Shiroyasha Arc

847 84 9
                                    


Hijikata muda melirik ke wajah anak berambut silver.

Ekspresi wajah sepenuhnya apatis. Mata merahnya terfokus lurus ke depan. Bibir tertutup rapat, berjalan dalam diam dan langkah pasti.

Tanpa perlu bertanya padanya. Hijikata tahu kemana arah Gintoki membawanya.

Melewati pemakaman dan berjalan agak masuk ke dalam hutan, berdiri kuil bobrok yang telah ditinggalkan.

Kuil sengaja ditinggalkan ketika penjaganya telah memutuskan. Dengan bantuan penduduk desa membuat kuil baru yang lebih dekat di daerah permukiman. Tentu itu lebih besar dan terurus dibandingkan kuil tua ini. Itulah sebenarnya yang membuat Hijikata ragu. 

Biasanya tempat yang ditinggalkan pasti dihuni yang lain kan?.. um.. yah, hal dunia lain. Apapun jahat yang bergentayangan. Sesuatu.. semacam yang begerak dan berjiwa dan masih tidak mampu dibunuh untuk kedua kalinya apalagi dihajar. 

Hantu! HIIEEEE!

'.. Tamegoro-nii.. Okaa-san di surga.. Tolong, jangan biarkan hantu menakutkan menangkapku!'

Lidah Hijikata kelu. Merasa ragu dan takut. Langkahnya melambat dan tidak sadar sudah melonggarkan genggaman tangannya. Tapi, dia masih tidak ada niat sedikitpun mengutarakan apa yang menjadi keraguannya ataupun menghentikan langkah. Egonya.. mencegahnya.

Selain itu tangan keras kepala terus memberikan remasan lembut.

Entah mengapa membuat Hijikata merasa agak tenang. Dan hangat.

Tangan kecil menggengam.

Jari-jari milik anak berambut silver mengurung tangan yang lebih kecil darinya dengan erat. Tekanan yang tidak cukup menimbulkan rasa sakit. Namun bermaksud tidak akan melepaskan, dan itu dipenuhi kepastian dan perlidungan. Janji diam.

Sesekali tangan Gintoki memberi remasan ramah, ketika langkah Hijikata semakin melambat atau hampir berhenti dan Gintoki jelas terus pura-pura tidak melihat itu –Hmm yah diam-diam sepakat tidak mengejek itu selama anak berambut hitam masih tidak membuka mulutnya, memprotes atau benar-benar menuntut untuk berhenti.

Gintoki terus menarik-narik tangan Hijikata, sehingga mau tidak mau Hijikata harus menyamai langkahnya.

Di bawah naungan payung, melangkah agak ke depan dia tanpa ragu menuntun jalan. Gintoki tidak membiarkan keraguan anak berambut hitam menghentikan langkah mereka.

'Menghangat.'

Tangan dingin Hijikata terasa mulai menghangat dalam genggaman tangan Gintoki.

Sudut bibir Gintoki melengkung ke atas untuk sepersekian detik.

.

.

Dua pasang sandal meninggalkan jejak berlumpur di permukaan lantai kayu, sementara jejak di tangga telah lama tersapu hilang oleh hantaman air hujan yang terus-menerus.

Kuil tidak lagi memiliki pintu. Itu sudah patah dan melapuk terdiam di tempatnya. Lantai kayu ditutupi debu dan hampir bisa ditemukan patahan dan lubang di permukaannya, selain itu juga dibeberapa tempat sudah memiliki kerapuhan yang bisa menjadi jebakan tak terduga bagi kaki yang tidak sengaja menginjaknya. Untungnya empat dinding kayu masih utuh bertahan dan masih ada pilar berwarna merah pudar yang berdiri kokoh menopang atap. Di langit-langit terdapat celah dimana air hujan terus menetes ke dalam ruangan. Namun, masih terdapat sisi ruang yang cukup layak dan kering. Terlindungi dari air.

Payung yang diletakan dilantai perlahan membuat noda basah.

Gintoki mengumpat dan mengeluh betapa ia membenci hujan yang berani merusak gaya keriting rambutnya yang keren. Memejamkan mata sambil jarinya menyentuh kepalanya yang basah. Dia menghela napas, "Haah!" Kemudian air terlempar keluar dari rambut basahnya ketika ia mengibas kepalanya ke kiri dan kanan, seperi anjing basah yang baru saja keluar dari air.

Watashi no Hiro (GinHiji)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang