24 Maret 2019 - Shizuoka, Japan.
"Semuanya tidak semudah itu untuk diselidiki. Kita memang punya hipotesis jenius mengenai kasus ini, tapi sama saja jika kita tidak memiliki bukti, hipotesis kita tetap akan dianggap konyol," kataku pada pemuda keturunan Jepang itu. Aku sesekali melihat ke arahnya, dia tampak sedang berpikir dan tidak merespon perkataanku tadi. Benar, bukti adalah hal yang kami butuhkan sekarang. Aku tidak dapat menyangkalnya lagi.
"Kita pasti bisa mendapatkannya Mr. Clark. Anda tenang saja, kita berdua akan menyelidiki orang-orang tersebut. Kita sudah memiliki tersangka, sekarang hanya tentang bagaimana memancing mereka keluar dari sarang persembunyiannya." Jawaban yang sangat percaya diri. Dia tidak tampak sepertiku saat ini, lelaki paruh baya yang sudah putus asa, dia jauh berbeda.
Aku tersenyum. Kali ini aku sudah memfokuskan pandanganku ke depan, ke jalanan ramai di kota Shizuoka. Hari ini adalah akhir pekan, banyak orang-orang berkeliaran di jalanan baik menaiki kendaraan ataupun dengan berjalan kaki. Lalu lintas pastinya lebih padat daripada biasanya, walaupun Jepang termasuk negara dengan jumlah mobil yang tidak terlalu banyak. Bahkan sangat jauh jika dibandingkan dengan negaraku, Amerika.
Saat berada di jalanan lurus yang sepi kendaraan, aku memacu mobil sedanku sedikit lebih cepat. Kami ingin secepat mungkin sampai ke tempat tujuan dan melanjutkan penyelidikan kami. Ini bukanlah perkara yang mudah, terlebih hanya tinggal satu minggu sebelum deadline dan aku akan dianggap gagal dari misi kali ini.
Tiba-tiba, sebuah truk yang sedang melaju di arah yang berlawanan dengan mobil kami berbelok, berganti berada di jalur yang sama dengan kami. Aku sangat terkejut melihatnya, mataku membelalak melihat truk besar yang membawa gerbong sepanjang hampir belasan meter itu melaju di depan mobil kami. Truk tersebut melaju tak beraturan, seperti tak ada yang mengemudikannya.
"Mr. Clark! Truk itu!"
Kenzo berteriak di telingaku, aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Jarak antara kami sangat dekat, mengerem tidak akan memberikan hasil. Aku menatap wajah Kenzo sejenak, seolah ingin meminta pendapatnya. Tapi dia sama gelisahnya denganku,wajah seseorang yang ketakutan.
Aku menatap ke depan, tidak sampai sedetik setelah aku menatap wajah Kenzo. Keringat mulai bercucuran di dahi dan keningku. Dinginnya pendingin di mobil bahkan tak sanggup mencegah keluarnya keringat. Otakku yang dikatakan brilian pun seolah tidak mampu berpikir. Satu-satunya yang aku ketahui adalah aku akan mati jika tidak dapat menghindar. Aku melihat ke trotoar sejenak, banyak orang berada di sana, mereka ketakutan dengan truk yang melaju tak beraturan itu. Sangat berisiko menaikkan mobilku ke sana.
Sekali lagi aku melihat wajah Kenzo. Semuanya terjadi hanya dalam hitungan detik, bahkan sepersekian detik. Sejenak Kenzo tampak berpikir dengan tenang, tapi aku rasa pikiranku sama kacau dengannya.
"Lompat," kataku sembari melihat ke arah truk tersebut.
"Iya, lompat!" jawab Kenzo cepat. Pemuda Jepang ini sangat yakin mengatakannya. Seolah tidak ada keraguan di dalam pikirannya.
"LOMPAT!!" teriakku sembari membuka pintu kemudi mobilku. Aku tidak dapat berpikir apa-apa lagi. Aku langsung melompat keluar dari dalam mobil. Begitu pula Kenzo, aku melihat dia juga melompat keluar dari mobil bahkan lebih cepat dariku. Sedangkan mobil sedan putih kesayanganku melaju cepat ke arah depan. Kurang dari dua detik sebelum mereka saling bertabrakan.
Kenzo tampak sangat takut melihatnya, jarak kami dengan truk tersebut kurang dari sepuluh meter. Aku tidak dapat mengungkapkan rasa takutku. Saat ini yang kutahu hanya satu hal, aku masih harus lari, atau aku akan mati akibat bencana tak terduga ini. Dua detik pun berlalu, dan kedua kendaraan itu saling bertabrakan. Suaranya cukup keras untuk menyakiti gendang telingaku.
Kenzo dan aku saling bertatapan. Kami tahu bahwa masalah bencana ini masih akan berlanjut.
Satu bulan sebelumnya
24 Februari 2019, Virginia, US.
Aku adalah pria dengan pekerjaan membosankan, begitu pikirku. Tidak kusangka setelah puluhan tahun mengabdi sebagai agen lapangan di CIA aku harus diberhentikan bertugas di lapangan. Memang usiaku sudah sangat tua, tapi jiwaku adalah jiwa agen yang bertugas menangkap para penjahat, bukan duduk memberikan saran dan mengolah berkas-berkas di markas pusat.
Tapi itulah keseharianku sekarang. Aku bahkan sangat kesal dengan Sanchez, pria yang satu tahun di bawahku itu selalu mengejekku karena akhirnya aku diberhentikan juga sebagai agen yang bertugas di lapangan. Sama sepertiku, Sanchez sendiri sudah lima tahun tidak aktif bertugas di lapangan. Walaupun begitu, bukan berarti kami hanya duduk diam di markas saja. Ada saat-saat tertentu di mana kami keluar dan menangani beberapa kasus. Tapi saat-saat seperti itu sangat jarang.
Aku memang masih berurusan di dalam divisi kejahatan tingkat tinggi. Akhir-akhir ini aku lebih sering berada di ruang interogasi dan membantu salah seorang juniorku, Tom Jullian, menginterogasi tersangka. Aku sudah menjabat sebagai ketua tim khusus yang menangani kasus-kasus tingkat tinggi selama bertahun-tahun. Gelar master di bidang psikologi pun telah kudapatkan. Bukan masalah besar bagiku untuk duduk berlama-lama di ruang interogasi.
"Anda seharusnya senang Mr. Clark. Posisi Anda sudah cukup tinggi, dan dengan segala pencapaian yang telah Anda lakukan sampai sekarang, menurutku tinggal masalah waktu sebelum Anda diangkat menjadi penasihat umum di CIA," kata Tom berusaha menghiburku yang selalu terlihat tidak bergairah.
"Bukan begitu Jullian. Seharusnya kamu tahu, bahwa aku sudah terbiasa di lapangan. Keliling dunia untuk menangani kasus-kasus berbahaya, menyelidiki organisasi-organisasi kriminal tingkat tinggi, dan lain sebagainya. Aku bahkan memiliki daftar nama orang-orang yang berbahaya di dunia ini, serta beberapa organisasi yang sampai saat ini belum dapat disentuh oleh kebanyakan badan intelejensi di dunia. Aku sangat ingin kembali ke lapangan," jelasku pada Tom. Dia mendengarkanku dengan seksama.
Akhir-akhir ini aku jarang mengendarai mobil untuk pergi ke kantor. Lokasi apartemenku yang tidak terlalu jauh membuatku lebih ingin berjalan kaki dengan santai. Terlebih lagi aku dapat melewati taman kota yang ramai dengan orang-orang jogging setiap paginya, sedangkan sore hari mereka dari berbagai kalangan usia berkumpul di sana bersama teman dan keluarga. Pemandangan yang menyejukkan mata.
Karena aku juga sudah sangat jarang ditugaskan ke lapangan, berjalan kaki dari kantor ke apartemen dapat aku gunakan untuk menjaga agar badanku tetap sehat. Setidaknya ada kegiatan yang melatih fisik yang rajin aku lakukan.
Pepohonan berwarna hijau selalu menghiasi pagi dan soreku. Sejak diberhentikan dari tugas lapangan, aku memang memiliki jam pulang yang relatif lebih cepat. Aku bisa berjalan santai di sore hari menuju ke apartemenku. Hidup terasa lebih indah dan santai, tapi aku tetap merasa hampa karena tidak biasa dengan semua ini.
Saat sedang asyik berjalan, tiba-tiba ponselku berdering. Ada pesan masuk! Bukan pesan di messenger atau social media, tapi hanya pesan singkat biasa di ponsel, yaitu SMS. Tumben sekali, pikirku. Tidak biasanya di zaman seperti ini ada yang mengirim pesan ke ponselku menggunakan SMS. Aku membuka pesan tersebut. Aku tidak kenal nomor ini, dan sepertinya pengiriman pesan kepadaku ini telah melewati tahap pengamanan tingkat tinggi. Artinya, tidak ada yang dapat menyadap pesan ini.
Isinya singkat, padat, dan jelas.
Tomorrow, in France Restaurant, near the park beside the Bannes Plaza, New York, at 07.00 P.M.
H.W.
Inisial H.W.? Siapa lagi kalau bukan dia. Laki-laki yang telah melemparku keliling dunia untuk menyelesaikan tugas-tugas egois darinya. Dia merasa aku bisa menyelesaikan semuanya dengan sangat mudah. Memang, aku berhasil menyelesaikan hampir semua tugas itu. Lagipula aku menyukainya. Tapi satu hal yang mengganjal di kepalaku, setelah hampir dua tahun tidak menghubungiku, kenapa sekarang dia mengirim SMS padaku? Apa yang dia inginkan? Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan yang tersimpan di dada ini, walau aku juga tidak dapat menjelaskannya. Tapi satu hal yang pasti, jantungku berdebar-debar. Setiap kali menerima pesan darinya, aku pasti akan terjun dalam penyelidikan yang menantang. Aku yakin, kali ini pun pasti aku akan merasakannya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Murid Sang Detektif
Mystery / ThrillerClark Redder, seorang agen senior di CIA, mulai bosan dengan rutinitas yang dia jalani sehari-hari. Setelah dia diberhentikan sebagai agen lapangan karena faktor usia, Clark kebanyakan hanya duduk di markas dan menginterogasi para penjahat. Sampai s...