Jembatan Tua

19.4K 3.4K 246
                                    

Tim Elvan

El selesai mendendangkan sealbum lagu penyanyi klasik, Michael Buble, dalam hati.

Rasa bosan masih mencekiknya. Tujuh jam berjalan di tengah daratan serba putih. Ditambah langit mendung mengurung di atas mereka, mengirimkan butir-butir salju yang sesekali menyetrum kulit. Dia tak pernah semuak ini melihat salju.

Semua topik sudah El obrolkan dengan Damar, hanya dia yang mau diajak ngobrol. El bahkan sudah menghitung semua butir salju yang jatuh ke tangannya. Jika begini terus, ia tidak yakin bisa tetap waras sampai tiga puluh tiga jam ke depan.

Tiba-tiba sesuatu melesat di atas mereka. Sekilas terlihat putih dengan dua sayap membentang lebar. Tak hanya satu, beberapa terbang meliuk melewati satu sama lain. Kemudian membentuk formasi, seperti kepala panah meluncur di langit kelabu.

"Elang." El tersenyum, teringat seseorang.

Mereka memekik bersahutan. Terdengar nyaring sekaligus gagah menggema di penjuru langit. Mengiringi gerak mereka, terbang tinggi sampai jauh.

"Del bisa berguling-guling bahagia melihat ini," kata Damar. Dia mendadahi kerumunan elang itu.

"Kau dan Del sangat dekat ya?" tanya El.

Damar nyengir lebar, pipi sampai menghimpit kacamatanya. "Kami enggak pacaran kok, jika itu maksud pertanyaanmu. Kau bisa mendekatinya," balasnya. "Dia sahabatku dari kelas lima, ditambah Kalista."

Wajah El memerah habis dipanggang rasa malu. "Bu... bukan begitu." Dia celingak-celinguk panik melihat Damar masih nyengir. "Maksudku... umm... persahabatan cewek dan cowok biasanya dilandasi suatu perasaan. Aku... aku hanya penasaran dan iseng nanya saja."

Damar tertawa. "Itu benar, aku punya perasaan terhadap Del dan Kalista, aku menyayangi mereka." Lalu ia memandang langit. "Tapi rasa sayangku untuk mereka... berbeda. They're like sisters to me. Lagipula aku bukan selera mereka, terutama Del. Dia menyukai yang kalem dan... pemusik. Musik bisa membuat dirinya tenang sekaligus meledak-ledak bahagia."

"Ya, tentu saja." El mendadak menyesal memulai obrolan ini. "Aksa 'kan pemusik, tapi dia terlihat membosankan. Memang dia bisa membuat Del meledak-ledak bahagia?"

"Dulu." Damar terdiam sejenak dan menyadari sesuatu. Langsung nyengir. "Tenanglah, kau tidak perlu cemburu, Del sudah muak dengan Aksa."

El menggeleng, lebih kencang lagi kepalanya bisa lepas. "Aku enggak cemburu!" balasnya tegas. "Lagipula kami enggak cocok. Dia itu... umm... dia baik."

Tak lama kemudian mereka menemukan pemandangan baru. Sebuah jembatan raksasa. Menghubungkan dua tepian yang dibelah jurang.

Jembatan itu dipagari besi dan beratap tiang-tiang yang bersilangan, nampam sudah patah di mana-mana. Jalanan aspal diatas jembatannya berlubang besar di beberapa titik, memperlihatkan jurang berisi stalagmit es jauh di bawah. Mereka sempat bergidik, jatuh ke bawah sana pasti tak akan menyenangkan.

El dan Damar melihat melalui scope, tak ada apapun di kejauhan. Mereka pun melangkah. Berjalan di atas aspal dingin sambil fokus mendengar sekeliling. Sesekali terdengar decit tiang besi yang tertiup angin, mirip seperti suara orang cekikikan.

Mereka melompati tiang besi yang jatuh ke jalan. Lalu melompati lubang besar berdasar lautan stalagmit.

Tiba-tiba terdengar bunyi runtuh disusul teriakan Gilen. Aspal di bawah kakinya jeblos saat ia injak, ia pun meluncur jatuh menuju jurang. El berlari secepat kilat dan menangkap pergelangan tangan Gilen. Dia menjerit-jerit melihat kakinya bergelantungan.

El menarik beban seberat tiga perempat kwintal itu sampai otot-otot menyembul di lehernya. Damar dan dua orang lainnya pun datang membantu.

Setelah menarik sekuat tenaga sampai kedua tangan pegal, Gilen tidak jadi jatuh. Dia duduk di aspal, ngos-ngosan dan menatap El sinis. "Kukira kau akan membiarkanku jatuh," katanya. "Seperti kau membiarkan ratusan warga Graha diledakkan."

Di Bawah Nol (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang