Prolog

30 1 3
                                    


Sudah seminggu lamanya Panji mengintai rumah yang berada tepat di samping rumahnya. Ukuran dan desainnya mencolok, bahkan sepertinya dari dulu Bapak mengincar rumah itu sejak diberi plang bertuliskan 'DIJUAL' di depannya. Berulang kali bapak bilang dengan nada percaya diri.

"Itu bakal rumah kita."

Hingga dua minggu lalu, mimpi bapak seperti berakhir hanya sampai di mulut. Karena plang itu telah dicopot dari tempat digantungnya. Dan mobil dan truk besar bergantian masuk melewati pagar besi yang tinggi bercat putih. Rumah yang semula kosong dan seperti mati itu berubah. Setiap pagi, ada mobil mewah yang keluar dari balik pagarnya.

Di pagi menjelang siang, bocah sembilan tahun itu berusaha mengayuh sepedanya. Mendekat ke arah pagar tinggi itu dan berhenti sejenak. Dua bola mata tajamnya menatap cukup lama, memperhatikan gerak-gerik kehidupan di sekitar pekarangan rumah besar itu. Semula ia berencana akan melaporkan pada Darma dan Nathan perkara apa yang dilihatnya, tapi tampaknya niat itu urung setelah melihat tak ada hal yang bisa membuat teman-temannya tertarik.

Dulu, sebelum ada penghuninya, tempat ini menjadi tempat main favorit mereka. Pekarangan belakangnya sangat luas dan rimbun dengan pohon-pohon rindang. Terkadang mereka bermain sepak bola atau petak umpet. Namun sejak rumah itu berpenghuni dua minggu lalu, kegiatan itu terhenti dan terpaksa mereka mencari tempat baru untuk bermain.

Panji yang bersikeras, meminta izin kepada pemiliknya untuk memakai pekarangan itu dengan bebas. Teman-temannya menyangkal dan beranggapan hal itu mustahil. Mana mau sembarangan orang-orang itu mengizinkan bocah-bocah seperti mereka. Mereka-pemilik rumah itu-sekumpulan orang dewasa yang tak peduli dengan kepentingan anak lelaki seusia mereka.

Tak mungkin Panji, jika tak pintar mencari jawaban baru, berdalih. Mungkin saja. Semuanya memungkinkan jika ia bisa menemukan orang yang pantas ia mintai izin. Tentu bukan pemilik rumah itu. Terlalu beresiko.

Bagaimana dengan anak mereka?

Jika penghuni baru itu memiliki anak seumuran dirinya tentu akan lebih gampang. Apalagi jika mereka memiliki anak laki-laki. Itulah yang membuat mata Panji tak pernah awas dari rumah itu sejak truk besar melewati gerbangnya. Ini maksud pembuktian Panji pada teman-temannya yang menganggapnya pembual. Walau sampai saat ini ia belum mendapatkan bukti nyata, bahwa penghuni baru itu memiliki anak.

Lalu, pagi itu. Dengan berani ia melihat sedikit lebih dekat dari biasanya. Mendekati gerbang pagar putih itu, mengamatinya tanpa malu. Sebelumnya, ia hanya melewatinya. Kali ini ia lebih berani, agar mendapatkan lebih cepat hasil yang diharapkannya. Beruntung saat itu Pak Eko, satpam kompleks, sedang tidak berkeliling di sekitaran sana. Kalau tidak...

TENG! TENG! TENG!

Panji terjatuh dari sepedanya. Terpontang-panting. Suara pukulan tongkat bisbol pada gerbang itu hampir membuat jantungnya copot dan langkahnya mundur beberapa meter dari sepedanya. Pelakunya tampak seusia dengan Panji. Berambut pendek, tapi bukan anak laki-laki. Jelas dari rok yang dipakainya. Terlebih, yang dilihat menggunakan alat itu tengah balas menatap Panji dengan curiga-masih bersiap dengan tongkat bisbol di tangan kanannya. Berusaha membuka gerbang putih itu dan mendekat ke arahnya.

Kamu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang