Dua

3.6K 409 74
                                    

Hasan & Hasna

Dua

Langit Jakarta sudah hampir gelap saat Hasan dan anak-anak basket lainnya keluar dari gedung sekolah. Setelah mereka membagikan tugas untuk demo ekskul nanti, mereka langsung latihan. Mereka membutuhkan setidaknya duapuluh anggota baru agar ekskul basket tetap hidup.

Hasan dan Bimo berjalan dalam keheningan menuju parkiran di pasar. Hasan sibuk menggaruk lehernya yang tiba-tiba saja terasa gatal, sedangkan Bimo asyik dengan rokoknya. Sudah satu tahun mereka berteman dan sudah hampir satu tahun Hasan menyuruh Bimo untuk berhenti merokok. Pembina ekskul basket melarang para anggotanya untuk merokok, namun Bimo tidak menghentikan kebiasaan merokoknya dengan alasan dia tidak napsu makan jika tidak merokok. Hasan akhirnya menyerah dan membiarkan Bimo melakukan apa saja yang dikehendakinya.

"Biang keringet tuh," celetuk Bimo yang dari tadi memperhatikan kelakuan Hasan.

Hasan menengok ke arah Bimo dengan cepat. "Iya apa, Bim?" tanya Hasan yang tidak percaya dengan ucapan Bimo. "Coba liatin leher gue."

Bimo membiarkan Hasan untuk jalan duluan agar ia dapat melihat bagian belakang leher Hasan dengan mudah. "Tuh, merah banget, San." Bimo menarik tangan kanan Hasan yang masih sibuk menggaruk lehernya. "Jangan digaruk terus, nanti malah lecet. Perih kalo mandi."

"Gatel, Bim," keluh Hasan.

Bimo mendecak kesal. "Batu banget kalo dibilangin."

Pada saat mereka sudah sampai di parkiran, Hasan masih juga menggaruk lehernya. Bimo pun tidak bisa menahan tawa karena wajah Hasan terlihat sangat menderita. "San, pas lagi nyetir jangan garuk-garuk, nanti jatoh," ucapnya sambil mematikan rokok. "Sampe rumah langsung mandi, ya."

Hasan tertawa kecil, lalu mengacungkan kedua ibu jarinya. "Iya, Mami."

"Yaudah, gue duluan, San," ucap Bimo yang sudah menaiki motornya. Hasan mengangguk, menatap Bimo yang keluar dari parkiran setelah membayar parkir. Akhirnya Hasan menaiki motornya dan menyalakan mesinnya, kemudian langsung menancap gas menuju rumah.

Ketika Hasan hendak membuka pagar rumahnya, dia melihat Hasna yang sedang berjalan ke arahnya. Hasan tahu kalau Hasna tidak sedang berjalan ke arahnya, melainkan hanya melewatinya. Namun Hasan tetap mengernyitkan dahinya dengan bingung.

'Tumben banget Hasna keluar rumah.'

Hasan pun mengurungkan niatnya untuk memasukkan motornya ke dalam rumah dan memutuskan untuk menunggu sampai Hasna sampai ke arahnya. Hasan bersyukur karena gatalnya sudah mulai mengurang.

"Hasna, mau ke mana?" sapa Hasan dengan senyuman lebar di wajahnya.

Hasna tersenyum tipis. "Mau ke mini market, Kak," jawabnya. Sebenarnya Hasna tidak ingin berlama-lama mengobrol dengan kakak kelasnya ini karena dia tidak mau kemalaman. Namun ia tidak enak jika langsung jalan.

"Mau dianter?"

Hasna mengangkat alisnya saat Hasan menawarkan untuk mengantarnya ke mini market. Hasna ingin menerima tawarannya karena dia malas berjalan, namun saat melihat pakaian Hasan, dia langsung menggeleng pelan.

"Nggak usah, Kak," tolaknya dengan halus. "Kakak 'kan baru pulang sekolah, nanti tambah capek kalo nganter aku."

"Ah, gak usah malu-malu gitu." Lalu Hasan memundurkan motornya. "Ayo naik," ajaknya sambil menepuk jok motornya.

Hasna akhirnya naik ke atas motor Hasan untuk kedua kalinya hari ini. Dia baru sadar kalau Hasan adalah orang yang benar-benar baik. Awalnya Hasna membenci Hasan karena Ibunya sering membanding-bandingkan dirinya dengan Hasan. Namun setelah kebaikan yang Hasan lakukan kepadanya, Hasna merasa malu karena sudah membencinya.

Hasan dan HasnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang