the unspoken word (Billy story)

343 46 1
                                    

Malam ini aku akan mengajak Jen menonton pertunjukan bandku. Mungkin dia tak begitu menyukai diriku yang sekarang dan itu membuatku sedikit mengambil jarak darinya.

Jam 06.00 malam, aku sudah selesai menyegarkan diriku. Dengan handuk berbalut di pinggangku, aku membongkar isi lemariku. Aku kebingungan mencari pakaian yang cocok untukku. Padahal aku tak pernah kebingungan akan hal semacam ini sebelumnya. Hanya saja malam ini ada seseorang yang akan bersamaku, Jenile Darren.

Pukul 6.45 aku sudah menunggu di halaman rumahnya. Aku rasa aku terlalu terburu-buru. Ini pertama kalinya aku datang lebih awal pada sebuah janjian.

Aku sedang memikirkan kata-kata apa yang harusku ucapkan saat menyapanya. Tiba-tiba aku yang asik bersandar sambil memikul gitar terkejut melihat sosok wanita berdiri di belakangku

"Gosh.. kayak hantu aja ngagetin!" Ujarku yang sebelumnya terkejut sampai mengambil langkah mundur

Dia hanya tertawa " Hai! Langsung aja yuk".

Diperjalanan aku hanya berpikir. Harusnya aku menyapanya agar terlihat keren.

Dia hanya diam. Mungkinkah dia membenciku?
Aku jadi mati kutu untuk berbicara. Nanti saja saat di kafe.

Aku sedang memainkan beberapa lagu, di ujung sana seorang wanita duduk tanpa menatapku. Pandanganku terpaku padanya. Ya, sepertinya dia membenciku

Aku kelelahan berdiri berjam-jam. Langsung saja aku duduk dan bersandar di kursi yang disampingnya adalah kursi milik Jenile. Aku yang tersandar di kursi melihat pakaian yang dikenakan Jeni terlalu terbuka.

Jeni, apakah kau tak punya baju yang lebih bagus lagi?

Aku memakaikan jaket kulitku agar dia tak kedinginan dan bolongan di bajunya bisa ditutupi

Kami banyak bercerita, aku senang melihat senyumnya lagi. Ternyata dia tidak membenciku. Tapi untuk berteman dengannya lagi, aku belum yakin.

Belum lama aku berbincang dengan Jeni. Tiba-tiba seseorang datang menghampiriku.

"Billy, aku duduk disini ya"

Namanya Fany, teman SMA ku. Dia mengidap penyakit leukimia (kanker darah). Dia pandai bernyanyi. Namun, semangatnya sudah lumpuh akibat penyakitnya.
Aku berhasil memastikan Fanny untuk bernyanyi kembali, sehingga aku membentuk band kecil ini untuk menyemangati dirinya kembali.

Pandanganku tak lepas dari Jenile, dia tampak asik berbicara dengan Rangga. Kenapa hatiku terbakar?

"Billy? Hey? Denger gak tadi?" Fanny berbicara padaku yang tak fokus padanya

"Oh i-iya, aku denger." Balasku yang sebenarnya tak mendengar ucapan Fanny.

Tiba-tiba wajah Fanny tampak pucat bagai kertas HVS.

Bruk...
Fanny pingsan dan jatuh.

Tanpa banyak pikir aku yang cemas ini langsung menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit mengendarai mobil milik Kevin.

Aku terus menunggu Fanny diruang darurat. Kedua orang tua Fanny keluar dari ruang itu dan langsung menghampiriku

"Billy, Fanny ingin ketemu kamu." Ucap ibunya

Aku masuk ke ruang darurat dan mendapati Fanny diinfus dan tergeletak lemah.

Fanny menggenggam tanganku.

" Billy, kamu sama Jenile nggak bakalan pacaran kan? Kamu cuma sayang sama aku kan?" Tanya Fanny memelas.

Aku hanya diam dan mastikan apakah aku bisa melakukannya?

"You promise me. Di cafe tadi kan kamu bilang iya!" Sentak Fanny

"Fan-"

Belum sampai aku selesai berkata, orang tuanya mendapati kami sedang serius berbicara.

"Billy, kamu pulang aja. Biar Om dan Tante yang jagain Fanny"

Sesudah berpamitan aku langsung menuju kafe.

Pukul menunjukan 00.16
Jeni tak terlihat dikafe. Aku mengembalikan kunci mobil milik Kevin.

Pagi ini aku harus bangun lebih awal untuk pergi ke kampus. Sebenarnya aku masih larut dalam kelelahan, tapi apa boleh buat aku harus mengambil absen.

Kediaman Jenile terlihat sepi, mungkin dia berangkat lebih awal pagi hari ini.

Ring..ring..ring..
Telpon genggam ku bergetar. Ternyata Mama yang menelpon.

Billy: ya ma
Mama: Bill, kamu bisa nggak liatin Jenile. Katanya dia sakit. Mama lagi ada arisan dirumah Tante Mery
Billy: kok bisa ma? Yaudah Billy kesana ya.

Banyak notif yang yang belum ku lihat. Ternyata 9 panggilan tidak terjawab dari Jenile malam kemarin.

Semalam aku tak terpikir melihat telpon genggam ku. Aku bahkan tidak mengantarnya pulang, sekarang dia sakit karna ulahku

Aku jadi khawatir. Tanpa mengambil absen lagi, aku langsung bergegas ke rumah Jenile. Itu yang lebih penting.

Tok..tok..tok
Aku mengetuk pintu putih dari kayu jati itu.

Jenile membuka pintu dan penampilannya menunjukan dia sakit flu.

Tunggu sebentar, apakah hidung yang sedang flu berwarna pink dengan manik-manik bertebaran di permukaan wajahnya?

"Here's for you" kataku sambil mengulurkan tas plastik berisi bubur ayam.

"Taruh di meja, aku mau ke kamar."

"Nggak. Aku mau cerita dulu. Kamu diem disini" sambungku sambil menahan lengannya.

"Kamu egois banget jadi orang. Kamu ninggalin aku nggak masalah, sekarang aku mau keatas aja kamu nggak ngizinin." Bantahnya

"Aku beneran minta maaf. Fanny tuh lagi sakit. Coba yang pingsan temen kamu. Pasti kamu langsung pergi juga kan?" Jelasku dengan wajah pengasihan

"Tapi aku nggak bakal ninggalin kayak gitu aja, ngomong kek, paling nggak angkat telpon aku" sahutnya sambil menyilangkan kedua tangan

"Jen, Fanny tu berarti buatku"

Wajahnya mengerut, sepertinya dia tak ingin mendengar hal tadi.

" Berbeda? Gimana dengan aku?" Suaranya kecil namun masih bisa terdengar

"Maksud kamu apa Jen?" Tanyaku memastikan ucapannya

"Nggak maksud a-aku-" jelas Jenile terbata-bata

Tiba-tiba yang terpikir olehku adalah nama Fanny. Janjinya memberatkan hatiku untuk memastikan perasaan Jen terhadapku.

"Jen, jangan simpan perasaan untukku"

Sekarang aku membuatnya menangis. Tapi, kenapa dia sedih mendengar ucapanku?

"Jen, are you okay?" Tanyaku heran

"What? Aku nggak punya perasaan apa-apa. Lagian kamu kegeeran sih" desisnya sambil menahan tangis di wajahnya

"Aku mau istirahat kamu pulang aja." Ujarnya sambil menutup pintu dengan halus mengusirku.

Aku menapaki jalan sepanjang 10 meter ke rumahku dengan merundukan kepalaku.

Aku tak bermaksud melukai perasaan Jen. Mengingat namanya saja aku serba salah. Tapi, Aku harus menuruti permintaan Fanny setidaknya sampai dia membaik. Mungkin itu yang terbaik.

Tetapi mengapa hatiku sedih saat aku mengatakan itu? Kenapa harus Jeni yang meneteskan air mata?

Apa yang sebenarnya kurasakan?

Dating BillyBoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang