Sebuah kafe di suatu tempat, yang menjadi pilihan kaum menengah—benar-benar menengah; dibilang kekurangan, tidak. Kaya? Bisa jadi, karena harga-harga yang disajikan di sini tergolong mahal namun masih standar harga kafe-kafe di perkotaan. Siapa yang rela mencabut lembaran bergambar pahlawan-pahlawan Indonesia dari dompet setiap harinya demi menikmati makanan-minuman yang, mungkin, total harganya setara dengan anggaran paket internet untuk ponsel pintar mereka setiap bulannya hanya untuk satu kunjungan ke kafe ini?
Yang di meja nomor tiga itu, misalnya. Empat lelaki yang mengenakan kemeja dan lengan tergulung, dua di antaranya berkacamata, dengan potongan gaya yang menunjukkan usia menjelang tiga puluh. Pesanannya tidak banyak, hanya empat gelas kopi sesuai selera masing-masing, dua piring pasta, satu piring kentang dan bistik daging sapi, dan satu salad—entah yang terakhir itu sedang diet ataukah seorang vegetarian. Nyaris satu jam mereka habiskan waktu di kafe ini, membicarakan hal-hal yang sebenarnya mungkin tidak ada hubungannya dengan pekerjaan—seandainya mereka benar-benar bukan wartawan olahraga, presenter acara olahraga, atau komentator sepak bola. Tapi melihat penampilan mereka, rasanya tidak mungkin pekerjaan mereka adalah salah satu dari ketiganya.
Dan di meja nomor enam dan tujuh—ah, mereka yang meminta agar dua meja itu didekatkan tadi. Delapan orang wanita dengan setelan kantoran; rok span, kemeja, dan beberapa yang mengenakan blazer. Tampaknya variasi umurnya lebih banyak, dapat dilihat dari bagaimana cara berdandan mereka. Yang wajahnya hampir tidak ada pulasan kosmetik itu—kalau lip gloss tidak dihitung kosmetik, mungkin orang baru. Yang mengenakan lipstik warna merah muda itu, mungkin usianya dua puluh empat-dua puluh lima. Dan mungkin yang paling tua berusia lebih dari tiga puluh, tapi tidak lebih dari tiga puluh tiga. Obrolan mereka pun tak kalah seru, pun topiknya variatif. Mulai dari sesama karyawan, atasan yang semaunya sendiri, OB yang sering jadi sasaran keisengan, gaya berpakaian, merk toko ternama, dan entah topik-topik minor apa yang terselip di tengah obrolan mereka. Teman bincang sore kali itu adalah pasta, iga bakar, dan teh atau sari buah sebagai pendampingnya. Saking serunya, rasanya makanan itu tidak sampai lima belas menit telah tandas.
"Dua platter," dua piring besar berisi kentang goreng, sosis sapi goreng, dan nugget ayam berpindah dari nampan ke meja para wanita itu, "satu steak ayam," satu piring berpindah, "untuk minumannya mohon ditunggu sebentar, ya. Terima kasih." Senyum terulas di bibir pramusaji yang akhirnya lengan kirinya terbebas dari beban ketika menaruh sajian-sajian tersebut di meja. Masih ada beberapa minuman yang harus diantarnya ke meja yang sama. Sepertinya mereka memutuskan untuk menambah cemilan karena masih banyak stok bahan rumpi untuk sore itu.
"Hei, populer," sahut seseorang dari batas dapur dan ruang pelanggan kafe. Sang pramusaji menoleh dan mendapati beberapa hidangan yang harus segera diantarnya lagi.
"Apaan, sih, Ren," tukas pramusaji itu sambil nyengir. "Siapa yang populer."
"Lho, bener, kan? Kalo enggak, ngapain juga cewek-cewek yang di meja situ sering ke sini sejak lo masuk. Pada ngincer lo, tuh. Ati-ati ya, bro," demikian pesan sang juru masak bernama Reno itu, kemudian kembali berkutat dengan penggorengan.
"Anjirlah, yang bener aja," bantah pemuda berusia dua puluh dua tahun tersebut tanpa menghilangkan cengirannya, kemudian menata pesanan-pesanan di nampan. Untuk yang duduk di meja tinggi.
Yang berada di meja tinggi dan belum mendapat pesanannya, seorang wanita kantoran, dahinya beradu dengan meja. "Permisi," ucapnya terlebih dulu, agar wanita itu menyadari kedatangannya dan memberi ruang bagi pesanannya. "Mie hotplate sapi lada hitam," ucapnya sambil meletakkan piring hitam panas berisi mie dengan sapi lada hitam yang uapnya tampak tebal mengepul, tak lupa memberi pesan, "hati-hati, piringnya sangat panas." Antisipasi kalau pelanggan lupa mereka memesan hidangan hotplate.