Chapter 5 : Unless You Want

73 4 0
                                    

Ada sangat banyak gedung dengan berbagai desain arsitektur menawan. Dari kejauhan aku dapat melihat sebuah gedung modern dengan hampir keseluruhan dinding di setiap lantai terbuat oleh kaca yang kelap-kelip. Ada juga gedung yang menjulang tinggi, kira-kira enam lantai, jauh lebih tinggi dari gedung-gedung di sekitarnya. Sementara gedung yang berada di depanku, tampak agak tua, namun tetap menawan dengan desain khas Inggris yang berasal dari tahun 1950an.

Aku mulai memasuki gedung tersebut. Mengikuti arus mahasiswa yang berjalan memasuki gedung, aku mencoba mencari sosok Chan. Pandangan kuedarkan ke segala arah, sembari memainkan kunci mobil sedan miliknya bocah kacamata itu. Di sini, aku bisa menemukan berbagai mahasiswa dengan latar belakang ras yang berbeda-beda. Tidak ada wajah oriental orang Amerika di sini. Walaupun ada, mungkin hanya segelintir orang saja. Sekitar satu dari dua puluh.

Tidak lama berjalan, aku sudah bosan. Lelah. Orang tua sepertiku memang lebih cocok duduk di kantor dan menginterogasi para tersangka, atau memberikan nasihat kepada mereka yang muda-muda.

"Apakah Anda tahu di mana ruangan Jurusan Matematika?" tanyaku pada seorang mahasiswa di sana. Tidak sabar lagi untuk segera menemui Chan.

"Oh, lurus ke arah sanak pak, lalu belok kiri. Di sana semua ruangan yang berkaitan dengan Jurusan Matematika berada," jawab pemuda dengan wajah Asianya yang sangat kental. Rambutnya yang naik ke atas mengingatkanku pada gaya rambut orang-orang Amerika. Aku pikir bahwa orang-orang Asia akan menggunakan gaya rambut yang sama seperti para artis dari Korea. Poni menutupi jidat mereka.

"Ngomong-ngomong, bapak ingin bertemu dengan siapa? Kebetulan saya juga berasal dari Jurusan Matematika. Mungkin Saya bisa membantu bapak?"

"Chan. Si kacamata. Kamu kenal?"

"Oohh, Chan. Aku tahu, tadi aku melihatnya berlari menuju ke ruangan dosen. Anda bisa langsung menghampirinya ke sana,"

"Baiklah, terima kasih," jawabku singkat, sembari langsung pergi menuju arah yang ditunjukkan oleh bocah laki-laki tadi.

Merasa seperti orang yang dituakan, aku sudah tidak pernah merasakan suasana setentram ini selama puluhan tahun. Setiap harinya di CIA, semua hal yang kulakukan pasti berkaitan dengan pengejaran para penjahat, dan kemudian kami mencoba menginterogasinya demi mendapatkan informasi yang lebih luas.

Sebelum aku mencapai ujung jalan sebelum berbelok ke kiri sesuai arahan si rambut berdiri tadi, Chan sudah berada di depanku. Dia tampak kaget karena aku bisa berjalan menuju tempatnya pergi.

"Kenapa Anda bisa ada di sini?" tanya Chan dengan wajah yang sangat polos.

Aku langsung melamparkan kunci mobil miliknya ke arahnya. Melambung ke atas, dengan gerakan parabolik, berhenti sejenak di ketinggian maksimumnya tanpa kecepatan sedikit pun sebelum mendarah di kedua tangan Chan. Dia kaget. Mungkin karena aku memang terlalu gila untuk orang yang pekerjaannya hanya belajar saja seperti dia.

"Tunjukkan aku di mana ruangan Jurusan Kimia. Aku perlu menemui ketua jurusan di sana," kataku pada Chan. Dia hanya mengangguk, tanda setuju. Kemudian kami bersama-sama melangkahkan kaki di sepanjang koridor berisi berbagai ruangan yang berkaitan dengan Jurusan Matematika. Chan tidak banyak menatapku. Dia terbilang sangat santai untuk seseorang yang baur saja tahu kalau ada orang lain yang marah padanya. Terlebih lagi, orang lain itu sekarang berada sangat dekat dengannya.

"Tidak ada kah orang Amerika di sini?" tanyaku, berusaha memecahkan keheningan yang sebenarnya tak perlu dipecahkan ini.

"Sedikit. Sangat sedikit. Universitas di Amerika dan Eropa jauh lebih bagus Hanya mereka dengan alasan tertenu saja yang bisa berakhir di sini," jawab Chan dengan jelas.

"Jepang? Korea?"

"Banyak. Sebenarnya mayoritas mahasiswa di sini berasal dari Cina, Korea, Hongkong, serta beberapa negara di wilayah ASEAN lainnya,"

Aku menghela nafas. Tidak akan banyak orang yang bisa berbicaraku. Ini sungguh tidak baik. Tapi setidaknya aku tahu bahwa Jepang merupakan salah satu negara dengan stabilitas perekonomian yang cukup tinggi. Hal ini berarti, kemampuan berbahasa pun seharusnya berjalan beriringan dengannya. Namun sayangnya tidak.

Beberaa saat kemudian, aku diantar ke ruangan Prof. Charles Yujio Mika. Dia sangat senang dengan kehadiranku. Dia berharap bahwa kemampuanku dapat berguna selama satu bulan ke depan. Entah bagaimana, HW berhasil mengatur segalanya sehingga aku bisa menjadi dosen tamu di sini selama sebulan.

"Jangan lupa, Mr. Clark, setiap dosen tamu yang mengajar di sini, berapa lama pun waktunya, mereka juga harus memberikan kuliah umum minimal sekali," kata Chyan Woo, sekretaris Jurusan Kimia. Aku terbelagak, tidak pernah terbayang kalau aku harus memberikan sebeuah kuliah umum selama mengajar di sini.

Yang terpikirkan olehku dulu, aku hanya harus mengajar mahasiswa tingkat dasar di dalam kelas. Tidak ada ide-ide fantastis untuk membuat kuliah umum, terlebih jika itu berkaitan dengan Kimia. Puluhan tahun lalu aku masih memiliki konsep serta gaya bicara memukau jika aku harus membahas tentang kimia. Tapi sekarang, semuanya sudah terevaporasi mengembun menuju langit tinggi. Tidak ada lagi yang berbekas di kepala. Segera, aku langsung menuju perpustakaan utama universitas ini. Kembali Chan dengan ikhlas dan tanpa beban sama sekali mengantarkanku menuju perpustakaan. Namun dia harus segera pergi dari sana. "Maaf, Mr. Clark, aku ada satu mata kuliah pagi ini. Call me if you ready to go home,"

Aku lupa kalau Chan tidak seperti Samuel, pria keturunan Brazil dan Spanyol yang dengan senantiasa dapat mengantarkanku keliling Amerika, terutama New York jika ada keperluan mendadak. Dia juga siap sedia membantu berbagai persoalan yang susah dilakukan oleh orang tua sepertiku ini.

"Buku karangan Jue Evongaste Branzel ini yang terbaru. Baru tahun lalu ada di perpustakaan di sini," kata seorang petugas perpustakaan di sana.

"I never heard his nama before," ujarku sembari membaca teliti cover buku tersebut.

"When did the last time you read a book about chemistry?" tanyanya kembali, petugas perpustakaan itu.

"Hmmm. 39 years ago. Maybe," jawabku, sembari berbalik harus meninggalkan perempuan berambut pirang itu di sana. Aku masih bingung dengan tugasku. Bagaimana caraku bisa menemukan target kali ini? Aku berada di Jepang, bukan Amerika. Aku memang pernah menjalankan misi luar negeri, seperti ke Prancis, Mesir, bahkan aku pernah sekali dilemparkan di salah satu negara di daerah Polinesia yang bahkan aku sudah lupa namanya. Namun, atasanku selalu memberikanku koneksi berupa petugas keamanan setempat, atau setidaknya anggota Interpol. Namun, kali ini berbeda. Aku merasa HW mengirimku ke sini sebagai sebuah misi rahasia. Visa pengajar. Tidak ada koneksi dengan petugas setempat. Bahkan dengan petunjuk minim, hanya berasal dari anak buahnya yang belajar di universitas ini.

Di luar dugaan, universitas ini sangat luas. Setelah satu jam berjalan kaki berkeliling universitas, barulah aku bisa kembali menginjakkan kaki di Fakultas MIPA. Chan tidak menjemputku. Lebih tepatnya, aku tidak sabar untuk menunggu dia menjemputku. Biarlah dia yang mencariku nanti.

Di jalan pulang, bersama Chan tentunya, aku mengatakan sebuah permintaan kecil padanya. "You are busy, so am I. Unless you want to lend me your car for one month full, let's go to the showroom right now. I don't have much time,"

Chan hanya terdiam, dia melihatku dari kaca spion di bagian tengah mobilnya.

Sementara aku, hanya melihat ke arah jendela, ke pemandangan di luar sana, tidak mengacuhkan pria gila matematika itu sedikit pun.

Murid Sang DetektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang