are we still friends?

488 61 1
                                    

Motor Billy berhenti tepat di depan sekolahku. Aku hanya bisa melambai tangan tanpa mengucap kata terima kasih.

Billy kecil sekarang sudah dewasa. Dia seorang mahasiswa jurusan musik di universitas Rajawali yang hanya berjarak beberapa meter dari sekolahku.

Dia sangat berbeda, tingginya melebihi teman lelaki di kelasku, matanya itu masih berbinar seperti dulunya. Entah mengapa walau dengan fisik yang berbeda aku masih bisa mengenali sosok teman kecilku dalam dirinya.

"Woy, udah masuk. Masih aja ngelamun" suara pria ini, aku masih mengenalinya.

"Hey!" Teriak Jonathan berusaha menyadarkanku.

"Oh i-iya. M-makasih" jawabku dengan wajah yang memerah dihadapan seorang mantan.

Aku berjalan ke kelas dan kami berdampingan, maksudku Jonathan dan aku.

Banyak mata mengarah pada kami, seakan kami sorotan utama dalam tatapan mereka.
Bisikan mereka bisa kudengar. Mereka balikan? Jonathan jadian sama Jenile? Semuanya dapat kudengar.

"Gak usah ditanggepin. Jalan aja" ujar Jonathan berusaha mencairkan suasana memalukan ini.

Aku menuruti katanya. Kami sampai di kelas dan tak menghiraukan orang-orang. Ini adalah pertama kalinya kami berjalan berdampingan sebagai mantan kekasih. Sebenarnya sering sekali kami berjalan bersama bahkan saling menggenggam tangan, itu dulu. Saat aku masih berstatus pacaran dengan Jonathan. Yang Aku rasakan kini hanya malu dengannya.

Seusai sekolah aku lagi-lagi harus naik taksi. Saat aku hendak menaiki kendaraan itu, suara yang ku kenali memanggil namaku dengan sebutan Darren. Yang aku tahu hanya satu orang yang berani memanggilku dengan sebutan itu, dia Billy.

"Ayo naik!" Billy menarikku untuk pulang dengannya.

Tanpa malu-malu aku Langsung saja berjalan mengikuti arah Billy Andrew berjalan.
Ia pun menyalakan mesin motornya dan mengarah pulang.

"Bill, kamu anggap aku apa sekarang?" Tanyaku malu-malu

"Bukan apa-apa" jawabnya dengan suara rendah.

Hatiku terasa sakit, seperti Sebuah peluruh menancapnya. Mungkin terlalu lebay. Tapi, bagaimana rasanya jika satu-satunya temanmu berkata demikian.
Sesampainya di rumah, dengan kesal aku langsung meninggalkan Billy dan memberikannya seucap kata

"Jahat!"

Dia bahkan tak ingin bertemu denganku, tapi aku terus berpikiran kalau dia masih saja menganggap ku sebagai seorang teman. Ini menyakitkan harusnya aku sudah tahu itu pada saat dia pindah 9 tahun yang lalu, kalau kami bukan teman lagi.

Aku menghampiri Mama yang sedang asik memasak. Mama membuat ayam goreng tepung dengan porsi yang sangat banyak. Biasanya Mama hanya memasak dengan porsi sedikit cukup untukku, papa dan dirinya.

"Hun, bawakin ini ke rumah Tante Rose." Ucap Mama menodongkan piring dengan ayam goreng tepung yang dimasak olehnya.

Untuk ayam sebanyak ini, Billy dan ibunya pasti takkan menghabiskannya dalam sehari. Bill hanya tinggal dengan ibunya, ayahnya bekerja diluar kota. Ayam ini lebih dari cukup.

Dengan berat hati aku menuruti permintaan Mama dan membawa ayam ini ke rumah Billy.

Sambil memegang piring di tangan kiriku, aku mengetuk pintu rumah Billy. Beberapa menit kemudian seseorang membuka pintu. Tebak siapa? Ya, itu Billy mantan temanku.

"Mama nggak ada, balik aja nanti" ujar Billy kasar.

"No, aku bakal nunggu Tante Rose di dalam!"

Kedengarannya tak sopan, seorang tetangga memaksa masuk ke rumah seorang tetangga. Namun aku tak ambil pusing aku langsung duduk ke sofa empuk di ruang tamu.

"Dulu aku sering main disini, nggak masalahkan kalo aku keliling-keliling?" Tanyaku yang penasaran ingin melihat-lihat.

"Asal jangan ganggu aku" ujar Bill yang tampak tidak keberatan.

Bill masuk ke kamarnya, sedangkan aku langsung naik ke lantai dua rumahnya. Ternyata tidak banyak yang berubah, furnitur di ruang keluarganya masih tertata seperti dulu. Aku senang melihat hal-hal dirumah ini.

Tiba-tiba saja perutku sakit, aku rasa aku harus ke toilet.
Aku berjalan menuju kamar kecil yang berada tepat di sebelah kamar Billy. Kutarik tuas pintu, tapi pintu tak terbuka sedikitpun. Ya Tuhan, aku harus segera ke toilet.

Perutku tambah sakit. aku mau poop. Tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke kamar Billy dan menggunakan kamar kecil miliknya.

Perutku lega sehabis buang hajat. Tapi, kini yang tak enak rasanya adalah perasaanku. Terdengar bunyi tarikan pintu dari kamar Billy. Oh my God kataku dalam hati.

Dengan pelan-pelan aku berjalan keluar agar Bill tidak menyadari keberadaan ku.

"Stop!"

Aku memalingkan wajah dan mendapati Billy sedang duduk di kursi kayu miliknya.

"I can explain this-" mataku memberi tatapan pengasihan

Billy berjalan ke arahku berdiri dengan matanya yang menyipit. Please jangan marah hanya itu yang ku katakan dalam benakku.

kini jarak diantara aku dan Billy sangat dekat tinggal 15cm wajahnya menepel diwajahku. Dia mendekatkan lagi wajahnya kira-kira 5cm kearahku. Jantungku berdebar sangat kencang, wajahku seperti udang rebus, sangat merah.

"Bill..." Alis mataku terangkat

Aku menutup mataku, mengepal kedua tanganku mengambil ancang-ancang jika dia berbuat hal yang tidak senonoh.

Aku mengintip kecil. Apa yang dilakukannya?
Yang kulihat adalah Bill yang terbahak-bahak melihat wajahku. ini?

"Ngeres ihh.. itu ada kotoran dimuka kamu. Aku pikir itu kotoranmu" dia melanjutkan tawanya sambil memegangi perut nya yang geli dengan kelakuan ku.

Aku memukul pundaknya dengan raut wajah sebal. Tak tahan malu aku langsung saja lari pulang ke rumah.
Apa yang kamu pikirkan Jenile?

Dating BillyBoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang