3 | MY BELOVED HUSBAND

299 21 7
                                    

Bu Euis

Serasa dijatuhi batu-batu besar dari langit. Aku kehilangan kata-kata. Berbagai emosi muncul dalam waktu bersamaan, membuat perasaan ini tak jelas dan mengalami kekacauan. Kaget, tak percaya, sedih, marah, dan berbagai rasa lain yang tak bisa kusebutkan.

Awalnya aku sangka, Afdan hanya menyodorkan berita politik biasa. Ya berita tertangkapnya koruptor itu berita biasa yang sudah lumrah. Media setiap hari menjejalkan berita itu kepada rakyat di negeri ini. Dan entah kenapa saban hari, bukannya koruptor makin berkurang, tapi justru, makin diungkap lebih lanjut makin terkuak para pelakuya.

Aku tak ambil pusing. Berita-berita tersebut toh tidak menimpaku, suamiku atau keluargaku yang lain. Aku juga percaya suamiku tidak akan melakukan itu. Namun berita yang ada dihadapanku telah membalikkan seratus delapan puluh derajat semua hal yang telah menjadi keyakinanku.

Euis, ternyata suami, koruptor yang merugikan negara, sebuah suara menggaung dalam batinku. Bukan, suamimu, bukan koruptor, tapi copet alias maling negara, ada suara lagi yang berteriak. Kudengar dengan jelas menusuk-nusuk nuraniku. Suara-suara itu memantul dan bergaung berulang-ulang hingga ruang hatiku terasa amat sesak. Sungguh aku muak. Ingin kebungkam suara-suara itu seandainya aku mampu menemukan mulut-mulut yang berteriak itu. Euis Ratna Sari, suamimu seorang maling, lagi-lagi suara itu. Omong kosong! Persetan! Menyingkirlah!

Ayah? Bagaimana kamu bisa melakukan itu? Apakah aku terlalu banyak menuntut nafkah padanya? Aku rasa tidak, karena aku sendiri punya penghasilan. Aku juga bekerja. Aku tidak mengandalkan semua kebutuhan pada Ayah.

Meskipun aku bersuami seorang bupati, sebagaimana sebelum menikah dengannya, aku tetap bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit swasta. Aku sangat menyukai pekerjaanku. Jadi, meskipun ayah anak-anak pernah memintaku berhenti bekerja, aku memohon padanya untuk tidak melarangku tetap bekerja.

Ayah? Kenapa kamu mencoreng keluarga? Aku tak kuasa lagi menonton berita. Kini hampir semua saluran televisi menjadikanmu sebagai headline news.

Tambah memuakkan lagi, kamu berdua dengan seorang perempuan di kamar hotel. Aku tak pernah mau membayangkannya. Kemana janji setiamu setelah kamu ucapkan ijab-qabul saat pernikahann kita? Wanita yang bersamamu di hotel memang cantik. Lelaki mana yang tidak menyukai perempuan cantik, muda lagi. Namun perempuan mana yang ikhlas suaminya bermesraan dengan perempuan lain di belakangnya?

Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kutinggalkan Afdan yang kedua matanya masih melotot menyimak semua berita tentang ayahnya. Aku melangkah lunglai menuju kamar. Kalau tadi saat di depan televisi, air mata masih bisa kutahan biar tidak tumpah. Kini setelah sampai di kamar, kedua mataku meleleh. Kututup pintu kamar biar Afdan tidak melihatku.

Ya Tuhan...

Aku menangis sesenggukan di pojok kamar. Hatiku teriris-iris. Perih.

*

Pukul 00.30. Sejak menyaksikan berita itu, aku tak bisa tidur. Entahlah, apakah anakku juga sama denganku. Aku ingin mencurahkan perasaanku, tapi kepada siapa? Emak dan Abah sudah tidak ada.

Kucoba menghubungi Icha. Jika terhubung aku ingin segera dia pulang malam ini juga. Aku ingin dia pulang, tak peduli sekalipun acara pelatihan dia masih tinggal sehari, dua hari, atau pun tinggal seminggu. Dia harus pulang. Ini darurat! Aku yakin, dia belum tahu soal ayahnya.

Aku tekan nomor hape Icha. Teteh, ayo angkat, sayang. Meskipun gagal, tidak terhubung, berkali-kali aku coba hubungi lagi. Tak ada hasil. Nomornya tidak aktif. Ini anak ada apa lagi, sudah hampir seminggu nomornya tidak pernah aktif.

Aqila tiba-tiba terbangun. Dia membolak-balikkan badannya berulang kali. Matanya terbuka. Tangisnya pecah. Rengekannya menggaung ke seluruh penjuru kamar. Aku segera mendekatinya. Kubenahi posisi tidurnya. Aku berbaring menyamping ke arah putri kecilku itu.

Surga untuk KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang