"Terima kasih dan maafkan aku Callum." Kataku penuh rasa syukur. "Aku sungguh tidak enak padamu. Dihari keduaku, aku sudah mengambil cuti karena ada urusan mendadak. Sampai jumpa besok di kantor. Bye."
Aku mematikan teleponku dan menatap Brian yang sedang melihat ruangan apartemenku dengan santai.
Mengabaikannya, aku menatap ke arah Siska yang hanya menatapku dalam diam. Kedua matanya masih menatapku dengan panik sejak aku membuka pintu—dan semakin panik ketika aku membiarkan Brian dan dirinya masuk ke dalam apartemenku.
"Tidak buruk." Brian berkomentar. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya. "Pilihan kakakku terhadap apartemen ini tidak terlalu buruk."
Aku hanya memutar kedua bola mataku sebagai respon dan berjalan menghampiri Siska. "Kau tidak apa-apa?" tanyaku terhadap Siska yang hanya terus menatapku tanpa memberikan jawaban.
Keningku berkerut dan menyentuh lengannya untuk memastikan. "Hei—" ucapanku terhenti ketika menyadari lengannya yang terasa kaku di bawah telapak tanganku. Apa yang telah dilakukan oleh Brian terhadapnya?
"Abaikan saja." Komentar Brian di belakangku. "Urusanmu itu denganku, bukan dengannya."
Aku mengembuskan napasku dan menatap Brian yang kini sudah duduk di depan TV.
"Apa yang kau lakukan terhadap Siska?" tanyaku kesal. "Mengapa dia tidak bisa berbicara? Mengapa tubuhnya terasa kaku ketika aku menyentuhnya?"
Brian hanya menelengkan kepalanya ke arah kanan dan tersenyum kepadaku. "Dia akan kembali berbicara dan bergerak ketika urusan kita selesai. Aku melakukan itu agar dia tidak mengganggu kita dengan mengadukan ini semua terhadap kakakku."
"Baik, mari selesaikan urusan kita." Putusku seraya berjalan menghampirinya dan duduk di hadapannya. "Jadi, ada apa kau datang menemuiku?"
"Kau pasti tahu jika aku membenci kakakku, bukan?" Tanyanya yang kubalas dengan anggukan di kepalaku. "Dia membunuh kekasihku."
Oke, harus kuakui ketika mendengar ucapannya, jantungku sempat berhenti beberapa detik.
"Dan kau ingin membunuhku sebagai balasannya?" Tebakku.
Brian menggelengkan kepalanya. "Apa serunya jika aku langsung membunuhmu?" tanyanya balik seraya tertawa kecil.
"Aku ingin dia menderita secara perlahan." Lanjutnya. "Aku ingin kau menjadi kekasihku."
Aku terdiam mendengar ucapannya. Berharap jika apa yang dia katakan hanyalah sebuah guyonan semata. Namun, detik terus berlalu dan Brian masih tetap menjaga tatapan matanya terhadapku. Membuatku tidak tahan untuk tertawa akan ucapannya.
"Maaf sekali." Kataku disela tawaku. "Kau pasti bercanda, kan? Maksudku, jika semudah itu untuk berpisah dengan Kevin, tanpa menjadi kekasihmu, aku pasti sudah meninggalkannya. Siapa yang mau punya kekasih gila seperti kakakmu? Jika pun ada, yang jelas bukan aku."
"Karena hanya aku yang bisa membantumu untuk lepas dari Kevin."
Aku menaikkan kedua alisku, mulai tertarik dengan tawarannya. "Benarkah?" Brian menganggukan kepalanya. "Tapi... apa kau bisa menjamin jika aku akan selamat? Kau tahu sendiri kalau kelakuan kakakmu itu gila. Aku tidak mau pergi meninggalkannya jika kau tidak bisa menjamin keselamatanku."
"Aku akan mengusahakannya."
Aku melotot mendengar ucapannya. "Mengusahakan berarti kau tidak bisa menjaminnya! Masih akan ada kesempatan untuk Kevin menangkap dan menyiksaku karena telah meninggalkannya demi kau!" Aku menggelengkan kepalaku. "Rupanya kau dan kakakmu sama-sama tidak waras."
Brian tertawa mendengar ucapanku. "Aku menyukaimu. Kau lucu."
"Tolong jangan menyukaiku." Tolakku dengan halus. "Menghadapi satu iblis seperti kakakmu saja sudah membuatku lelah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marked ✔
FantasyGenre: fantasy *** Semua impianku untuk hidup normal untuk bekerja, berkencan, menikah, dan memiliki keluarga yang harmonis seketika hancur setelah aku bertemu dengannya. "You are my mate and I have been waiting for a very long time to meet you." Se...