Si Manja Berulah

3.5K 69 2
                                    

Aku tengah sibuk menyusun menu sehari untuk kasus yang baru saja diberikan sebagai tugas oleh Ibu Rita, salah satu dosen yang masuk kategori PERTU a.k.a PERAWAN TUA. Tahu kan gimana sensitifnya perawan tua? Apapun yang kita lakukan dan ucapkan selalu salah dimatanya. Apalagi kalo kamu itu makhluk bernama perempuan, masih muda plus cantik! Akan selalu jadi sasaran empuknya.

Sebagai calon Sarjana Gizi, aku harus terampil dalam hal dasar semacam ini. Tapi... pasien struk, dengan komplikasi dislipidemia, hipertensi dan gagal ginjal ini harus kuberikan makanan bagaimana macam rupa? Karena struk dan dislipidemia, aku tidak boleh memberikan makanan tinggi lemak. Dia juga hipertensi jadi tidak boleh kuberikan makanan tinggi natrium. Juga, kenapa dia harus gagal ginjal? Dengan begitu aku tidak boleh memberikannya tinggi protein, sedangkan dia butuh protein yang cukup tinggi untuk mempercepat luka di kakinya karena kecelakaan? Argh... kasus ini membuatku frustasi meskipun hanya sekedar rekayasa. Tinggal tunggu malaikat Izrail melakukan tugasnya. Aku curiga ibu Rita sebenarnya mau membuatku cepat tua seperti dirinya.

Belum lagi, ponselku terus berdering. Ini sudah yang ke sepuluh kalinya. Penelponnya orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Rendratama Tanjung? Orang yang paling kukuh untuk terus menelponku meski tak dijawab. Dasar laki-laki egois. Manja, tukang marah-marah. Jangan tertipu dengan wajah innoncent seorang Rendratama. Aku salah satu korbannya.

"Hal-"

"Hei! Kamu tahu berapa kali aku telpon kamu?! Apa ada yang lebih penting daripada pacar kamu?!" Rendra setengah berteriak di sana bahkan sebelum aku menyelesaikan kata halo. Tuh kan? Egoisnya langsung muncul. Dia lebih sering marah dan berteriak saat telpon, daripada mengucapkan halo terlebih dahulu. Dan, jangan bertanya bagaimana kami bisa jadian. Aku tak mau bercerita. Sungguh!

"Tentu saja ada, Rendratama! Tugas yang tengah aku kerjakan ini adalah masa depanku. Jadi jangan terlalu banyak protes, oke?" tekanku.

"Apa aku ini bukan masa depanmu? Berhentilah kuliah, toh saat kita berumah tangga aku yang akan bekerja." Apa? Berhenti kuliah? Dia pikir kuliah ini seperti permainan bisa berhenti seenaknya? Aku adalah wanita yang sangat menjunjung tinggi pendidikan. Anak-anak berakhlak mulia dan cerdas itu dilahirkan dari rahim seorang ibu berpendidikan. Dan itu cita-citaku, punya anak yang berakhlak baik dan cerdas. Tapi kalo bapaknya Rendratama, aku sangat meragukan kualitas anakku.

"Bah? Berumah tangga? Kamu yakin akan menikah denganku?" Tanyaku mencoba meyakinkan.

"Iya. Kenapa? Kamu tidak mau menikah denganku?" Sinisnya. Pasti dia sudah mencak-mencak di sana.

"Aku sih mau menikah kak Leon," Jawabku asal, bermaksud membuatnya emosi. Leon adalah kakak tingkatku, sekaligus musuh bebuyutan  Rendra. Padahal kami tidak ada hubungan  apa-apa, kecuali senior-junior. Aku pun hanya simpati  padanya, tidak ada rasa suka. Tapi aku suka sekali membuatnya marah, dan kak Leon adalah pemicu paling besar kemarahan Rendra. Cowok itu, paling imut kalo lagi marah. Telinga layarnya akan merah, dan gigi kelincinya akan terus tampak. Pokoknya imut sekali!

"Gue bakal bunuh dia pas lo berdua beneran nikah." Desisnya sarkartik. Seperti kebiasaan, jika dia benar-benar marah, maka bahasa 'lo-gue' akan segera meluncur dari mulut tajamnya.

"Aku kan bisa nikah diam-diam sama kak Leon," kataku menambah bumbu-bumbu amarahnya.

"Kalau begitu gue bakal bunuh dia sekarang juga. Kamu puas?" ancamnya dengan nada sinis. Aku hanya tertawa geli mendengar ancaman kelas terinya. Mana berani dia  bunuh orang? Liat darah setitik aja hampir pingsan. Kamu pencemburu kelas berat Rendra. Tapi itu yang buat aku makin sayang sama kamu ♥️

"Ya, udaahhh... Kamu ngapain telpon? Kalau nggak penting matiin aja, aku mau lanjut kerja tugas," Kataku mencoba menengahi pertengkaran dengan si bocah.

"Cepat ke apartemen aku, sekarang. 30 menit udah harus sampai," ujarnya tidak mau tahu.

"30 menit? Sekarang? Kamu pikir aku ini punya baling-baling bambu? Ngomong seenak udel kamu," seruku kesal. Naik bis saja menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sampai ke apartemennya.

"Pokoknya aku enggak mau tahu, Nin. Kalau kamu enggak datang sekaramg, aku enggak mau ngomong sama kamu lagi. SE-LA-MA-NYA," Huh? Dia pikir aku ini cemen sama ancaman receh macam itu?

"Ya udah, kalo gitu mulai sekarang kita nggak usah ngomong. Matiin aja telpon kamu sekarang, karena aku nggak akan datang." Jawabku enteng.

"Apa? Kamu nantang aku nih, ceritanya?"

"Enggak, kok. Bukannya kamu yang ngancam aku duluan?" Aku tidak boleh kalah dari si manja.

Aku mendengar Rendra menghela napas pelan, kayaknya dia bakal mengalah.

"Iya, deh. Lupakan ancaman tadi. Tapi, kamu harus datang sekarang," Rendra sedikit melunak, namun tetap terdengar bossy. Dasar...

"Buat alasan yang kuat supaya aku mau ke sana, dan tinggalin tugasku yang sebentar lagi harus dikumpul."

"Aku lagi sakit dan enggak ada orang di apartemen. Anak-anak lagi pada main ke GI," Jawab Rendra dengan suara yang sedikit bergumam.

"Aku udah bosan sama alasan klasik kamu," Dia selalu menggunakan alasan sakit agar aku datang ke apartemenny. Tapi, ketika aku datang dengan panik dan terburu-buru, dia selalu dalam keadaan sangat sehat. Entah itu lagi nonton cuman pake boxer sama kutang, atau lagi main PS sama anggota band-nya. Benar-benar membuatku dongkol setengah mati, padahal aku khawatir sekali.

"Aku benaran sakit kali ini," katanya setengah berteriak.

"Kalau kamu beneran sakit, kamu enggak mungkin bisa berteriak sekeras ini," sengitku.

"Apa saat aku udah mati karena penyakit ini baru kamu percaya?"

"Kamu selalu berbohong padaku. Jadi bagaimana aku bisa percaya sama kamu?"

"Pokoknya kali ini kamu harus percaya sama aku. Aku benar-" Rendra tak menyelesaikan kalimatnya. Kemudian, aku mendengar suara berisik sesaat, kemudian hening.

"Halo? Halo Ren? Kamu masih di sana?" Tidak ada jawaban sama sekali "kamu jangan bercanda! Aku gak bakal terpengaruh tauk!"

Aneh. Telponnya masih tersambung tapi dia tidak menjawab panggilanku. Apa yang terjadi sama Rendra? Apa dia baik-baik aja? Enggak! Ini pasti salah satu triknya, membuatku khawatir dan segera datang ke apartemen. Biarin aja dia. Paling dia hanya marah sebentar, kemudian segera baikan lagi. Tapi, tidak biasanya Rendra kayak gini. Apa aku datang saja, ya? Mungkin dia benar-benar sakit. Aih! Enggak bisa! Tugasku lebih penting sekarang. Kalo enggak kumpul sekarang, bisa-bisa aku ngulang mata kuliah ibu Rita. Aduh ampun-ampun cukup di semester ini aja sama si Pertu.

Aku pun memutuskan melanjutkan mengerjakan tugas meski masih penasaran. Tapi, meski aku mengerjakan tugas, yang ada dipikiranku hanya ada Rendra. Sekarang dia benar-benar membuatku khawatir, karena saat kulirik ponselku, waktunya masih berjalan yang berarti sambungan telpon kami belum terputus. Baiklah! Aku ke apartemen saja. Percuma melanjutkan tugas ini karena aku sudah tidak berkonsentrasi. Awas saja kalo kamu bohong Rendratama! Akan kubuat kamu botak permanen! Aku segera membereskan pekerjaanku dan berlari secepat yang aku bisa ke depan kampus dan segera mencari taksi.

*TBC

Selingan malam ~

DiarrheaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang