T u j u h

78 9 2
                                    

Sudah hampir dua tahun Aya menunggu balasan pesan dari Afdal. Nahas, pesannya hanya dibaca tanpa dibalas. Aya begitu sakit. Hatinya perih dan hancur berkeping-keping. Saat itu ia menunggu Afdal di sekolah sampai gerbangnya mau ditutup. Tapi Aya bersikukuh tidak akan meninggalkan sekolah sebelum bertemu sang mantan. Tapi sayang, saat itu turun hujan. Dan dengan terpaksa ia pulang dengan hati hampa. Aya kecewa karena tidak membawa payung.

Setelah tiba di makasar, Aya berniat menghapus jejak Afdal dari hati maupun pikirannya. Ia berpikir bahwa cintanya kepada Afdal hanya cinta monyet anak Smp seumurannya. Dan iapun mencoba move on dengan mendekati cowok-cowok tampan di sekolah barunya. Namun sayang, belum mendekatipun ia sudah ditolak. Ia juga berpikir, siapa yang mau dengannya? Hanya cowok bego seperti Afdal yang mau menerima cewek aneh sepertinya. Dan memikirkan itu, Aya gagal move on.

Semakin ia mencoba melupakan Afdal, ia malah semakin teringat olehnya. Cinta itu masih ada di dalam hati Aya. Hingga kini ia telah kembali ke kota kelahirannya. Ia merasa bahwa baru kemarin ia meninggalkan kota ini dan sekarang tak terasa ia sudah kembali lagi. Dua tahun kemarin seakan hanya angin lalu baginya. Karena tanpa Afdal, hidupnya hampa. Eyak.

"AFDAL!" teriak Aya frustasi. Dan betapa bodohnya ia karena hal itu ia malah menjadi pusat perhatian di bandara. Intan dan Bruno --bukan bruno mars-- pun hanya bisa membungkuk meminta maaf karena perlakuan Anak mereka.

"Aya, kalau gak mau pulang jangan teriak-teriak dong!" bisik Intan sambil menjitak kepala Aya. Betapa jahatnya ibunya itu.

"Aw.. Aya tersakiti, mah!" ucap Aya hendak menjitak balik ibunya. Namun ia tidak berani dan tekankan bahwa Aya hanya main-main.

Bruno terkekeh merdu. Bahkan suaranya mirip Bruno asli. "Kamu gak sabar ya mau ketemu sama si Afdal-afdal itu?" tanya Bruno.

Aya tergelak. Bagaimana ayahnya bisa tahu. Jangan-jangan pekerjaan ayahnya disana adalah seorang peramal moderen? Peramal yang memakai jas dan dasi.

"Papa tau dari mana?" tanya Aya heran.

Bruno mengangkat sebelah alisnya. "Tadi kan kamu teriak-teriak nama Afdal. Ya papa kira kamu pengen ketemu sama dia, apa gak bener?" tanya Bruno dengan polos membuat Aya ingin mencubit telinganya. Ops, maksudnya pipi.

"Iya juga sih," jawab Aya dengan cengiran.

"Udah-udah ngobrolnya. Gimana nih kita pulang? Bang Beno belum nelpon kamu mas?" tanya Intan.

"Katanya sih udah ada disini. Tapi gak tau dimana,"

"Coba mas telepon lagi deh. Udah malem banget nih, mas."

"Iya-iya, bentar." Baru saja Bruno menempelkan ponsel ke telinga, tiba-tiba ada yang menepuk bahunya. Hampir saja ponselnya jatuh kalau tidak ada Aya yang iseng ingin mencubit telinga ayahnya. Ayapun mengusap-usap dadanya sambil menyimpan ponsel Bruno. Dan si penepuk langsung menghambur ke pelukan Bruno. Aya sedikit menyingkir dari dua mahkluk berbobot besar itu.

"Akhirnya kalian pulang juga! Hahaha!" seru Beno dengan tawa khas om-om. Dia adalah adik Bruno. Beno dan Bruno bersaudara.

"Ya. Kangen juga sama kota sendiri." ucap bruno. Dan singkat cerita mereka telah sampai di kediaman keluarga Bruno dengan suasana asik dan khidmat.

----

Sore ini Aya akan bertemu dengan Cindy di salah satu kafe favorit mereka. Ia menenteng dua paper bag yang berisikan oleh-oleh untuk sahabat tercintanya itu.

"Hei, Aya! Disini!" teriak seseorang yang duduk di meja paling pojok. Aya menoleh dan mendapati Cindy sedang melambai-lambai kayak rumput laut.

"Ehehe.. saya gak kenal dia. Saya gak kenal dia." ucap Aya kepada para pengunjung yang menatap aneh kepada Cindy.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Afdal, BALIKAN yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang