Suram. Gelap. Senyap.
Gadis itu terus berjalan menyusuri jalan setapak yang seolah tak berujung. . Langit sudah tidak lagi biru, pertanda tak lama lagi malam akan tiba. Kakinya lelah, tapi ia harus terus berjalan atau hutan ini akan menelannya. Namun tak peduli seberapa jauh kakinya melangkah, hutan ini seolah tak berujung.
Derik jangkrik terdengar keras di kesunyian malam. Gadis itu masih terus berjalan. Lelah? Jangan ditanya. Namun rasa takutnya mengalahkan seluruh protes yang dinyatakan tubuh mungilnya. Kegelapan perlahan tapi pasti semakin pekat. Cahaya sinar bulan di atas sana nyaris tak membantu, malah menambah suram suasana.
Bukan salahnya ia berada di sana. Semua bermula dari surat yang ditemukannya tergeletak di atas ranjangnya. Surat yang mengatakan bahwa ia harus menemui seseorang di hutan. Ayahnya.
Gadis itu mana mampu menolak. Sudah hampir tiga bulan sang Ayah tidak pulang ke rumah. Orang tua itu bilang akan berburu, tapi mana ada orang berburu sampai berbulan-bulan lamanya? Maka hanya dengan bermodalkan keberanian gadis itu pergi ke hutan.
Tapi tak ada yang datang. Sampai matahari nyaris terbenam gadis itu menunggu pun tetap tak ada yang datang. Alih-alih ayahnya, justru masalah baru yang muncul. Gadis itu lupa jalan yang dilaluinya untuk sampai ke hutan. Dia tersesat.
Semakin jauh ia melangkah, maka semakin dalam pula ia masuk ke dalam hutan, dan semakin ia tidak tau arah mana lagi yang harus ditempuh. Hutan terkutuk itu telah menelannya sedikit demi sedikit tanpa ia sadari. Hanya tinggal menunggu waktu sampai ia dimangsa hewan buas atau hilang sama sekali.
Gadis itu sudah menangis sejak tadi. Tangannya terus menyibak daun-daun yang menghalangi jalannya sembari kakinya melangkah tak tentu arah. Satu dua kali ia terjatuh, tak terhitung berapa kali ia tersandung batang pohon. Sepatu merahnya mulai aus dan tangannya terasa gatal. Ia sudah nyaris terlalu lelah untuk melanjutkan berjalan. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Ia tak mau berakhir di perut hewan liar.
Namun sepertinya Tuhan masih berkenan untuk menolongnya.
Di balik deretan pepohonan, gadis itu menemukan sebuah mansion besar. Besar sekali sampai terlihat seperti kastil. Bangunan itu terlihat mengerikan di bawah cahaya bulan. Namun gadis itu tak peduli. Ada ataupun tidak penghuninya, setidaknya ia punya tempat berlindung malam ini. Lagipula, menilik keadaan bangunan tua itu, sepertinya tidak ada manusia normal yang mau tinggal disana.
Gadis itu berjalan, dan mengetuk pintu. Hanya untuk kesopanan saja. Ia tak berharap akan ada yang membukakan pintu dan menawarinya untuk tinggal –hal yang justru benar-benar terjadi saat ia selesai mengetuk.
Seorang pria tinggi membukakan pintu.
"Selamat malam, apa kau tersesat?"
"Umm.. ya."
Pria itu tersenyum.
"Selamat datang di mansion kami. Kau boleh menginap malam ini."
Ragu-ragu gadis itu mengikuti pria tersebut masuk ke dalam mansion besar itu. Sesaat dia mengira bagian dalam mansion itu akan sama suramnya dengan apa yang terlihat diluar, namun dugaannya seratus persen salah. Mansion itu mewah sekali, dan cukup besar untuk ditinggali satu keluarga besar.
"Hello!"
Nyaris saja gadis itu terjatuh saking terkejutnya. Sepasang anak laki-laki dan perempuan tiba-tiba saja berdiri di depannya. Kemunculan kedua anak itu begitu tiba-tiba sehingga seolah-olah keduanya muncul dari udara kosong.
"Orang baru, eh?" Si anak laki-laki menatapnya tertarik.
"Selamat datang di mansion kami!" Anak perempuan di sebelahnya –yang sangat mirip dengan si anak laki-laki—bersorak senang.
"Mansion kami sangat menakjubkan!" Keduanya berseru bersamaan.
Kedua anak itu mulai menari melompat-lompat Gadis itu tersenyum kecut. Dicobanya untuk tidak berpikir yang tidak-tidak. Mungkin ini sejenis penyambutan yang biasa mereka lakukan pada orang-orang yang tersesat sepertinya. Tapi hey, penyambutan yang seperti itu, alih-alih menenangkannya justru agak membuatnya takut. Ditambah lagi pria tinggi yang tadi menyambutnya malah pergi begitu saja, semakin menambah ketakutan gadis itu.
Untungnya, sebelum gadis itu merasa tidak nyaman, seorang wanita muda berambut hijau muncul dari pintu di sisi kanan ruangan membawa nampan berisi cangkir dan poci teh. Wanita itu cantik sekali, usianya mungkin baru 20 tahun. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya, sepertinya ia adalah salah satu maid di mansion itu.
"Selamat datang! Wah, kasihan sekali kau. Kau menggigil. Hmm, kurasa sebaiknya kau mencicipi teh buatanku. Ini ampuh untuk mengusir rasa dingin." Maid itu mencerocos sambil menuangkan teh dari poci.
Gadis itu ragu-ragu menyesap tehnya, yang ternyata rasanya enak sekali. Kehangatan langsung menjalari tubuhnya, membuatnya merasa lebih baik.
"Bagaimana? Enak?" Maid bertanya, menatap penasaran perubahan ekspresi wajah gadis itu.
"Terimakasih." Gadis itu terseyum. "Ini enak dan hangat."
Pria tinggi yang menyambutnya kembali lagi. Kali ini membawa sebuah peti berukuran sedang yang kemudian diberikannya pada gadis itu.
"Sebaiknya kau berganti pakaian. Tuan dan Nyonya akan menemuimu sebentar lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad End Night
HorrorHidup tersiksa, sebatang kara, dan menderita. Gadis muda itu tidak punya alasan lain untuk hidup selain karena Tuhan belum berkenan mencabut nyawanya, sesuatu yang sesungguhnya ia tunggu-tunggu sejak kematian ibunya. Ayahnya adalah seorang pemburu y...