Perkenalan Pertama

113 19 0
                                    

Namanya Panji. Umurnya 22 tahun. Matanya tajam, menyerupai sepasang mata elang. Tubuhnya tegap ramping layaknya seorang tentara sejati.

Namanya Panji. Dan kini, pria itu sedang duduk berhadapan dengan seorang gadis bernama Arum dalam diamnya.

"Saya nggak tahu harus mulai dari mana," tutur Arum terlewat jujur setelah melewati fase keheningan yang melanda keduanya.

Panji masih terdiam, berbagai pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Kenapa bisa jadi seperti ini? Ia pikir, gadis berpayung merah di hadapannya ini akan membawanya ke sebuah perkampungan kumuh dengan anak-anak kecil berpakaian lusuh berlarian di sekitarnya.

"Ini sungguh rumah kamu, Arum?" tanya Panji, masih dengan ragu menyelimutinya.

Arum terdiam sejenak, kemudian mengangguk singkat. "Saya beruntung, saya dilahirkan di keluarga ini."

Panji terdiam.

Arum menghela napasnya, pandangannya sedikit mengabur. Kedua bola mata Arum mulai bergerak liar, berusaha menghilangkan perasaan sesak yang kembali setelah sekian lama sekaligus airmatanya yang mulai terbendung di ujung matanya.

"Arum, saya bukannya nggak percaya kamu, dan rumah kamu, atau Ibu kamu. Saya hanya ... nggak tahu, apa yang salah dengan fakta kamu ini sampai saya merasa kesal," keluh Panji, desahan napasnya terdengar begitu frustasi.

Bukannya merasa bersalah atau simpati dan mencoba menjelaskan, Arum, gadis itu malah mengeluarkan kikikkan gelinya. Apa yang salah, kata pria itu? Arum tidak habis pikir.

Panji menatap gadis itu tersinggung. "Ada yang lucu?"

Arum menggeleng, menunjukkan senyum tertahannya, sama seperti sebelumnya. "Saya cuma merasa lucu dengan kalimat kamu 'apa yang salah'. Saya pikir, nggak ada yang salah dengan semua fakta ini. Yang salah itu kamu," jawab Arum, matanya memancarkan sejuta perasaan.

Panji dapat melihatnya.

Maka, Panji mendekatkan tubuhnya ke arah Arum dengan jarak aman. "Kenapa saya melihat kamu begitu bahagia saat ini?" tanya Panji penasaran, memandangi netra coklat terang milik gadis di hadapannya lekat.

Arum tidak gentar, gadis itu membalas tatapan pria di hadapannya secara terang-terangan. Senyum itu masih terpatri di bibirnya. "Saya memang bahagia."

Panji mengerutkan alisnya, ketika ia mendapati sebuah luka tergores tipis di pelipis kanan gadis tersebut. Pria itu memfokuskan pandangannya kepada garis bekas luka tersebut. "Kenapa?" tanyanya, namun matanya masih terus memerhatikan pelipis kanan gadis di hadapannya tersebut.

Arum berdehem panjang, berpikir. "Karena kamu teman saya yang kedua," jawabnya riang.

Panji terkejut, matanya segera beralih kembali pada kedua netra gadis tersebut. "Teman kedua? Kamu ini dikucilkan?" tanya Panji.

Arum menggeleng pelan, ragu. "Yang saya tahu, saya dijauhi karena saya menderita keterbelakangan." Matanya menatap Panji lesu, takut akan kemungkinan pria di hadapannya akan segera beranjak pergi saat itu juga.

Panji menegakkan tubuhnya kembali. "Arum, saya teman kamu." Panji menggenggam kedua tangan Arum dan disatukannya dalam kungkungan kedua tangannya. "Saya sudah yakin, saya akan mendengarkan setiap cerita yang kamu ucapkan sejak awal saya melihat kamu di pasar," lanjut Panji mantap.

Arum terhenyak mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria tersebut. Arum menatap pria itu dengan mata berbinar seketika, memancarkan harapan baru meletup-letup di dadanya. "Namaku Arum. Arum Putri Wijaya."

Panji dengan cepat membalas, "Nama saya Panji. Panji Suryo Wiratama."

Arum menghela napasnya dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. "Panji, namaku Arum. Aku penderita Disleksia. Aku dijauhi dan nggak punya teman, karena alasan itu," jelas Arum, memulai awal sebuah kisah kelam yang pernah dilaluinya.

Panji terdiam, hanya menyimak semuanya.

Arum melirik Panji. "Omong-omong, umurku 20, Panji."

Panji terkesiap, tanpa sadar, ia menarik kedua tangannya dan mengusap bagian belakang lehernya dengan salah satu tangan pria tersebut, canggung. "Maaf, saya kira kamu masih umur 14 atau 15 tahun. Kamu kelihatan muda banget," sesal Panji.

Arum tertawa singkat. "Nggak masalah." Arum memandang salah satu pigura yang terpampang di dinding ruang tamunya, menggambarkan sebuah lukisan.

Lukisan dirinya, kakak laki-lakinya, Ibu, dan Ayahnya.

"Waktu itu, aku berumur sekitar 15 tahun. Harusnya, aku baru masuk SMA dan bertemu teman baru. Tapi nggak, aku nggak bersekolah waktu itu. Aku malu, di umur itu, aku belum bisa baca dan tulis. Mendengarkan guru saja, aku masih sering merasa bosan lalu tertidur di kelas."

"Saya masih di sini, Arum," Panji mencoba menenangkan gadis tersebut dengan putaran ibu jarinya, lembut, di atas telapak tangan gadis itu.

Arum merileks. Tubuhnya seolah ringan. "Beruntungnya aku, aku lahir di tengah-tengah keluarga ini. Ayah, Ibu, dan Mas Arkan, semuanya mendukungku dan jadi teman pertama sekaligus guruku di rumah," lanjut Arum.

"Waktu itu hujan, Panji. Hujan deras, aku menemani Ibu ke pasar dan menunggu Ayah jemput kami. Aku nakal, Panji. Aku penasaran dengan anak perempuan itu di antara hujan." Tanpa gadis itu sadari, gadis itu membentuk sebuah senyuman di bibirnya, tipis.

Gadis Payung | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang