Pagi menyapa kota Holy dengan cepat. Bukan berarti Hunter peduli, karena faktanya, ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya meski hanya untuk satu detik semalam. Pikirannya lelah, namun tubuhnya tidak. Hunter bangkit berdiri, lalu berjalan menuju dapur. Ia membuat kopi, sebelum membiarkan benaknya kembali berkelana.
Saat itulah sebuah suara tertangkap pendengarannya.
Kaki Hunter melangkah menuju jendela. Jendela itu menghadap tepat ke arah kebun sederhana yang dipenuhi berbagai macam bunga. Sejak memutuskan untuk tinggal di kota Holy, Hunter merawat kebun itu dengan segenap kemampuannya. Tidak, Hunter tidak melakukannya karena ia menyukai tanaman, namun karena itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tenang ketika mimpi buruk membangunkannya di tengah malam.
Dan kini, kebun kecil miliknya memiliki seorang pengagum. Seorang gadis dengan rambut pirang yang digelung menjadi satu dan tangan yang sibuk menyentuh kelopak-kelopak bunga.
Hunter mengerjap ketika menyadari gadis itu adalah Kelsey.
Apa ia tidak merasa sakit setelah minum semalam? batin Hunter.
Tangan Hunter meraih kenop pintu. Satu detik setelahnya, udara segar musim panas menyambut, meskipun matahari belum benar-benar sempurna menyinari langit.
Kelsey menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka. Senyumnya secara otomatis mengembang.
"Selamat pagi," sapa Kelsey ceria.
Hunter tidak membalas, sehingga Kelsey melanjutkan, "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu. Kau tahu ... untuk mengantarku pulang semalam."
Satu anggukan Hunter berikan, sementara Kelsey berjalan mendekat. Barulah saat itu Hunter menyadari bahwa gadis itu sudah berpakaian rapi. Wajahnya memang bersih dari riasan, namun Hunter sangat yakin gadis itu berniat untuk pergi.
"Oh, kau membuat kopi? Bisakah aku meminta satu gelas sebelum aku pergi?" pinta Kelsey.
Ucapannya itu memberikan konfirmasi pada Hunter bahwa apa yang dipikirkannya benar.
"Silakan," jawab Hunter seraya membuka pintunya lebih lebar.
"Apartemenmu ... unik," komentar Kelsey ketika mengedarkan pandangan. Apartemen Hunter lebih besar daripada apartemen Cam. Namun tidak ada sekat di dalamnya. Setiap ruangan dipisahkan dengan lemari, kursi, atau hal lain. Hampir terlihat seperti ... tidak ada privasi.
"Itu kamarmu?" tanya Kelsey. Menunjuk pada ruangan yang berada di bagian paling dalam dari apartemen itu. Ada satu lemari besar yang menutupi ruangan itu, namun siapa pun bisa melihat sisanya. Termasuk sebuah meja yang membentuk huruf L di sudutnya.
Hunter meletakkan segelas kopi untuk Kelsey, lalu menjatuhkan dirinya di kursi yang berada di hadapan gadis itu.
"Kau bahkan memiliki gym di dalam apartemenmu," lanjut Kelsey. Matanya tidak lepas dari perangkat alat-alat olahraga yang menempati hampir setengah dari apartemen itu. "Aku menebak profesimu berhubungan dengan kegiatan fisik. Jadi, aku benar?"
"Aku pelatih di sekolah menengah Holy," jawab Hunter.
"Pelatih American Football maksudmu?" tanya Kelsey.
Hunter mengangguk.
"Sejak kapan?"
"Dua tahun yang lalu."
Meski dalam hati Hunter menambahkan, sejak aku tidak bisa menemukanmu....
"Bagaimana denganmu?" tanya Hunter kemudian.
Sementara hatinya berbisik, di mana kau tinggal selama lima tahun terakhir? Ke mana kau akan pergi setelah ini?
Sejumput rambut Kelsey lepas dari gelungannya, jatuh tepat di sisi wajahnya. Menggoda Hunter untuk mengulurkan tangan dan menyelipkannya kembali. Namun Hunter berhasil menahan dirinya. Tidak ingin Kelsey semakin bingung, terlebih setelah reaksinya kemarin saat mereka bertemu.
"Aku bekerja di restoran," jawab Kelsey. Sebelum Hunter sempat bertanya di mana, Kelsey melanjutkan, "Sebenarnya ada satu hal yang ingin kutanyakan."
Hunter diam. Namun entah mengapa, jantungnya mulai berdetak cepat.
"Apa...." Kelsey menatap gelas di tangannya, lalu menghela napas. "Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh semalam?"
Hening.
"Hunter?"
"Kau mengatakan sesuatu yang aneh semalam," jawab Hunter.
Kedua mata Kelsey terbelalak.
"Apa yang kukatakan?"
"Jika aneh yang kau maksud adalah kau tidak mengingat namaku juga berkata kau tidak mabuk, maka ya. Kau mengatakan sesuatu yang aneh."
Seketika helaan napas lega terlepas dari Kelsey. Lalu gadis itu menyadari tatapan Hunter yang lurus padanya.
"Oh, astaga. Aku tidak bermaksud melupakanmu, sungguh. Itu terjadi begitu saja ketika aku mabuk. Aku sulit mengenali orang yang baru kutemui. Kuharap kau tidak tersinggung karena hal itu. Sungguh bukan karena kau tidak menarik-kau sangat menarik-tapi aku tidak bisa mengendalikan otakku ketika aku mabuk," jelas Kelsey menggebu-gebu.
Sudut-sudut bibir Hunter terangkat sedikit.
"Aku menarik?"
Kelsey memutar mata, lalu bergumam, "Tentu saja hanya itu yang terdengar olehmu."
"Jadi, kau mengakui bahwa kau mabuk," balas Hunter. "Tapi ... bagaimana bisa kau tidak sakit pagi ini? Kau tahu, sakit kepala, mual, dan sebagainya?"
Dan sekali lagi, hatinya menanyakan pertanyaan berbeda; apa selama lima tahun ini kau selalu pulang bersama pria mana pun yang kau temui di bar? Dalam keadaan mabuk? Mengapa kau lakukan itu?
Bahu Kelsey terangkat, sementara lidahnya kembali mengecap kopi buatan Hunter.
"Aku selalu seperti ini. Tidak peduli berapa banyak minuman yang kuminum, ketika pagi datang aku akan baik-baik saja. Yah ... setelah mengeluarkan segalanya di lantai kamar mandi. Aku baik-baik saja."
Setelah itu tidak ada suara. Hunter tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Kelsey, dengan benak yang menjeritkan berbagai pertanyaan. Sementara Kelsey terlalu bingung. Ia tetap merasa ada sesuatu yang janggal, namun tidak bisa mengatakan di mana letak kejanggalan itu.
"Apa kau-"
Pertanyaan Kelsey terpotong oleh dering ponsel yang tergeletak di atas meja. Milik Hunter. Dengan cepat pria itu meraih ponselnya, lalu menerima panggilan itu.
"Ya," ucap Hunter.
Selama sesaat Hunter diam, kemudian matanya beralih pada Kelsey. Kening Kelsey seketika berkerut karena ia merasa apa pun yang dikatakan lawan bicara Hunter itu berhubungan dengannya.
"Aku akan datang ke sana," lanjut Hunter sebelum menurunkan ponselnya.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Kelsey.
Hunter menatap Kelsey, namun ia masih diam. Setelah satu helaan napas, Hunter pun menyuarakan jawaban. Jawaban yang tidak pernah ia pikir akan meluncur dari bibirnya. Tidak untuk gadis yang duduk di hadapannya, setidaknya.
"Ibu dari Connor Eiren meninggal dunia," jawab Hunter.
Kelsey membeku.
Karena ibu dari Connor Eiren adalah....
Dan Hunter melanjutkan, "Ibumu meninggal, Kelsey."
***
YOU ARE READING
Lost Girl (Lost #2)
RomanceKelsey Eiren tidak pernah berpikir dirinya akan kembali ke kota yang telah menghancurkan hidupnya. Namun ketika lima tahun berlalu dan keadaan tidak memberinya pilihan, Kelsey pun melakukannya; kembali ke kota Holy. Kali ini, tidak hanya harus berha...