Pencarian

20.8K 3.4K 207
                                    

Kita lebih kuat dari badai salju! Kita akan pulang ke padang hijau!

Gerbang besi dibuka. Terdengar keramaian bersahutan meneriakkan dua kalimat itu. Puluhan orang melangkah meninggalkan kemah. Semangat mereka membara menerangi fajar, menerjang rintik-rintik salju.

Ardela dan Elvan berjalan di paling depan, memimpin tim masing-masing. Mereka saling mengangguk lalu berpisah. Tim penjemput berbelok ke arah utara sementara tim pencari lurus ke hutan. Kedua tim saling melambai, tapi bukan untuk berpisah.

"Sampai jumpa di padang hijau!" kata mereka bersahutan.

"Jaga dirimu ya, Eaglet," kata Damar sebelum berbelok. "Aku akan temukan Kalista."

Damar menyusul kelima orang tim penjemput. Mereka melangkah menuju padang salju. El memilih orang-orang yang tepat, meski Ardela sempat khawatir karena dia memilih Gilen.

Tim Ardela

Empat puluh enam orang melangkah di belakang Ardela. Dirga berada di sebelahnya, siaga dengan senapan. Semua pun terdiam saat memasuki hutan tak berdaun lalu menyiagakan senjata masing-masing. Ada pisau, tombak, senapan. Sementara Ardela menyiagakan matanya, fokus pada setiap pohon.

Dar! Terdengar tembakan di belakang. Orang-orang rusuh berlarian ke balik pohon, sebagian berteriak.

"Jangan berteriak!" Ardela berbisik sekeras mungkin. "Kita di zona sarapan kanibal!"

Dirga menghampiri sumber suara. Laki-laki yang menembak tadi jatuh di atas salju, mengarahkan senapan ke pepohonan sambil bergidik ketakuran. Dirga melihat sekeliling melalui scope namun tak melihat apapun.

"Aku kira... pohon itu kanibal," katanya panik.

"Kau kira?!" Dirga menarik laki-laki itu berdiri. "Kau hanya boleh menembak jika yakin! Peluru tidak dibuat dari salju." Lalu ia merebut senapannya dan pergi.

Semua kembali ke barisan. Mereka memperhatikan Dirga yang menerobos barisan menuju paling depan. Wajahnya penuh amarah, matanya seakan menyulutkan api. Dia menyerahkan senapannya ke Aksa. Seketika Aksa celingak-celinguk panik.

Mereka kembali melangkah. Ardela memperhatikan Dirga, hampir lupa kapan terakhir melihat lesung pipinya. Amarah selalu memeunuhi wajah manis itu. Bahkan ia tadi seperti bukan Dirga sama sekali. Berteriak dan menarik seseorang.

"Kau tak apa, Kak?"

"Jangan harap aku jawab iya."

"Mau cerita? Perjalanan masih panjang."

Dirga menghela napas. "Semua ini terlalu cepat," katanya. "Viro, Satya, teman-teman sekelasku mati. Aku membunuh berkali-kali. Kulihat belasan mayat di kota mati. Orangtua angkatku—paman Dimitri dan bibi Lasya pergi. Lalu ini..." Dia melirik senapan di tangannya. "Semua ini mengubahku."

Ini hari panen. Semua petani di sektor pertanian pergi ke lahan untuk memanen. Termasuk Dirga, dia menggandeng Ardela. Mereka berlari di lorong berdinding hijau, menembus kerumunan tubuh-tubuh tinggi, menuju lahan.

Dug! Kepala Ardela menghantam punggung seseorang. Mereka berdua pun tertawa, lesung pipi Dirga sampai terlihat.

"Hey, anak kecil tidak boleh masuk!" kata seseorang di belakang.

Mereka tetap melangkah memasuki lahan. Ini ruangan luas beratapkan kubah raksasa. Lempeng-lempeng solar surya terpasang di kubahnya, menyinari seisi ruangan dengan cahaya matahari.

Di kiri berbaris rak-rak tanaman hidroponik, sebagian besar kacang dan selada. Tengah adalah bagian sayuran, pagar kawat berbentuk tabung berdiri menjulang. Tanaman merambat di kawatnya, ditumbuhi tomat dan jagung. Lahan kanan ditutupi pagar besi. Itu area tanaman langka seperti buah-buahan dan tanaman obat.

Di Bawah Nol (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang