mengetahuinya. Ia membalas juluran tangan Ivan dan menjabat tangannya. "Keiko."

"Sedang apa di sini?"

Keiko memalingkan wajahnya pada laut di depannya. Ia harus menyipitkan matanya karena matahari sedang berada persis di depannya, merangkak menuju persembunyiannya.

"Bosan di vila," jawabnya asal.

Di sebelahnya, Ivan hanya mengangguk. "Emangnya gak dicariin Aska?"

"Aska lagi ada tamu."

Lagi-lagi Ivan mengangguk. Ia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba memutuskan untuk duduk di samping Keiko. Mungkin karena penasaran mengapa Keiko berada di situ.

Tiba-tiba Ivan mendengar suara mangkok yang berdenting oleh pukulan sendok, suara yang sangat familiar di telinganya. Ia memutar kepalanya dan melihat tukang bakso sedang menghentikan gerobaknya di dekat pasir.

"Kamu mau bakso?" tanyanya pada Keiko. Setengah berbasa-basi dan setengah tulus menawarkan, karena meskipun jika Keiko menolak ia akan tetap membeli semangkuk bakso.

"Boleh juga. Asal tidak pedas."

Ivan beranjak dari duduknya dan menepuk-nepuk celananya, yang menyebabkan puluhan pasir jatuh dari celananya. Ia sedikit meringis ketika menyadari celananya basah cukup banyak hingga menampakkan lingkaran tak sempurna di belakangnya. "Tidak kuat pedas, ya?"

KLIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang