Satu

8.5K 462 104
                                    

Hasan & Hasna

Satu

"Hasan, jagain Hasna, ya."

Ucapan yang dilontarkan oleh ibunya ini membuat Hasna ingin menutup wajahnya dengan kantung plastik hitam. Dia benar-benar malu dengan Ibunya yang dengan enteng menitipkan Hasna kepada Hasan.

"Bu, jangan gitu, deh," protes Hasna dengan pelan agar Hasan tidak mendengarnya. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Hasan yang sudah 14 tahun menjadi tetangganya dan sekarang ia menjadi kakak kelasnya di SMA. Hasna bukan tipe orang yang bisa akrab dengan semua orang. Buktinya walaupun sudah 14 tahun tetanggaan dengan Hasan, dia tidak dekat dengan laki-laki yang rambutnya mulai panjang-efek liburan panjang, lupa dicukur.

Hasan terkekeh. "Iya, Tante. Nanti Hasna aku jagain kok."

Ya, Hasan memang terkenal ramah dengan semua orang. Dia adalah anggota karang taruna, tentu saja hampir seluruh RT kenal dengannya. Kalau ada acara perlombaan-17 Agustusan, contohnya, Hasan tidak pernah absen menjadi panitia. Dia selalu menjadi panitia acara.

"Ih, Ibu mah," gerutu Hasna dalam hati. Kemudian dia mencium tangan ibunya dan menunggu Hasan untuk menyalakan motornya-Ibunya Hasan memaksa anak sulungnya ini untuk membonceng Hasna ke sekolah. Setelah Hasan sudah berpamitan kepada ibunya, dia langsung menyalakan motornya.

"Ayo, naik. Nanti terlambat," ajak Hasan sambil tersenyum. Wajahnya terlihat cerah sekali, tidak seperti wajah Hasna yang mendung.

Hasna mengangguk pelan, lalu dia mengangkat rok birunya-ini hari pertamanya di SMA, masih dalam masa orientasi-sebelum naik ke atas motor matic hitam milik Hasan. Hasna benar-benar merasa canggung selama perjalanannya ke sekolah barunya, SMA Negeri yang terletak di daerah Jakarta Selatan.

"Lo masuk jurusan apa, Na?" tanya Hasan.

"IPS, kak," jawab Hasna singkat. "Kalo Kak Hasan jurusan apa?"

"Sama, gue juga IPS."

Mereka berdua kembali terdiam karena... ya, apa yang bisa diharapkan dari kedua orang yang jarang berbicara sebelumnya?

Tak lama kemudian Hasan memarkirkan motornya di parkiran pasar, lalu menyuruh Hasna untuk turun. Hasna turun dari motor dengan rasa bingung menyelimutinya. "Kok turun di sini, Kak?" tanya Hasna. "Bukannya sekolah masih masuk gang, ya?"

Hasan tertawa melihat wajah Hasna yang panik. "Gue emang kalo markirin motor di sini, Na. Gue belom punya SIM, nggak bisa parkir di sekolah," kata Hasan untuk menjelaskan semuanya, agar Hasna tidak lagi berpikiran bahwa Hasan mengajaknya untuk bolos sekolah. "Kita lanjut jalan kaki ke sekolahnya. Gapapa, kan?"

"Ooh." Hasna mengangguk pelan. "Yaudah, ayo jalan."

Hasan dan Hasna pun berjalan menuju sekolah mereka dan baru beberapa meter mereka berjalan, Hasna langsung merasa letih karena Hasan berjalan begitu cepat. Namun Hasna tidak berani untuk protes.

"Nem lo berapa?" tanya Hasan tiba-tiba.

"Tigapuluh lima," jawab Hasna. "Kak Hasan dulu berapa?"

Hasan mengangkat alisnya. "Wih, Hasna pinter banget," pujinya, "gue dulu cuma dapet tigapuluh dua," jawab Hasan sambil memperlambat langkahnya-dia baru sadar kalau ia berjalan terlalu cepat. "Kenapa gak masuk IPA aja?"

Hasna terkekeh. "Gak suka sama pelajaran IPA, Kak. Bikin pusing," jawabnya terus terang. "Padahal Ayah nyuruhnya masuk IPA."

Hasan mengangguk setuju. "Sama, Na. Gue juga gak suka IPA, bikin kepala gue sakit."

Hasan dan HasnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang