Office Politics by Vienely

317 5 0
                                    

“Psst!”

“Ha?”

“Nek, gue bagi dong kentang goreng lo.”

“Yakin lo? Meja lo bukannya sebelah mejanya si Mak Lampir? Dia kan nggak suka liat pegawainya makan sambil kerja, apalagi pegawai teladan macem elo. Ntar dia ngomel lagi, terus banting-banting S5-nya kayak banting kacang goreng. Mentang-mentang horang kayah.”

“Yekali. Lebay banget sih lo. Lagian lo sendiri juga makan!”

“Gue sih sante. Bos gue kan si Pak De, bukan nenek lampir kayak bos lo itu.”

“Eh sialan lo.”

“Tapi kalo lo mau sih ambil aja. Nih. Pokoknya jangan bawa-bawa nama gue kalo ketahuan,” berkata begitu, Dewi memberikan satu sterofoam yang belum terjamah, berisikan kentang goreng berikut kantung saus mayones olahan sendiri dan saus sambal. Dengan harga sembilan ribu rupiah, kentangnya direndam garing dalam minyak panas yang banyak. Sebuah camilan dari koperasi lantai dasar yang pantas untuk menemani penikmatnya melewati suntuk di sore hari kala menunggu detik-detik waktu pulang. Jarum panjang bilang kalau masih ada lima puluh menit lagi sampai Dewi halal untuk beres-beres tas tangannya. Maklum, pegawai yang baru masuk sebulan masih bisa leha-leha, apalagi mejanya di paling pojok dekat jendela, tersembunyi dari tatap mata kepala bagiannya, Pak De. Tentu saja bukan nama asli, melainkan julukan yang diberikan bawahannya saking baiknya atasan mereka itu.

Dewi melambaikan tangan atas kepergian Nina ke divisinya sendiri. Nina yang malang. Dibandingkan dengan Dewi si pegawai baru, Nina jauh lebih lama bekerja di perusahaan multinasional itu dan telah dipercaya menjadi tangan kanan kepala bagiannya. Sayang sekali, kepala bagian Nina tidak semurah hati kepala bagian Dewi. Dipanggilnya saja Mak Lampir, kamu mengharapkan apa? Perempuan yang lebih dari tiga puluh tahun tapi belum menikah juga, tidak mau tahu beratnya proses yang ditempuh, yang penting hasilnya sesuai sama yang diinginkannya, cerewet, tukang ngomel, cepat marah bahkan sampai membanting barang-barang atau melempar dokumen hasil kerja susah payah bawahannya ke mesin penghancur kertas. Kalau kamu belum geleng-geleng kepala menyaksikan tingkahnya, tunggu sampai kamu dengar jeritan penuh makian yang ia timpakan pada bawahannya apabila mereka berbuat salah, bahkan kesalahan minor yang sama sekali tidak perlu diributkan, seperti salah menulis tanggal di dokumen tidak penting.

Dengan tabiat seburuk itu, tiap hari, tiap jam, tiap menit, Mak Lampir mendulang umpatan sembunyi-sembunyi, rumor kotor, omongan jelek, sumpahan penuh dendam, berbagai macam doa menyengsarakan dari bawahan, kolega maupun orang yang sekedar jadi tempat curhatan para korban. Dewi tidak bisa membayangkan bagaimana seseorang bisa hidup dengan tenang membawa beban begitu banyak kebencian dari orang lain. Herannya, tidak ada tanda-tanda pihak manajemen atas akan mencopot Mak Lampir dari jabatannya. Sungguh aneh. Beberapa spekulasi menyebutkan bahwa mereka telah kena teluh dari Mak Lampir. Beberapa bilang pasti Mak Lampir jual badan ke direksi. Dewi sendiri tidak ikut-ikutan. Ia hanya kasihan pada Nina yang hidupnya tertekan. Menjadi tangan kanan orang yang dibenci hampir satu perusahaan bertingkat delapan bukanlah hal yang mudah. Nina terjepit antara atasan dan koleganya, dan hanya Dewi lah yang jadi tempat curhat Nina.

Bertemu di lift secara tidak sengaja, Dewi berkenalan dengan Nina. Terbiasa tembak langsung mengajak kenalan setiap bertemu orang baru, Dewi memberi kesan terbuka, tanpa rahasia, sehingga Nina dalam waktu amat singkat sudah menceritakan masalahnya yang selama ini ia pendam. Dewi sendiri memang membenci backstabbing karena pengalaman pribadi. Sampai sekarang, sakit hati akibat dikhianati oleh orang yang sangat ia percayai tidak bisa hilang, membekas meninggalkan parut abadi di dalam dada. Karena itu, ia bersungguh-sungguh ketika menenangkan Nina dan mendengar keluh kesah yang tumpah. Di akhir, Nina menangis. Dewi memeluknya erat, membiarkan cardigan hijau kesayangannya dibasahi air mata teman barunya itu. Dewi sendiri hampir saja ikut menangis, tetapi ditahannya dengan paksa.

[Chain Fiction Project] At WorkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang