Anamika

26 0 0
                                    

Adik kecilku memiliki mata biru. Rambutnya coklat dan bibirnya sering terlihat ungu. Aku tidak menyukainya sebab matanya lebih indah dari milikku. Apalagi senyumnya, yang serenyah keripik kentang dan seindah padang bulan. Dia tersenyum di sela-sela sarapan, makan siang, makan malam, bahkan saat aku dengan tegang mendengar suara hantaman. Aku benci, dia memiliki apa yang tak kupunyai.

Aku tak suka tersenyum. Sehari-hari hidupku dilingkupi sepi yang mengukung. Seringkali aku terdiam lama di sudut kamar menggores kanvas dengan cat lukisku yang hampir habis, mencipta dunia sendiri sebab aku tak suka dunia yang kujalani. Berbeda dengan adikku, sangat berbeda, mataku hitam legam sewarna rambut yang jarang kurapikan. Aku tak memiliki senyum yang enak dinikmati, melainkan bibir yang jarang terbuka meski kerap ditanyai.

Adikku tidak bicara. Bukan karena dia enggan mengucap kata, melainkan karena dia tidak bisa. Hanya senyum yang tertata, begitulah dia menyampaikan makna. Tapi aku tak menganggap itu hal yang buruk, sebab aku berharap hal yang sama terjadi padaku.

Aku tak ingin bicara. Kuharap tak bisa, jadi orang-orang tidak payah memaksaku menjawab di saat mulutku ingin tetap rapat. Mereka yang bodoh itu tak mengerti keinginanku untuk sendiri; terus menyuruhku buka mulut, bercerita tentang api rumahku yang sedang tersulut.

Begitulah, aku tinggal di dalam rumah yang sedang kebakaran. Setiap hari kudengar hingar-bingar dan dentuman yang berkelanjutan. Rumah ini hampir rubuh, namun ketidakberdayaanku mengurung aku dan adikku untuk tetap di sini, diam, dan berusaha merasa aman.

"Suatu hari aku akan pergi dari sini."
Adikku diam, tersenyum.
"Kau juga akan kubawa, meskipun aku tak suka."
Adikku masih diam, dan tersenyum.
"Enak sekali jadi kau. Tinggal diam dan tersenyum saat orang bicara. Sedang aku selalu dipaksa mengeluarkan kata sampai kepalaku didorong-dorong, bahuku dipukul-pukul. Kau tahu tidak, betapa itu menyebalkan?"
Adikku masih diam. Giliran aku yang tersenyum. Meski aku tak menyukainya, tapi hanya kepadanyalah aku merasa terhubung. Bicara panjangku yang tak dimengertinya membuatku puas dan merasa bebas. Aku bisa mengata-ngatai teman sekelasku yang badannya bau hangus, atau dengan bangga bercerita kalau aku baru saja memecahkan vas bunga Mama. Adikku takkan bisa mengadu, dia hanya tersenyum.
***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kotak Dalam KotakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang