ANDANTE

3.5K 66 2
                                    

Aku tak tahu ibu itu apa.
Kenapa ibu harus begitu spesial
bagi kehidupan anaknya?
Kenapa surga harus ditelapak
kaki ibu?
Kenapa bukan ayah?
Ayah.

"Danteee.. makan dulu"
"Iya Pa!"

Aku Andante. Biasa dipanggil Dante, gadis biasa berumur 16 tahun. Seperti namaku yang artinya bertempo sedang, hidupku sangat biasa.

Aku tak cantik. Wajahku berjerawat, layaknya remaja yang sedang puber. Aku juga tak terlalu pintar, sudah hebat itu kalau bisa ranking 21 dari 48 orang. Kaya? Tidak, Papaku cuma pemilik kedai kecil yang penghasilannya pas pasan.

"Bagaimana sekolahmu?" Papa menuang sup di mangkuk milikku. Aku tersenyum ke arah Papa, "biasa saja, kami ujian matematika tadi" jawabku. Papa mengangguk, lalu duduk dihadapanku. "Kita makan!".

Aku hanya tinggal dengan papa. Berdua, di rumah yang merangkap dengan kedai tempat papa bekerja. Papa menjual berbagai makanan pelengkap Bir dan Soju*. Yang artinya kedai Papa buka di malam hari. Siangnya Papa kerja di Toko Bunga, di pusat kota.

Papa melarangku untuk membantu di kedainya, katanya terlalu bahaya. Banyak pemabuk disana. Aku masih ingat bekas luka, di dahi kiri Papa. Seorang pemabuk sialan memukul Papa dengan botol Bir. Dan Papa hanya terkikik pelan, melihatku menangis kencang saat mengobati dahinya yang terus mengeluarkan darah.

Papa suka musik, dulu ia adalah pianis di grup band, yang namanya aku suka lupa. Terlalu aneh. Papa pandai menulis lagu. Mungkin karna itu jugalah aku diberi nama Andante.

" besok Dante lama pulang ya pa" ucapku sambil mencuci piring di dapur mungil kami. "Kenapa?" Tanya Papa, bersiap siap untuk membuka kedai. "Sebentar lagi ada festival sekolah, Dante jadi panitia" jawabku. Papa tak menjawab lagi, artinya dia setuju.

Mama? Maaf, aku tidak punya. Bukan, mamaku belum meninggal, dia masih hidup,mungkin. Bercerai? Cih, papa itu setia. Jangan tanya mama lagi, aku malas membahasnya.

※※※

Sekolah tempatku belajar, sudah sepi. Hanya beberapa murid, yang menjadi panitia festival sepertiku, yang masih berkoar koar di ruang rapat, membahas tentang festival minggu depan.

"Dante, kamu main piano solo ya" Hyerin si ketua panitia memberi usul.
"Whoa, kenapa tiba tiba?" Tanyaku panik. Hyerin mendekat ke arahku, menunjuk bagian acara yang masih kosong.

"Kau tampil disini, acara kita kurang. Bebas deh lagu apa. Mau klasik, atau modren" jelas Hyerin. Aku masih diam, sedikit berfikir. Aku memang suka piano, dan lumayan pandai memainkannya. Tapi, festival tinggal minggu depan, apa sempat aku latihan?

"Oke, masukkan Dante ke acara" putus Hyerin sepihak. Aku hanya bisa menghela nafas, latihan dimulai hari ini.

Bulan sudah muncul, dengan sedikit kabut dilangit saat aku sampai di kedai yang merangkap jadi rumahku. Aku melihat seorang wanita berdiri di luar kedai. Memperhatikan Papa yang sibuk mengantar makanan, dengan wajah sedih. Eh, kenapa wanita itu sedih?

"Ehm, permisi" aku menepuk pundak wanita mungil itu. Ia tampak terkejut, takut aksi mengintipnya ketahuan olehku. "Ah, ya" cicitnya pelan. "Kenapa anda tidak masuk? Maksudku, disini dingin, sebaiknya anda masuk, agar lebih hangat" usulku.

Wanita itu tersenyum. Cantik. Itu yang terlintas dipikiranku. Umurnya mungkin sepantaran Papa. "Kau, anak pemilik kedai ini?" Tanya wanita itu, dengan suara yang lembut. "Ah, ya" jawabku singkat. Senyum wanita itu perlahan memudar, mata coklatnya sedikit berkaca kaca? Jangan bilang dia mau menangis.

하루Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang