Chapter 2: Kursi Ketiga

192 13 1
                                    

Pria dengan inisial H.W. itu memang memiliki jabatan yang lebih tinggi daripada aku di CIA, tapi dia bukan tipe yang suka berdiam diri di markas pusat. Posisinya cukup berpengaruh, padahal selisih umur kami hanya dua tahun. Dengan kekuasaannya itu, dia bisa untuk tidak berada di markas pusat. Pergi berkeliaran kemana pun dia mau, tapi bukan berarti dia tidak melakukan tugasnya. Dia punya caranya sendiri membantu CIA menangkap para penjahat di luar sana.

Kali ini pun dia tidak berada di Virginia. Aku harus terbang ke New York hanya untuk bertemu dengannya. Turun di bandara dengan taksi berwarna kuning, aku bahkan tidak membawa tas maupun koper. Hanya dengan setelan jas yang biasa kupakai saat menghadiri rapat, serta pistol tentunya, tersimpan di kanan celana kainku. Aku hanya perlu menunjukkan tanda pengenal CIA pada mereka, maka pistolku tidak perlu risau akan metal detector.

"Anda sedang bertugas, sir?" tanya salah seorang petugas di bandara saat aku menunjukkan tanda pengenalku.

"Begitulah," jawabku singkat. Banyak berbicara kepada orang asing adalah pedang yang siap menusukku dari belakang, terlebih jika itu menyangkut pekerjaanku sebagai agen CIA.

Tidak lama mengudara pada ketinggian 30.000 kaki dpl, burung besi ini sudah kembali mendarat di tanah. Tidak jauh memang, bahkan aku bisa mencapai New York dalam waktu delapan jam jika mengendarai mobil. Tapi tubuh tuaku tidak mau membuang banyak tenaga. Naik pesawat tentunya akan lebih memudahkanku.

Saat itu sudah jam enam sore, aku tidak perlu menunggu terlalu lama sampai waktu pertemuanku dengan pria itu. Hudson Wicker, pria jangkung tinggi dengan rambut yang setengah beruban, begitu pula kumisnya. Terakhir berjumpa dengannya sudah lebih dari setahun. Saat itu aku sedang berkunjung ke Washington DC, bertemu dengan salah seorang staf gedung putih untuk membahas suatu kasus. Kami bertemu hanya sekejap, saat dia hendak keluar dari gedung putih. Kami hanya sempat berjabat tangan, saling bertanya kenapa bisa berada di sana, dan lalu berpisah.

Aku sudah sampai di restoran prancis yang dia maksud. Menurut supir taksi yang mengantarku ke sini, hanya ada satu restoran prancis yang sesuai dengan ciri-ciri yang Hudson katakan padaku melalui SMS. Restoran bintang lima, khusus untuk kalangan elit.

"Selamat datang pak, meja untuk berapa orang?" tanya salah seorang pelayan saat aku memasuki restoran.

"Aku ada janji dengan temanku di sini,"

"Namanya, sir?"

Hudson tidak pernah memberitahukan namanya pada orang asing, aku tahu itu. Kami berada pada level khusus, yang jika orang mengetahui nama kami, maka itu akan sangat berbahaya bagi kami.

"Aku rasa dia tidak memesan tempat, biarkan aku mencarinya sendiri," jelasku pada pelayan tersebut. Aku lalu mengedarkan pandangan ke seluruh restoran, seharusnya tidak akan susah menemukan orang tua itu.

Baru beberapa detik aku mencarinya, aku sudah dapat menemukan sosok laki-laki kurus itu. Rambut hitam putihnya terhalang oleh topi berwarna coklat muda. Setelan coklat muda sudah menjadi ciri khasnya setiap awal tahun. Entah mengapa jenis baju yang dia pakai hanya ada dua, baju di awal tahun dan akhir tahun. Dia duduk di depan meja bundar yang dikelilingi tiga kursi.

"Hudson-ku," kataku sembari menarik kursi dan duduk di sana. "Ada kah tamu lain yang kau undang sobat? Kenapa kita tidak duduk di meja dengan dua kursi saja?" lanjutku bertanya padanya.

"Lama," jawabnya singkat. Mengabaikan pertanyaanku. Sifat yang sangat membuatku kesal.

"Hei hei, aku sampai lima menit lebih cepat dari waktu yang ditentukan bukan?"

"Kamu lupa kalau aku selalu datang lima belas menit lebih cepat?" katanya dengan wajah mengesalkan.

Aku tidak menghiraukan pernyataannya itu. Bukan berdebat dengannya alasanku datang ke sini. Aku ingin segera memenuhi rasa penasaranku. "Jadi, ada apa? Kenapa kamu menyuruhku datang ke sini?" tanyaku serius.

Murid Sang DetektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang