DIBALIK PAYUNG HITAM

1.8K 46 3
                                    

Tangan ringkih ini
Genggamlah.
Tubuh gemetar ini
Rengkuhlah.
Berbagi kehangatan,
ditengah derasnya hujan
Dibalik payung hitam.

Sudah setengah jam aku menunggu. Hujan sedang turun dengan derasnya. Memenuhi halaman kampus tempat aku belajar dengan genangan air. Aku mengusap lenganku yang disapa angin dingin.

Dinding disamping tempatku berdiri, terus merembeskan air. Membentuk aliran yang terus mengeluarkan bau. Memuakkan.


Mataku menatap kosong, berniat menembus hujan -yang sialnya- turun disaat aku hendak pulang. Namun konsekuensinya tubuhku akan basah, ada berkas penting di tasku. Ide gila itu langsung kutolak.

Gedung yang hampir 50 tahun berdiri itu terus menguarkan hawa aneh. Membuatku merinding. Kenapa hari ini begitu sial sih.

"Nami!"

Aku mengendus kesal saat dia berlari ke arahku. Kakinya melintasi genangan lumpur tanpa peduli jeansnya kotor. Bunyi kecipak itu terdengar kecil, karna suara riuh hujan begitu mendominasi.

Sebuah payung berwarna hitam, melindungi pundak tegapnya. Senyumnya terlalu cerah, seperti menertawakan hujan yang begitu suram.

"Sorry, udah lama nunggu ya?" Ia meneduh, berdiri disampingku yang masih bungkam. "Tadi aku nemenin Arga ngantar makalah dulu, dia kan suka sok sibuk" ujarnya dengan suara barittone yang khas.

Aku menelan ludah dengan sulit. Pipiku mulai memanas di cuaca sedingin ini. "Mau langsung pulang nih?" Tanyanya padaku.
"Dimas, jauhan dikit" ucapku pelan.
"Eh?"
Dimas-pemuda itu- lantas menggeser, menggesekkan lengan kemeja biru donkernya dengan rembesan air di dinding kampus itu.

"Nami? Sehat?" Tanyanya sedikit tertawa. Seakan tak peduli, aroma parfumenya membaur dengan bau pengap rembesan air tadi.

"Capek, mau pulang. Jalan sekarang" jawabku tanpa menoleh. Ia mengangguk antusias, melebarkan kembali payung hitam itu, lalu merangkulku, untuk berlindung.

Jalanan kampus yang sudah basah, tampak sepi. Mataku mengedip dengan cepat. Tangan Dimas masih melingkar di pundakku, kadang mengerat saat suara petir menggelegar. "Takut petir?" Tanyaku ingin menghina. Mengingat Dimas adalah atlet taekwondo - yang jelas jelas sangat macho- sangat lucu kalau pemuda itu takut petir. "Sedikit" aku menarik sudut bibirku "karna trauma masa lalu loh Nami, jangan coba ngehina ya" ucapnya hampir berteriak.

Aku yang pendiam ini, pada akhirnya tak akan cocok dengan Dimas yang boros bicara. Percakapan yang terlalu sering berakhir menjadi sepihak, membuatku kasihan padanya. Mencoba berteman denganku yang dikucilkan, yang gak pernah bisa berteman.

"Nami, aku mau cerita sesuatu nih!"

Dimas tidak pernah sedih.
Ekspresi bahagia, sudah tercetak di wajahnya sejak ia lahir. Kadang aku penasaran apa senyum itu tulus, atau malah palsu. Jangan - jangan sebenarnya Dimas sosok yang keras dan rapuh,memakai topeng hanya untuk diterima di masyarakat, drama sekali.

Aku tak membalas ucapannya. Hanya serius menatap rinai hujan yang semakin deras. Payung hitam itu terlalu kecil untuk melindungi dua orang. Seakan sadar akan hal itu, Dimas memiringkan payungnya. Membiarkan bahunya basah oleh air.

Dasar sok romantis.

"Ini tentang Hara, kau taukan anak fkm?" Dimas bersua lagi.

Tentu aku tahu.
Sudah dua bulan ini, Dimas selalu membahasnya. Aku hapal betul siapa Harashi Ananda, anak FKM stambuk 2014, yang digilai Dimas.
Hara, itu panggilannya. Memiliki kulit putih bersih, dan mata besar yang imut. Kalau ia tertawa, suaranya sangat pelan. Orang yang lembut, pandai berteman.

하루Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang