Khairi Rindu

1.1K 133 15
                                    

Head note:

+ DU: Dipati Ukur, salah satu daerah di Bandung

*

Pernah ngga sih, lo merasakan suatu titik dimana lo lagi kangen berat sama seseorang? Okay, mungkin ini terdengar sedikit atau bahkan dangdut banget, tapi gue malam ini merasa galau? Entahlah tapi semenjak tadi siang, si Ceye—iya, Ceye temen gue anak ITB yang sok ganteng itu, bercerita betapa dia khawatir akan kehilangan seorang Ladin, gue malah ikut terbawa suasana. Wajar ya? Wajar kan? Maksudnya, gue sama Rei udah sama-sama dewasa. Kita udah bukan anak SMA yang kalau galau langsung saling kode dengan listening lagu di Path.

Tapi apakah salah merasakan takut kehilangan?

Karena menurut gue, rasa takut kehilangan itu muncul saat gue ngga pede dengan diri gue sendiri. Gue selalu berpikir kalau hubungan gue dan Rei bukan lah main-main lagi. Dan justru itulah yang menjadi beban gue sekarang.

Apa gue udah berhasil membahagiakan seorang Kireinata?

Kita berdua udah kelewat sering membahas ini. Rei selalu meyakinkan gue kalau dia bahagia menjalani hubungan bersama gue—dengan cara nya sendiri tentunya. Gue juga tahu, kalau dia bukan tipe cewek yang suka main-main. Tapi menjadi cowok yang selalu over-thinking, jutaan pertanyaan muncul di benak gue.

Ada ngga ya, cowok di Bandung yang bisa membahagiakan Rei lebih dari gue?

Pernah ngga ya, Rei membutuhkan gue tapi gue gak ada untuknya?

Gue menghembuskan nafas kasar. Gila ya? Berawal dari kangen berat aja bisa merambat ke sana pikiran gue. Kita udah lama banget ngga ketemu. Entah berapa minggu dia ngga pulang ke Depok saking sibuk nya ngurusin kuliah, dia lagi berperang keras demi sarjana. Dan gue kangen dia. Banget. Kita benar-benar komunikasi seadanya.

Duh, kenapa sih, gue jadi lemah begini? Biasanya gue terbiasa loh dengan keadaan komunikasi minim kayak gini. Ditambah gue gatau harus mengungkapkan rasa kangen gue seperti apa. Gue gamau Rei kepikiran dan akhirnya malah mau pulang ke Depok, meninggalkan tugas-tugasnya yang menumpuk. Gue gapernah mau menghalangi dia menuju jalan yang dia pilih. Toh, gue juga punya tanggung jawab yang lebih besar dalam masalah mengejar cita-cita.

Gue merasakan gerah secara tiba-tiba. Cih, emang lagi panas banget udara disini. Tanpa banyak berpikir, gue berjalan menuju lemari untuk sekadar mengganti baju. Namun ketika gue membuka lemari, gue malah kembali teringat pada Rei. Baju-baju gue masih dia pinjem semua. Sumpah, meskipun gue suka ngomel-ngomel kalau dia minjem baju gue hampir selusin tanpa dibalikin, sebenernya gue suka banget liat dia make baju gue yang kebesaran gitu. Lucu, kesannya kayak dia hanya milik gue seorang.

Berisik, jangan protes. Gue lagi lemah lembut malem ini.

Setelah mengganti kaos, gue kembali membaringkan tubuh di kasur kosan paling nyaman se-dunia. LINE gue belum dibales sama Rei. Terakhir FaceTime kapan sih? Yaelah, kayaknya pikiran gue tentang dia gaada habis nya. Terlalu rudet.

Gue mengambil agenda beserta pulpen faster biru kesayangan gue dari dalam tas. Dan tanpa gue sadari, sebuah kutipan favorite gue beberapa waktu terakhir sudah cukup menggambarkan isi hati gue sepenuhnya.

Kira-kira

Singkatnya begini,

Kalau rindu itu api.

Maka aku sudah habis jadi abu.

Gue lagi membaca tulisan gue sendiri ketika tiba-tiba muncul suara notification pertanda masuk nya pesan khas LINE, membuat gue buru-buru mengecek handphone. Hanya satu nama yang gue harapkan muncul dan ternyata benar. LINE dari Nyai!

BinocularWhere stories live. Discover now