Halusinasi

19.3K 3.3K 206
                                    

Tim Ardela

Genap tujuh puluh jam perjalanan.

"Kita sudah melewati itu tadi!" Juna menunjuk papan hijau yang mencuat di salju, bertuliskan CIKAMPEK. Lalu ia lanjut memakan plum cerinya.

Mereka melewati jalanan ini tiga jam lalu. Ardela memegangi kepala, dia sudah membaca peta dan kompas sebaik mungkin, namun badai salju selalu mengganggu. Angin bertiup kencang menampar wajahnya dengan salju dan membutakan jarak sepuluh meter di depan.

Beberapa orang protes minta istirahat. Tandu sudah penuh dipakai mengangkut yang lemas karena dehidrasi. Bahkan yang biasanya kuat, seperti Sagita dan Iren, kali ini harus dibopong.

"Seharusnya ini sudah setengah jalan," kata Ardela, kesal. "Tapi kita masih jauh."

Dirga memegang pundaknya. "Lebih baik kita cari tempat istriahat, ini sudah gelap," katanya gemetar. "Dan kau harus makan."

Syukurlah, setidaknya tak begitu sulit menemukan tempat berteduh. Banyak sisa bangunan di sini, salah satunya sisa gedung kelabu yang mencuat dari salju. Di atasnya masih ada papan bertuliskan HOTEL yang sudah bolong dimana-mana.

Mereka masuk melalui lubang besar di dinding bagian depan. Bagian dalamnya hanya setinggi dua meter karena sudah ditenggelamkan salju, tapi di sini luas dan kosong, lumayan untuk tiduran.

Tiga tandu diletakan di pojok, mereka yang lemas masih rebahan di sana. Dirga sigap membantu Disty membentangkan terpal agar Sagita dan Iren bisa tiduran. Ardela berkeliling membagi air minum miliknya untuk yang dehidrasi. Sementara Aksa duduk di tengah, memainkan harmonika dengan irama syahdu, membuat semua langsung mengantuk.

"Hai, Kira." Ardela mengambil tiga plum ceri dari sakunya. "Makanlah, aku tau kau masih lapar."

"Kau yakin? Kau sendiri belum makan sejak pagi, Kak."

"Aku enggak lapar kok."

Ardela bersandar di sebelah Kira, tertawa kecil melihatnya makan ceri plum sampai belepotan di bibirnya. Lalu ia melepas senapan yang ia selempangkan dan memeluknya—itu caranya tetap waspada saat tidur. Namun bukannya tidur, dia malah melamuni elang perak yang menggantung di senapannya. Tersenyum mengingat El, terutama caranya menatap. Tajam dan panas.

Tak tau kenapa El sering mampir di pikirannya sejak tadi pagi. Tergambar jelas wajahnya yang tegas dan begitu maskulin. Lalu ia membayangkan mendengar suaranya yang dalam seakan menggetarkan jantung. Memikirkannya saja membuat Ardela merasa lebih baik, bahkan ia tidak peduli rasa lapar dan pegal-pegal di sekujur tubuhnya.

Dia sendiri tak mengerti apa yang ia rasakan. Ia belum lama mengenal El tapi seakan ada yang menghubungkannya dengan laki-laki itu. Dia membuat Ardela tak bisa berhenti memikirkannya dan selalu merasa dekat dengannya.

"Kumohon, kembalilah dengan selamat." bisiknya sambil menggenggam elang perak itu. "Kau juga menyimpan sesuatu milikku."

Semua orang terlelap, meringkuk sambil berselimut. Beberapa pasangan terlihat saling berpelukan, membuat Ardela senyam-senyum sendiri. Tidak semuanya tidur, Juna dan Dirga duduk berjaga dekat lubang besar itu, senapan mereka diarahkan keluar.

Tiba-tiba Kira tersentak bangun, kedua matanya merah. Dia melihat sekelilingnya penuh kengerian lalu berteriak. Semua orang pun terbangun. Dia berteriak sambil menunjuk sesuatu di belakang Ardela.

"Ada apa, Kira?" tanyanya. Dia menoleh, hanya ada orang-orang tidur di belakangnya.

"Kanibal! Itu kanibal!"

Ardela menahan Kira yang menggeliat dan berteriak. Dia menoleh ke segala arah tapi tak melihat kanibal di manapun.

Tiba-tiba... terdengar tembakan. Ardela merunduk saat timah panas meledak di atas kepalanya, membolongi dinding.

Di Bawah Nol (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang