Hidayah di Balik Sepucuk Kertas

3.8K 132 15
                                    

Indahnya senja itu menandakan mentari telah kembali ke peraduannya. Mentari yang telah memancarkan sinarnya sepanjang waktu tanpa peduli apakah keberadaannya di anggap penting oleh penghuni bumi. Sebab, ia bersinar bukan untuk manusia tetapi karena Allah yang memerintahkan. Mentari sederhana yang mengajarkan bahwa tidak perlu di pandang hebat jika ingin bermanfaat. Mentari itu semakin tenggelam ke ufuk barat dan haripun semakin gelap.

Terdengar sayup-sayup suara adzan maghrib, pertanda Allah rindu pada manusia yang sibuk pada dunia. Lantunan adzan yang bening yang selalu mengingatkan bahwa hanya kepada Allah tempat manusia kembali. Lantunan adzan itu semakin bergema, tetapi sesosok wanita berumur sekitar setengah abad itu masih berdiri di balik jendela kayu sederhana dengan raut wajah yang gelisah. Ia tampak menunggu seseorang yang sangat ia inginkan kehadirannya. Sesaat kemudian wajahnya tersenyum melihat seorang gadis remaja berlari-lari kecil kearah rumahnya, Ia pun segera menuju ke arah pintu.

" Alhamdulillah Nak, kamu sudah pulang." Dengan gembira Ia ingin memeluk si gadis yang ternyata adalah sang anak yang sedari tadi Ia tunggu.

" Ibu apaan sih! Biasanya aku juga pulang jam segini." Gadis dengan ekspresi tampang yang ketus itu menolak pelukan dari sang Ibu.

Raut senyum gembira di wajah yang sudah terlihat keriputnya itu tampak kecewa melihat penolakan anaknya.

" Ibu khawatir Nak, takut terjadi apa-apa sama kamu, hari sudah gelap kamu belum pulang juga."

" Ya udahlah Bu, yang penting sekarang aku udah pulang!" Gadis bertubuh ramping masih dengan seragam sekolahnya itu menjawab perkataan Ibu Zaenab dengan ketus.

"Sava! Kamu ndak boleh ngomong kasar seperti itu sama Ibu!" Tiba-tiba seorang lelaki yang sudah cukup tua, seumuran dengan Ibu Zaenab muncul dari balik tirai berwarna hijau di rumah itu.

" Ndak apa-apa kok Yah. Sava ndak ngomong kasar sama Ibu." Si Ibu itu berkata dengan lemah lembut kepada suaminya, yaitu Ayah dari Sava.

" Sekarang kamu mandi ya Nak, setelah itu shalat maghrib. Ibu juga mau ambil air wudhu ini. Setelah itu kamu makan ya Nak, Ibu udah siapkan."

"Aku udah kenyang Bu, tadi habis makan di Café sama temen. Aku mau ke kamar dulu."

Gadis itu pun pergi menuju kamar meninggalkan orang tuanya yang menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya. Sang Ibu tampak kecewa melihat sifat si anak yang sudah berubah. Gadis kecil yang polos dulu telah berubah menjadi remaja yang cuek pada orangtuanya. Senyum tulus gadis kecil dulu telah bertransisi menjadi ucapan kasar yang menyayat hati. Gadis kecil dulu telah menjelma bak malin kundang yang durhaka.

******

Dibalik kaca jendela sang mentari kembali memancarkan sinar hangatnya. Rupanya, sang mentari selalu mengikuti perintah Tuhannya. Bahwa ia harus tetap memancarkan cahya terangnya di alam semesta untuk makhluk bumi. Makhluk bumi yang kadang tidak mensyukuri nikmat-Nya. Seperti manusia yang takut bila fajar datang, sebab pantulan sinar yang menerpa kulitnya. Manusia yang kadang lebih suka apabila mentari telah tenggelam dan ingin memandang sang bulan di gelapnya malam. Tanpa manusia sadari esok hari mentari belum tentu bersinar kembali.

Di ruang makan yang sederhana dengan meja dan kursi anyaman bambu, Ibu Zaenab menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak gadisnya. Si Ibu yang semangat melayani suami dan anaknya, yang dengan sukarela berbuat apapun demi keluarga. Ibu tua yang selalu berdoa agar anak gadisnya kembali menjadi gadis yang lemah lembut seperti dulu.

" Ayah, Sava. Sarapan dulu yuk sebelum berangkat." Ibu Zaenab tersenyum melihat kehadiran dua insan manusia yang Ia sayangi.

Nasi goreng berlauk telur goreng itu pun menjadi teman sarapan pagi keluarga kecil itu.

SAHABAT FILLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang