14th of September, 1991
Slytherin Dorm
Dua minggu berlalu sejak Harry pertama kali menginjakkan kakinya di Sekolah Sihir Hogwarts. Kelas berjalan dengan lancar dan tidak ada insiden terjadi sejauh ini. Mungkin ia mendengar beberapa ejekan dilontarkan kepadanya oleh beberapa anak, tapi Harry tidak mendengarkan mereka. Masa bodo.
Mereka tidak mengenalnya dengan baik, dan bahkan beberapa anak tidak Harry kenal namanya. Buat apa repot?
Tapi pagi ini, di hari Sabtu yang bisa dibilang cerah, Harry terbangun dari mimpi buruk.
Terengah-engah, Harry menutup matanya dan menaikkan tangannya ke wajahnya. Menarik nafas dalam-dalam, Harry mengusap keringat yang turun di sepanjang pipinya.Mimpinya...
Kejadian itu terjadi empat tahun yang lalu... tapi kenapa ia masih memimpikannya?
Harry mengeluarkan nafasnya, gemetar sedikit. Ia menarik kedua kakinya dan memposisikannya di depan dadanya, dan melingkarkan lengan di sekitar lututnya. Selimut ia naikkan sampai leher, dan ia bisa merasakan tubuhnya bergetar.Menutup matanya erat-erat, ia berusaha menghilangkan gambar-gambar yang terus muncul di ingatannya... gambar-gambar yang ia, dengan susah payah, ingin lupakan.
Ia bisa merasakan seseorang menghampirinya, dan tubuhnya menegang dengan sendirinya. Tapi kemudian, sebuah tangan menghampiri pundaknya dan entah bagaimana ia tahu milik siapa tangan itu, dan ia relaks sedikit. Bisa ia rasakan Blaise duduk di belakangnya, tangannya mengusap pundaknya perlahan, menenangkan. Harry menarik nafas dalam-dalam, menenangkan emosinya.
Setelah beberapa saat, Harry akhirnya bisa mengendalikan nafasnyan menjadi lebih teratur dan ia mendongak, menoleh ke belakang.
Ia tersenyum lemah ketika kedua mata emerlads-nya menemukan mata cemas roomate- nya itu. "Thanks..."
"No prob." Blaise kemudian terdiam, lalu berkata hati-hati, "wanna talk about it?"
Harry terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. Ia mungkin sudah mempercayai Blaise... tapi tidak sampai tingkatan di mana ia merasa nyaman membicarakan masa lalunya, terutama traumanya. Lagi pula hal itu wajar, mengingat ia baru mengenal Blaise kurang lebih dua minggu.
...well, kalau tidak menghitung beberapa kali mereka bertemu dengan tidak sengaja. Tapi bukan berarti Harry, walau merasa nyaman dengan Blaise, bisa mempercayainya sepenuhnya, sampai ke emosinya.
Mereka terdiam di posisi itu sampai mata Harry mulai mengantuk, dan ia meraih tongkat sihirnya dan bergumam "Tempus" dan waktu menunjukkan pukul dua dini hari.
Oh well, masih banyak waktu baginya untuk tidur.
Perlahan, matanya menutup, tidak menyadari bahwa Blaise, di belakangnya, perlahan-lahan menyenderkan tubuhnya sampai benar-benar terlentang di tempat tidurnya, atau saat Blaise menyelimutinya dengan selimut yang terjatuh.
Esoknya, Harry masih bisa tampil seperti biasa walau sebenarnya, dalam hati ia bisa merasakan dirinya kecapekan. Walau begitu, ia masih tetap belajar seperti biasa, mengerjakan tugas-tugasnya sebaik yang ia bisa -dengan kata lain, mendekati 'sempurna'. Tapi ia tahu Blaise memperhatikannya, dan entah mengapa ia takut kalau 'topeng'nya terbuka sedikit.
Tapi ia mengikuti kata pikirannya dan mengabaikannya. Untunglah, atau sayangnya, dilihat dari sudut pandang siapa, 'topeng'-nya sedikit retak.
Ini hari kelima, dan Harry sama sekali tidak mendapatkan istirahat yang cukup. Sudah mulai ada kantung mata di bawah matanya, tapi ketika Tracey atau Daphne menanyakannya, ia hanya bilang bahwa ia kurang tidur. Ia memang kurang tidur, dan tidur yang ia dapatkan tidak menyamankannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight Shadow
FanfictionScarletSky153 Ditinggal di sebuah gang kumuh pada usia empat tahun, Harry Potter diadopsi oleh Pemimpin Mafia Eropa. Bagaimana Hogwarts dan Dunia Sihir menghadapi Harry Potter yang berbeda dari sosok yang mereka bayangkan? Full Summary inside! Slo...