Hari Pertama

31.3K 4K 407
                                    

Semuanya putih.

Ardela tak henti memandang keluar meski jendelanya buram ditutupi salju. Sudah satu jam dan yang ia lihat hanya salju. Daratan putih nampak menghampar luas sejauh mata memandang.

Padang saljunya tidak terlihat aman. Terdapat bongkahan-bongkahan di bawah sana seperti koloni pisau es raksasa. Ada pula celah-celah besar yang entah seberapa dalam. Sedari tadi Ardela ingin melihat pohon, tapi nihil.

Langit kelabu seakan mengurung. Gumpalan awan nampak bertumpuk-tumpuk seperti kapas. Tak perlu ditanya, matahari sudah bersembunyi dari tadi dan salju mulai deras. Ardela pun memicingkan mata, ia bisa melihat pegunungan di kejauhan, memanjang berliuk-liuk ditutupi lapisan putih.

Dia mendadak ingat kelas Sejarah kelas sepuluh. Bu Jeni bilang, sebelum badai salju datang terdapat puluhan kota di seluruh padang ini. Bernama Jakarta, Bandung dan lainnya. Kota-kota metropolitan berisi gedung pencakar langit. Ada pula kereta mesin-yang disebut mobil-memenuhi jalanan aspal, mengantar orang kemana pun. Matahari bersinar dari pagi hingga sore, jadi siapa pun bisa memiliki kebun di rumahnya.

Sekarang tidak ada lagi kota, hanya tersisa padang salju dan Graha. Bu Jeni bilang, badai salju merubuhkan semua bangunan di seluruh kota. Kemudian dekade demi dekade, salju mengubur bangunan-bangunan itu. Salju mengubur ratusan kota sampai rata. Jadi, bisa saja HOPE I sekarang sedang mengudara di atas kuburan. Kuburan kota.

Ardela mendadak merinding.

Terdengar suara gaduh di belakang. Itu sekelompok laki-laki. Mereka duduk di sandaran jok, membicarakan Penjaga dan tertawa sampai terdengar ke seluruh kabin.

Di sini pilot Sagita. Harap kencangkan sabuk pengaman.

"Bodo amat, Sagita!" teriak seseorang dari kerumunan itu, ternyata El. Teman-temannya pun tertawa.

"Hey, pakai sabuk pengaman kalian!" kata Damar.

"Atau apa?" balas laki-laki berambut gondrong di sebelah El. "Kau mau menyetrum kami?"

Ardela segera buang muka saat El melihatnya. Sesuatu tentang laki-laki itu membuatnya takut... sekaligus penasaran. Tidak tau kenapa.

Tiba-tiba pesawat berguncang. Ardela tetap tenang, mungkin itu turbulensi biasa. Lalu pesawat berguncang lagi, begitu keras sampai kerumunan di belakang jatuh semua, tapi mereka masih sempat tertawa.

Ardela mencengkram sabuk pengamannya. Guncangan datang lagi, kali ini lebih keras dan terus menerus. Beberapa orang sampai terpental dari kursinya, untunglah ada sabuk pengaman. Lalu semua orang berteriak saat lampu kabin berkedip-kedip merah.

"Apa yang terjadi?!" Dada Ardela mulai sesak. "Damar?"

"Tetap berpegangan!"

Terjadi guncangan lagi. Seseorang terpental ke atas sampai menabrak atap kabin. Terdengar pula suara orang jatuh di belakang.

Lampu masih berkedip merah. Kali ini masker oksigen keluar dan menggantung di depan wajah semua orang.

"Oh, tidak!" teriak Gibran. "Munculnya makser oksigen saat pesawat berguncang adalah pertanda buruk!"

"Diam, Gibran, kau tidak membantu!" balas Damar.

Pesawat mendadak oleng ke kanan. Semua orang berteriak saat barang-barang di rak atas berjatuhan. Kemudian pesawat perlahan kembali stabil, meski guncangan masih terjadi.

Ardela menarik masker oksigen itu dan menarik napas dalam. Udara dingin mengalir ke paru-parunya, membuatnya tenang sejenak. Namun, guncangan membuat maskernya terlepas dan kepalanya terbentuk jendela sampai pusing. Dia pun menoleh keluar dan terkejut.

Di Bawah Nol (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang