1. Tetangga, Nanaz

15 1 0
                                    

Penyesalan.

Sedekat apa pun waktu itu antara dirinya dengan Nanaz. Iya, Shahnaz. Tak satu pun yang benar-benar dimengerti Panji. Mereka sering bersama, tapi banyak yang tak ia tahu. Seperti apa Shahnaz sebenarnya, ia tak pernah bertanya.

Rindu.

Mengikat hari demi hari dalam satu persatu pikiran itu. Tentang Shahnaz yang sebelumnya tak pernah terlintas sedikit pun. Tak pernah Panji akan merasa begitu ngilu karena perasaan ini mendekap kuat, hingga ia telah lupa kenapa perasaan ini terbendung begitu ruah.

***

Sampai benar-benar berkeringat. Benar-benar basah.

Begitu prinsip Panji jika sudah berada di lapangan basket. Beriringan dengan Nathan dan Darma, bertiga di lapangan basket dengan baju putih abu-abu. Saat suasana panas menyengat, badan mereka tetap bergerak gesit memperebutkan bola yang memantul berkali-kali dari tadi. Sejak lima belas menit yang lalu, belum ada satu pun yang berhasil memasukannya ke dalam keranjang.

Badan mereka yang sama-sama jangkung mungkin bisa sebagai faktor masing-masing mampu memperkuat pertahanan. Sesaat kemudian, sudah terlihat siapa yang mampu memasukan bola ke keranjang. Dan gemuruh suara adik kelas bersahut-sahut memanggil namanya dari balik pagar kawat di tepi lapangan.

"Kak Panjiii!!!!"

Panji dengan guts pose-nya. Nathan masih mengambil napas dan Darma sudah berlari ke tepi lapangan, berteduh.

"Lagi-lagi pamer." bisik Nathan setelah menyusul Darma.

Darma tak menjawab dan meminum air dari botol yang diambilnya dari dalam tasnya. Keduanya memperhatikan Panji yang masih melambai-lambai ramah ke gadis-gadis berseragam putih abu-abu. Dan tampaknya temannya itu ingin menunjukkan sekali lagi aksinya kepada para penggemarnya dengan mengambil bola basket yang berada agak jauh dari lapangan. Ia berlari dan mencoba meraihnya, tapi...

Set!

Seseorang berhasil mengambil terlebih dahulu mengambil dan mencetak three-point dengan mulus. Darma dan Nathan tepuk tangan riuh melihat kejadian itu. Panji yang kelihatan tidak senang.

"Lo bisa nggak, sekali aja... nggak gangguin kesenangan gue?!" serunya setengah berteriak. "Naz!"

Gadis berkacamata itu hanya tersenyum simpul, mengambil tas ransel Panji dan melempar ke pemiliknya.

"Gue nungguin lo setengah jam di parkiran." balasnya dengan tampang manis. "Ayo balik! Gue mau les piano bentar lagi."

Gadis itu melambai ke arah Nathan dan Darma. Keduanya sedang terkikik, pemandangan yang sudah sering mereka lihat. Setelah itu ia menarik ujung lengan kemeja putih Panji yang masih tak berhenti berceloteh.

"Gue nggak mau balik sama lo kalau gini caranya." Panji menahan tangan gadis itu.

"Gitu?" masih dengan senyum simpulnya. "Mama kayaknya mampir ke toko kue, mau beliin apa ya... kira-kira?"

"Red Velvet?"

Gadis itu memegang dagunya, bingung.

"Nggak tahu, mungki-"

"Ayo balik!" seru Panji dengan cepat mengubah pikirannya dan pamit ke kedua temannya. "Duluan ya!"

"Si Shahnaz, mungil-mungil begitu pinter juga ya ngehendel si Panji." ujar Nathan setelah kepergian mereka.

"Lebih tepatnya, si Panji gampang nurut sama omongan dia." timpal Darma. "Namanya juga teman dari kecil."

"Mereka nggak jadian?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang