Sama by Cloudhie

81 7 0
                                    

“Eh, lo di tempat biasa kan, Gi?”

“Iya, ini gue lagi nungguin Nara.”

“Ya udah, gue baru beberes nih, ada sejaman kali gue dari sini ke tempat lo.”

Setelah menggumamkan kalimat penutup dan menekan tombol mematikan pembicaraan, Gio menghela nafas. Diletakkannya ponsel android keluaran terbaru yang baru saja diberikan oleh editornya. Biar mempermudah pekerjaan katanya. Ide itu soalnya sering datang dari mana saja. Kayak seperti kemarin ketika dia duduk di suatu taman menikmati matahari pagi setelah melakukan jogging singkat dari rumahnya. Ponsel praktis itu jadi penolong ketika pulpen dan buku tidak ada di tangannya.

Ada enak dan tidaknya menjadi seorang penulis sebenarnya. Gio sadar ketika dia memilih jalan ini dibanding mengikuti jalan orang kebanyakan yang memilih bekerja di kantor atau tempat yang bisa dikatakan kantor. Macam tempat kerja Nara yang merupakan kafe tingkat menengah dimana dia menjadi pramusaji di sana. Setahunya itu kafe keempat yang menjadi tempat kerjanya. Tiga sebelumnya berakhir dengan dirinya yang mengundurkan diri karena satu dan lain halnya. Salah satunya karena tempat kerjanya terlalu pelik katanya. Banyak politik di sana. Nara sendiri mengaku kalau dia sudah kenyang politik yang dilihatnya dari berita-berita televisi maupun media cetak. Makanya dia pindah. Dan sepertinya itu menjadi alasan berhentinya di tempat berikutnya dan berikutnya lagi.

Membuatnya jadi ingat dengan Dewi—sepupunya. Mungkin ada baiknya dia menelpon atau mengunjungi gadis itu nanti. Dia belum dengar kabar lagi setelah kepindahannya ke tempat kerja baru. Terakhir kali mendengarkan ocehannya adalah ketika dia memutuskan berhenti dan mendapat tawaran kerja di tempat yang lainnya.

Tapi paling tidak, salah seorang sahabatnya—Angga—menjadi supervisor di satu kantor yang tempatnya lebih baik dari dua orang lain yang dikenalnya. Boss di tempatnya kerja orang yang baik. Tegas namun baik. Toleransinya malah lebih baik dibanding tempat yang lain. Bayangkan saja ketika tadi dia bercerita tentang kejadian dimana dia kepergok bermain game eroge di kantornya. Tak ada surat peringatan. Hanya peringatan lisan, namun itu saja sudah cukup membuatnya kapok.

Atau begitu harapan Gio.

Sementara dirinya sendiri tidak memiliki kantor. Paling juga dia hanya bisa menyebutkan perusahaan penerbit tempatnya menerbitkan buku adalah kantornya. Tapi kalau dibilang kerja di sana juga tidak. Soalnya dia biasanya hanya mendekam dalam kamar mengetikkan kata demi kata untuk cerita terbarunya, atau keluar mencari inspirasi atau jika dia ingin suasana baru—seperti sekarang ini—dia akan datang ke kafe terdekat dari rumah lalu meminjam akses internet dengan memesan satu dua cemilan ditemani kopi hangat sembari menuliskan ide yang muncul di sini.

Suasana baru semacam tempat ini selalu memberinya inspirasi dibanding berada di dalam kamar yang kini terasa seperti kotak penjara yang membuntukan otaknya.

Kalau boleh jujur, Gio tidak pernah berpikir akan menjadi penulis. Pemuda jangkung itu hanya tidak berpikiran utnuk bekerja di tempat lain setelah novel yang tidak sengaja dikirimnya ke kantor penerbitan terkenal malah diterima dan jadi best seller di pasaran. Padahal, anggapan ibunya selama ini jadi penulis itu madesu. Masa depan suram katanya.

Lalu tanpa mempedulikan lagi apapun kata orang yang menyayangkan keputusannya untuk meninggalkan CV dan menyia-nyiakan gelar sarjananya, Gio teguh pada pendiriannya untuk menjadi penulis berhasil. Paling tidak, semua perjuangannya terbayar dengan sederet karya yang kemudian menyusul keberhasilan novel pertamanya itu.

Sekarang mungkin tidak ada lagi yang menanyakan atau memandangnya tidak setuju. Tapi tetap saja, rengekan ibunya yang masih terus berharap anaknya bisa bekerja di satu kantor secara normal. Padahal, gajinya masih lebih baik dan bisa membuatnya hidup untuk sementara ini. Karena alasan itu mungkin yang membuatnya memutuskan untuk pindah. Membeli rumah kecil yang sempat ditawarkan oleh Angga karena—kakaknya—yang punya rumah telah pindah mengikuti suaminya di Jawa.

Sejujurnya, Gio bukan tidak ingin, hanya saja setelah bertahun-tahun menulis, dia bahkan tidak tahu lagi apakah dirinya bisa bekerja seperti layaknya orang kantoran. Karena yah, bisakah dibayangkan seseorang yang biasanya berleha-leha di kamarnya. Bangun kapan saja diinginkan, mandi kapan saja dia merasa perlu, makan ketika disadarinya perutnya belum diisi beberapa jam terakhir dan bekerja kapanpun dia memiliki mood untuk menulis.

Rasanya tidak. Gio bahkan bisa mempercayai kalau dirinya akan langsung menyerah di hari pertama.

“Hei, Gi. Ngelamun aja lo. Kesambet ntar.”

Panggilan itu membuatnya kaget. Nyari saja gelas kopi yang isinya kini tinggal setengah itu jatuh mengenai laptop kesayangannya.

“Sialan lo, Nar. Ngagetin gue aja.”

“Alaah, kayak cewek aja lo. Gitu aja kaget,” ucap Nara yang kemudian mengambil kursi di samping Gio dan duduk setelah memesan satu gelas cappuccino pada pramusaji terdekat.

“Kagetlah. Lagi mikirin plot nih.”

“Mikirin plot apa lagi ngehayal yang jorok-jorok nih?”

Jitak.

“Balik aja lo kalo cuma ngerecokin gue,” yang dijitak malah tertawa. Tidak peduli pada kesalnya teman sejak SMP nya itu.

“Sori, sori. Abis serius amat sih jadi orang. Mentang-mentang penulis terkenal. Hahaha.”

Gio hanya memaki kecil sembari kembali membiarkan tangannya berdansa di atas keyboard laptopnya. Fokus sembari sesekali menjawab seadanya beberapa pertanyaan dari Nara.

“Parah. Macet parah. Kapan sih ini kota gak macet?” Angga sudah tiba dengan omelannya yang biasa. Hanya ditanggapi Nara dengan ocehan pelannya yang mengatakan soal ‘kalau pemerintah sudah bersih’ atau semacamnya. Gio sendiri hanya tertawa kecil.

Saat seperti ini mereka bertemu. Ketika kedua temannya pulang dari tempat mereka bekerja sementara dirinya sendiri tengah bekerja. Gio bekerja kapan saja. Dimana saja. Terlebih lagi kalau jadwal waktu yang diberikan olehnya untuk menulis satu cerita baru sudah datang. Dia hanya bisa menggerutu pelan dan menulis kapanpun dia bisa. Kadang malah, pemuda itu lupa untuk makan. Saat seperti itu, dua temannya akan mengajaknya bekerja sembari makan.

“Jadi, kali ini kapan deadlinenya?” Tanya Nara, sembari menyeruput cappuccino pesanannya.

“Seminggu lagi,” dibalas oleh Gio tanpa menoleh. Matanya masih fokus pada monitor.

“Terus udah sejauh mana lo sama novel yang ini?” giliran Angga yang bertanya.

“…masih ada beberapa bab lagi.”

“…”

“…”

“Apa?”

“Lo kapan berubahnya sih?”

“Udah dibilangin juga  selesaiin sebelum waktunya ngedesak lo.”

Gio mendelik kesal pada dua temannya.

“Kalian pada gak tahu sih gimana rasanya nulis itu. Perlu mood biar tulisannya gak hambar kayak teh buatan lo, Ga.”

“…sialan lo. Gak hambar-hambar amat kali.”

“Iya. Asin doang kalo lo salah masukin garem. Hahaha.” Nara tertawa lepas. Saat seperti ini Gio bisa tertawa. Meski kesibukannya tidak terlihat, menjadi penulis sebenarnya punya permasalahan tersendiri. Kadang, ketika mereka bertemu seperti ini, dia bisa mendengarkan keluhan demi keluhan yang diceritakan oleh temannya mengenai tempat kerjanya. Itu saja sebenarnya sudah lebih dari cukup. Dia bisa membayangkan seperti apa suasana kantor mereka. Bagaimana Nara ketika tidak betah, bagaimana Dewi menceritakan soal Nina dan bosnya yang dipanggil Mak lampir, atau Angga yang nekat bermain game eroge dan akhirnya masuk ruangan bosnya.

Seperti itu. Mereka sama. Apapun pekerjaannya, semua punya masalah masing-masing. Punya suasana, tingkat stress, dan volume pekerjaan yang berbeda-beda.

Tapi pada intinya, mereka sama.

Sama dalam artian tersendiri.

[Chain Fiction Project] At WorkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang